Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul E-DAGANG - Kontribusi E-Dagang terhadap Perekonomian Masih Rendah
Tanggal 07 April 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VI
Isi Artikel   KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Ilustrasi daring JAKARTA, KOMPAS – Kontribusi perdagangan barang konsumsi atau ritel secara daring terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah. Padahal, Indonesia menjadi negara dengan populasi pengguna internet terbesar ke-5 di dunia. Berbagai kebijakan pemerintah membantu usaha mikro, kecil, dan menengah untuk dapat bersaing secara digital sangat dibutuhkan. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Financial (INDEF), Bhima Yudistira, mengatakan, hasil riset INDEF pada Maret 2018, yaitu investasi di sektor e-dagang Indonesia pada 2017 sebesar 4,8 miliar dollar AS hanya memberikan kontribusi sebesar 0,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). ”Dari kontribusi 0,7 persen itu, sektor perdagangan ritel hanya memberikan porsi 0,048 persen. Yang terbesar masih sektor ekonomi informasi dan komunikasi sebesar 18,8 persen,” ujar Bhima saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (7/3/2018). Jumlah itu lebih kecil dibandingkan negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura, yang masing-masing kontribusi perdagangan ritel daringnya 0,8 persen dan 4 persen terhadap pertumbuhan PDB mereka. Menurut Bhima, dari seluruh transaksi ritel di Indonesia, transaksi melalui platform e-dagang jumlahnya masih di bawah 2 persen. Hal itu disebabkan masyarakat Indonesia secara dominan masih melakukan aktivitas perbelanjaan barang ritel secara langsung di pasar tradisional, toko, minimarket, atau tempat fisik lainnya. Hal itu itu bertolak belakang jika melihat pengguna internet di Indonesia yang menduduki posisi ke-5 setelah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil. Data dari Wearesocial per Januari 2018, jumlah pengguna aktif internet di Indonesia sebanyak 132,7 juta orang. ”Banyak faktor yang menyebabkan sektor ritel e-dagang masih rendah kontribusinya, salah satunya persebaran internet yang belum merata dan masih belum banyak pelaku UMKM yang produknya dipasarkan secara daring,” kata Bhima. Bhima mengutip hasil riset Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa penetrasi internet di Indonesia, 65 persennya masih terpusat di Pulau Jawa. Adapun penetrasi internet di luar Pulau Jawa masih di bawah 20 persen, antara lain Pulau Sumatera (15,7 persen), Pulau Kalimantan (5,8 persen), dan Pulau Sulawesi (6,3 persen). ”Pasar e-dagang terpusat di Pulau Jawa dengan 70,91 persen dan luar jawa 29,09 persen. Gap itu masih tinggi dan berpengaruh pada produk UMKM karena mereka banyak yang berada di desa atau di luar kota yang jangankan internet, listrik saja masih susah,” kata Bhima. Kalah saing Bhima Yudistira ”Data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) juga mengatakan hanya 6-7 persen produk UMKM yang dipasarkan secara digital. Sebanyak 90 persen produk yang dipasarkan di Indonesia adalah produk impor,” kata Bhima. Menurut Bhima, terdapat beberapa permasalahan produk UMKM Indonesia yang membuatnya kalah bersaing dengan produk impor di laman e-dagang, antara lain, konsistensi kualitas, skala industri, dan pendanaan. Peraturan Presiden No 74 tahun 2017 tentang roadmap e-dagang harus diimplementasikan. Selain itu, penyusunan peraturan perpajakan yang sesuai dengan kondisi pelaku usaha e-dagang dibutuhkan. ”Untuk skala industri kehadiran agregator yang menyambungkan antara industri UMKM dan marketplace menjadi penting. Hal itu untuk membuat harga produksi menjadi murah. Saat ini kan masing masing UMKM sendiri-sendiri berjualan di marketplace e-dagang, seperti Tokopedia dan Bukalapak. Saya berharap, BUMN (badan usaha milik negara) dapat menjadi agregator,” kata Bhima. Bhima mencontohkan, agregator UMKM terdapat di negara China. Agregator bernama Tao Bao berfungsi untuk menghimpun produk-produk UMKM secara grosir. Pelaku UMKM tidak perlu memikirkan pemasaran, pengiriman barang, dan hal lainnya sehingga harga produk menjadi murah. Produk yang terkumpul di Tao Bao diseleksi dan yang kualitasnya tinggi dapat dipasarkan secara ritel di laman alibaba.com, salah satu raksasa platform e-dagang dunia asal China. Potensi besar Meski begitu, Bhima mengakui, potensi e-dagang Indonesia ke depan sangat besar. Pada 2021 INDEF memprediksi transaski daring meningkat 300 persen dibandingkan tahun 2015. Pada 2021 transaksi daring diprediksi mencapai 11,32 miliar dollar AS, padahal pada 2015 jumlah transaksi daring hanya berjumlah 4,61 miliar dollar AS. Jumlah pembeli digital pada 2021 di Indonesia diprediksi mencapai 38,34 juta orang, meningkat dibanding tahun 2015 yang jumlahnya hanya 22,20 juta orang. ”Data eMarketer pada 2017 porsi barang yang dijual dalam e-dagang didominasi oleh produk pakaian. Presentasenya mencapai 45,8 persen,” tutur Bhima. Sementara itu, Sarah Humaira, Direktur Marketing Zilingo Indonesia mengakui, potensi e-dagang Indonesia akan sangat besar ke depannya. Perilaku aktif masyarakat Indonesia di dunia digital merupakan pasar yang bagus. Zilingo.com merupakan perusahaan marketplace khusus untuk busana. ”Di ASEAN, 60 juta dollar AS setiap tahunnya habis dibelanjakan untuk fashion. Untuk Indonesia, 60 persen masyarakat tidak membelanjakannya untuk fashion dengan merek internasional. Kebanyakan produk lokal yang dibeli. Jadi, kami fokus untuk menjual busana dari pelaku UMKM,” kata Sarah.
  Kembali ke sebelumnya