Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul INDUSTRI 4.0 - Sektor Hulu Industri Kimia Dinilai Lebih Siap
Tanggal 09 April 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VI
Isi Artikel   Teknisi melakukan perakitan pompa hidrolik di workshop PT Bosch Rexroth, Cilandak, Jakarta, Senin (25/5/2015). Ilustrasi Kompas/Hendra A Setyawan (HAS) 25-05-2015 JAKARTA, KOMPAS  – Industri hulu petrokimia yang padat modal dan padat teknologi dinilai lebih siap menerapkan  industri 4.0 ketimbang hilirnya. Sebab, sejak awal beroperasi, sisi hulu telah mengimplementasikan teknologi tinggi. Sementara di hilir yang cenderung padat karya, penerapan industri 4.0  mesti dilakukan secara bertahap dengan tetap mempertimbangkan aspek penyerapan tenaga kerja. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (8/4/2018) menyatakan, aplikasi mesin berteknologi mutlak diperlukan industri petrokimia di hilir. Sebab, tantangan  di hilir adalah menghasilkan produk 50-100 persen lebih banyak dengan jumlah tenaga kerja dan ongkos produksi yang sama, termasuk tarif listrik di dalamnya. Menurut Fajar, saat ini ada sekitar 1.500 unit industri hilir terkait petrokimia berkapasitas minimal 30 ton per bulan dengan total jumlah tenaga kerja sekitar 1 juta orang. Penggunaan mesin berteknologi tinggi dinilai penting untuk menjaga daya saing pelaku industri dalam negeri untuk berhadapan dengan kompetitor di negara lain. Teknologi pun membawa kemudahan dan berpeluang menciptakan efisiensi di berbagai tahapan. “Mesin-mesin  yang dibeli dari Eropa, misalnya, mampu dideteksi dari jauh. Jadi ketika rusak pun -sejauh tidak parah- bisa didiagnosis dan diperbaiki tanpa harus mendatangkan teknisinya ke Indonesia,” ujar Fajar. Dukungan peningkatan kemampuan sumber daya manusia serta kemudahan mengakses pameran teknologi dibutuhkan pelaku industri. Pameran  membantu pelaku industri mendapatkan informasi dan teknologi terkini sekaligus menyesuaikannya dengan agenda kegiatan produksi masing-masing. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI), Suhat Miyarso menyatakan, industri hulu petrokimia dari awal sudah menerapkan teknologi tinggi. “Jadi kami tinggal menyesuaikan atau meningkatkan dari teknologi yang sudah ada saat ini,” katanya. Akan tetapi, implementasi industri 4.0 di sisi hilir dinilai masih membutuhkan waktu untuk menjangkau pelaku industri kimia. Perkembangan zaman selalu menuntut upaya untuk semakin memajukan kemampuan. Otomatisasi dapat dilakukan untuk mengerjakan tahapan produksi yang bersifat rutin. Peran manusia Revolusi industri keempat (4.0) antara lain ditandai dengan pemakaian teknologi informasi, kecerdasan artifisial, serta pemakaian mesin atau kendaraan otonom. Konsekuensinya, sejumlah fungsi yang sebelumnya dijalankan manusia akan tergantikan oleh mesin atau komputer. Akan tetapi, peran manusia dinilai tetap ada. “Akan selalu ada ruang bagi manusia. Otomatisasi tidak bisa menggantikan peran pengambilan keputusan, tetap harus peran manusia,” ujar Suhat. Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono menuturkan, aplikasi industri 4.0  di industri yang sudah lama beroperasi dilakukan secara bertahap. Investasi baru didorong untuk menerapkan industri 4.0. “Tanpa itu, sulit untuk bersaing dengan industri petrokima lain,” kata Achmad Sigit. Riset dan pengembangan merupakan tahapan yang  menentukan di industri petrokimia. Tahapan tersebut berkaitan erat dengan paten dan perancangan serta pengembangan produk-produk baru. “Investasi di hulu kadang hanya di sisi paten. Menarik riset dan pengembangan ke dalam negeri juga susah. Jadi memang harus membangun dan mengembangkan riset dan pengembangan untuk meneliti produk-produk baru di industri petrokimia,” kata Achmad Sigit. Integrasi hulu-hilir jadi tantangan terbesar bagi industri petrokimia  Indonesia. Sektor ini kini masih memiliki ketergantungan tinggi impor bahan baku. Nilai impor khusus petrokimia dan bahan kimia lain masih berkisar 20 miliar dollar AS per tahun. Terkait  bahan baku yang selama ini berbasis minyak bumi,  pelaku  didorong memakai gas alam dan batubara. Tantangannya adalah mendekatkan pabrik  pengguna dengan sumber  gas alam dan batubara.
  Kembali ke sebelumnya