Judul | INDUSTRI GULA - Tantangan Efisiensi |
Tanggal | 04 April 2018 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 17 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV - Komisi VI |
Isi Artikel | DIDIE SW credit=”DIDIE SW Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, pekan lalu, menggelar seminar nasional menyangkut persoalan pergulaan nasional. Permasalahan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Industri Gula Nasional dan Solusinya menjadi judul seminar yang dilangsungkan di bilangan Thamrin, Jakarta, tersebut. Saat memberikan pengantar seminar, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono sempat berseloroh bahwa judul seminar tersebut mirip judul skripsi. Dia pun menawarkan alternatif judul, yakni Unifikasi Dualisme Pasar Gula. Hal ini tidak lepas dari penilaian bahwa persoalan pergulaan nasional berkaitan dengan dualisme pasar komoditas tersebut. Disparitas harga yang tinggi antara gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR) dinilai membuka peluang terjadinya perembesan. Selisih harga yang berbeda di satu komoditas tak terbantahkan memungkinkan praktik semacam itu terjadi. Pertanyaannya, mengapa harga gula produksi dalam negeri bisa jauh lebih mahal dibandingkan dengan gula dari luar negeri? Di titik ini, isu efisiensi pabrik gula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di dalam negeri menjadi salah satu yang dicermati. Usia pabrik yang rerata mencapai satu abad menjadi catatan tersendiri. Merger di antara 14 PTPN merupakan salah satu yang ditawarkan PSEKP UGM untuk mendorong efisiensi. Berbagai pemangku kepentingan pun memberikan andil dengan menyuarakan pandangan dalam seminar tersebut. Direktorat Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin), misalnya, menyebut bahwa inefisiensi pabrik-pabrik gula BUMN merupakan salah satu sumber karut-marut masalah pergulaan. Dipaparkan pula bahwa selain ada dua jenis gula yang beredar, pembina industri gula pun ada dua. Pembinaan pabrik-pabrik gula yang terintegrasi dengan kebun tebu ada di bawah Kementerian Pertanian. Sedangkan pabrik gula rafinasi ada di bawah pembinaan Kemenperin. Paparan tersebut menyiratkan bahwa pembenahan efisiensi pabrik gula tak pelak memang mensyaratkan sinergi antarpihak. Ini sejalan pula dengan pandangan Institute for Development of Economics and Finance yang menilai bahwa peningkatan efisiensi pabrik gula harus dimulai dari petani. Terkait hal ini, Januari 2018 tim PSEKP UGM pernah memaparkan hasil kajian mereka terkait industri gula di Indonesia. Investigasi PSEKP UGM menemukan berbagai masalah industri gula yang terjadi di banyak titik—bahkan setiap lini—dari hulu hingga hilir. Tak terkecuali persoalan di tingkat petani. Di sisi hulu, problem petani Indonesia dimulai dari kepemilikan lahan yang terlalu sempit sehingga tidak mampu mendapatkan produktivitas optimal dan berkelanjutan. Petani pun menghadapi masalah akses dalam mendapatkan bibit tebu berkualitas. Produktivitas pun menjadi persoalan serius tersendiri. Merujuk data historis, luas lahan tebu pada zaman Hindia Belanda—sekitar tahun 1930—hampir 200.000 hektar (ha) dengan produktivitas 130 ton per ha dan rendemen 11 persen. Ironisnya, pada tahun 2010 luas lahan tebu meningkat dua kali lipat mencapai 432.714 ha, tetapi produktivitasnya turun menjadi hanya 81,9 ton per ha. Rendemen dalam 10 tahun terakhir hanya berkisar 7-8 persen. Penyelesaian persoalan gula tentu harus dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Tidak bisa parsial, sepotong-sepotong. Kemampuan membenahi inefisensi industri gula—dengan segenap faktor penyebabnya—menjadi awal yang akan menentukan keberhasilan penyelesaian masalah pergulaan nasional. Tantangan bagi segenap pemangku kepentingan mengurai benang kusut gula. Jangan lupa bahwa komoditas ini jadi kebutuhan banyak warga, sektor industri, dengan nilai ekonomi yang tinggi. Gula juga jadi bahan baku di industri makanan-minuman, penopang utama pertumbuhan sektor nonmigas sekaligus ekonomi nasional. |
Kembali ke sebelumnya |