Judul | Sekolah Tempat Mencegah Konflik Antaragama |
Tanggal | 24 Juni 2016 |
Surat Kabar | Suara Pembaruan |
Halaman | 18 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III - Komisi X |
Isi Artikel | [JAKARTA] Unicef dan UNESCO mengadopsi sebuah pendekatan bagi pendidikan yang damai, termasuk menyediakan sekolah dengan pengalaman pendidikan yang tepat bagi anak-anak. Ke- pala Sub Direktorat Sekolah MenengahAtas Ditjen Pendidikan Islam Kementeri- an Agama (Kemag), Unang Rahmat, mengatakan, menurut beberapa penelitian terkini, 30% sekolah saat ini terpengaruh radikalisme. Meski begitu, sekolah masih menjadi tempat yang baik untuk membantu mencegah radikalisme dan konflik agama melalui pendidikan agama. Pasalnya, pendidikan agama mampu menumbuhkan nilai-nilai yang mengarah pada kehidupan damai dan berdampingan antar penganut agama yang berbeda, khususnya di kalangan generasi muda. “Di Pendidikan Islam, kami berhasil memberikan anak-anak pendidikan yang mengarah pada kedamaian bukan sekadar hafalan. Namun, nilai-nilai seperti akhlak Rasulullah didorong agar generasi kita, Insya Allah, akan toleran,” kata Unang pada acara Diskusi Pendidikan yang bertemakan Menggunakan Pendidikan untuk Toleransi, Perdamaian dan Pemecahan Konflik, yang diselenggarakan oleh Education Sector Analytical and Capacity Development Parnership (ACDP) Indonesia, di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Kamis (23/6). Dikatakan dia, untuk dapat mendidik siswa, Pendis mengirim 29 guru untuk belajar multikultural di Oxford University pada akhir 2014. Mereka belajar dari para pakar pendidikan dan etika. Ketika kembali ke Tanah Air, mereka dapat menghasilkan modul untuk pelatihan materi dan sebagainya. Menurut dia, metode pembelajaran seperti ini lebih utama daripada sarana dan prasarana. Sebagai negara yang majemuk dan heterogen, membangun perdamaian di seluruh penjuru Tanah Air bukan hal mudah. Bahkan, perbedaaan antar individu kerap memicu timbulnya konflik. Dalam hal ini, pendidikan di sekolah turut berperan mengedukasi siswa untuk dapat hidup harmonis di tengah perbedaan yang ada. Guru dan kepala sekolah harus mencontohkan pemecahan konflik yang tepat di sekolah. Untuk mewujudkannya, kata dia, peran guru sangat penting. Guru memiliki kekuatan yang lebih dahsyat daripada metodenya. Guru jangan hanya datang tetapi harus memberikan nilai-nilai pendidikan agama yang baik dan benar kepada anak. Nilai ini akan dapat membentuk negara yang damai. Guru Jadi Kunci Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, Totok Suprayitno, juga mengatakan, peran guru menjadi kunci. Karena, meski kurikulumnya sempurna, jika tidak diimbangi guru yang berkompeten akan percuma. Secara normatif, di dalam pendidikan modern, dari kurikulum ke kurikulum, misi pendidikan selalu membekali siswa tidak hanya pengetahuan dan keterampilan namun juga membekali nilai-nilai, sikap, dan perilaku. “Pendidikan bukan mendidik anak pintar namun juga menumbuhkan karakter. Bukan menanam, tetapi menumbuhkan. Pada dasarnya, masing-masing anak memiliki yang sudah terbawa dalam diri anak. Tinggal ditumbuhkan sikap, perilaku dan nilai,” kata Totok. Lanjut dia, dalam menghadapi tantangan yang modern dari sisi ekonomi dan ditunjang dengan gaya hidup yang hedonis. Banyak yang cenderung mengejar jalan pintas, melupakan pengetahuan dan keterampilan yang merupakan hakikat pendidikan yang mendasar. Maka pada revisi Kurikulum 2013 (K-13), pemerintah mengingatkan kembali pada guruguru bahwa tugas mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membantu menumbuhkan nilai-nilai luhur budi pekerti. Totok mengatakan, para guru tidak hanya mengajar pengetahuan, melainkan turut menumbuhkan nilai-nilai luhur budi pekerti melalui berbagai cara. Salah satunya dengan diskusi terbuka. Totok menjelaskan, para guru dapat mengajak siswa mendiskusikan hal-hal yang selama ini dianggap tabu setelah disesuaikan dengan usia siswa agar mereka dapat terlibat dan mau menyampaikan pendapatnya. Hal ini dikatakan Totok karena sejauh ini, peran guru dalam mendidik siswa di sekolah hanya diartikan sebagai transfer ilmu semata. Padahal, lebih dari itu, guru memiliki fungsi yang penting, termasuk dalam penumbuhan karakter dan menjadi teladan bagi siswanya. Menurut Totok, dalam pendidikan modern, misi pendidikan selalu membekali siswa tidak hanya pengetahuan keterampilan, namun juga nilai-nilai, sikap, dan perilaku. Sedangkan nilai budaya damai sendiri dilandasi prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, dan solidaritas. Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, mengatakan, masyarakat Indonesia hakikatnya majemuk. Secara historis, sulit untuk mengatakan wajah Indonesia saat ini masih menyimpan keaslian dalam budaya. Kata Hilmar, menghadapi krisis saat ini, harus kembali diperkuat melalui agama, tradisi, dan budaya. [FAT/D-10] |
Kembali ke sebelumnya |