Isi Artikel |
Pekerja pasta Bogasari melihat dan memilih pasta yang tidak layak, dipabrik PT Indofood Tbk Divisi Bogasari, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Kompas/Alif Ichwan (AIC)
19-10-2016
JAKARTA, KOMPAS – Penerapan konsep industri generasi keempat atau 4.0 diyakini memperbesar peluang perluasan usaha dan tenaga kerja sektor industri makanan dan minuman. Sebagian pelaku industri makanan dan minuman menuju ke industri 4.0. Namun, mereka hadapi sejumlah tantangan, antara lain sumber daya manusia, modal, dan pemasok teknologi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, Kamis (5/4/2018) menyatakan, mayoritas industri, terutama kelas menengah dan besar, baru menerapkan konsep industri 3.0 yang antara lain menggunakan teknologi robotik dan otomatisasi. “Terus terang belum ada industri makanan minuman yang 100 persen menerapkan industri 4.0,” ujarnya.
Menurut Adhi, sekitar 30 persen perusahaan menengah besar sektor makanan minuman menerapkan industri 3.0, sekitar 20 persen di antaranya mulai menuju ke penerapan industri 4.0 yang mengombinasikan teknologi robotik, otomatisasi, data besar, kecerdasan artifisial, serba internet, dan lainnya.
Ada empat hal yang jadi tantangan dalam penerapan industri 4.0. Tantangan dimaksud mencakup penyiapan sumber daya manusia dan modal yang besar untuk investasi dalam menerapkan industri 4.0. Pelaku industri pun masih menghadapi tantangan klasik seperti biaya bunga dan pengembalian investasi yang mahal.
Vendor atau pemasok teknologi dan sistem menuju industri 4.0 juga dinilai masih kurang. Pelaku industri yang hendak memesan sistem, misalnya, masih harus antre karena pada saat bersamaan banyak sekali industri mau menerapkan industri 4.0.
Tantangan terakhir adalah kesiapan regulasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan.
Menurut Adhi, penerapan industri 4.0 memberi kesempatan tumbuh bagi industri kecil menengah. Salah satu fenomena sekarang adalah munculnya kebutuhan produk dengan volume mengecil karena semakin spesifik.
“Konsumen di Jawa Tengah, misalnya, mungkin butuh produk A dengan rasa lebih manis, sedangkan konsumen di Jatim butuh produk A dengan rasa lebih asin,” katanya.
Hal itu mensyaratkan infrastruktur atau permesinan di industri yang harus bisa memproduksi barang dengan jumlah kecil tetapi berbiaya rendah. Era industri 4.0 tidak lagi mengejar volume besar, tetapi berorientasi kebutuhan yang semakin spesifik. Beda dengan sebelumnya yang berorientasi skala ekonomi dengan memperbesar kapasitas untuk menekan biaya produksi.
Perluasan
Efisiensi yang timbul dari penerapan industri 4.0 berpotensi memperluas usaha sekaligus penyerapan tenaga kerja. “Faktanya ada perusahaan yang menerapkan robotik dan ternyata juga tidak mengurangi tenaga kerja,” kata Adhi.
Rencana pemerintah memberikan insentif untuk kegiatan penelitian dan pengembangan serta vokasi cukup menarik dalam mendukung penerapan industri 4.0. Hal ini pun dilakukan beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia.
“Di Singapura ditetapkan double tax deduction. Misalnya sebuah perusahaan berinvestasi 100 untuk kegiatan riset dan pengembangan. Ketika keuntungan perusahaan misalnya 500, maka basis yang dikenai pajak hanya 300, yakni pengurangan dari 500 dengan 2×100,” ujar Adhi.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah sedang merancang insentif pajak penghasilan untuk kegiatan riset dan pengembangan serta vokasi. “Pertanyaannya, bagaimana memastikan riset dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia menghasilkan pengetahuan yang juga dipakai di Indonesia,” kata Suahasil.
Terkait itu, menurut Adhi, keterhubungan perusahaan secara global merupakan salah satu tantangan saat ini. Terpenting adalah riset dan pengembangan di Indonesia dan basis perusahaan yang mengajukan insentif juga ada di Indonesia. “Hasil riset pun harus digunakan di Indonesia, terlepas nanti bisa pula dimanfaatkan di tempat lain,” katanya.
Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Protein Kamar Dagang dan Industri Indonesia Thomas Darmawan berpendapat, tenaga kerja di berbagai lini tetap dibutuhkan meski pelaku industri mengarah ke penerapan industri 4.0.
“Perusahaan susu yang menerapkan industri 4.0 toh tetap butuh pasokan susu sapi dari para peternak. Jadi tidak otomatis akan terjadi pengurangan tenaga kerja secara keseluruhan,” kata Thomas.
Menurut Thomas, penerapan teknologi 4.0 juga jadi solusi untuk menjaga kinerja sektor usaha yang kesulitan tenaga kerja karena tidak lagi diminati generasi muda. Misalnya, pekerja dengan tugas memotongi kepala ikan. Teknologi bisa jadi solusi.(CAS)
|