Isi Artikel |
Pengunjung mengelilingi butik di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Bekasi, Minggu (6/12/2015). Kelengkapan serta kenyamanan yang ditawarkan pusat perbelanjaan modern mendorong warga menghabiskan waktu atau uang di tempat ini.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan tren berbelanja turut memengaruhi kunjungan dan bisnis pusat perbelanjaan. Perlu inovasi dalam memberikan pengalaman berbelanja kepada konsumen agar bisnis pusat perbelanjaan dapat tetap tumbuh.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pusat perbelanjaan dinilai lebih sepi. Namun, sejumlah pusat perbelanjaan yang mampu beradaptasi justru lebih ramai sehingga mendapat keuntungan yang lebih tinggi.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, perubahan tren belanja dari toko konvensional ke toko dalam jaringan (daring) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihambat.
”Pengusaha harus terus berupaya untuk menyesuaikan gaya hidup dan kebutuhan konsumen. Saat ini orang ke pusat perbelanjaan untuk bergaul dan mencari makan atau minuman,” ujarnya.
Enggartiasto berharap pengusaha dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga tengah menyiapkan rancangan peraturan untuk mengatur kesetaraan antara pasar daring dan pasar konvensional.
”Yang akan diatur antara lain kewajiban penyelenggara perdagangan elektronik menjual 80 persen produk lokal. Hal ini dilakukan untuk mencegah banjirnya produk impor di toko-toko daring yang beroperasi di Indonesia. Kami juga akan mengeluarkan aturan terkait pajak penghasilan industri kecil menengah untuk mengubah besaran pajak dari yang semula 1 persen menjadi 0,5 persen,” tuturnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengakui, pada 2017, bisnis pusat perbelanjaan dari 320 anggota APPBI cenderung stagnan.
”Data yang kami peroleh, di satu sisi ada 10 pusat perbelanjaan yang turun hingga 59 persen. Sementara di sisi lain ada 10 pusat perbelanjaan yang mengalami peningkatan hingga 20 persen,” ujarnya.
Ridwan mengatakan, pusat-pusat perbelanjaan bisa tetap menjaga pertumbuhan usahanya karena melakukan inovasi dalam menghadapi perubahan tren belanja. Ia mengatakan, media sosial menjadi salah satu faktor perubahan tren belanja.
Diakui oleh Ridwan, kemunculan toko-toko daring menjadi salah faktor yang merubah tren belanja. ”Pengusaha yang ingin tetap tumbuh akan mencoba banyak kanal. Pemilik usaha membuka dua jenis toko berbeda, toko daring dan toko fisik,” ucap Ridwan.
Edward Tirnata, pemilik kedai minum teh Lewis and Carroll, mengatakan memulai bisnisnya dari sebuah ruko dan menggunakan media sosial sebagai sarana pemasaran.
”Setelah usaha kami berkembang, kami memberanikan diri masuk ke pusat perbelanjaan. Kami juga menyuguhkan sensasi minum teh. Pengunjung kami minta untuk mencium aroma teh yang berbeda-beda dan menjelaskan manfaat dari setiap teh yang kami miliki. Sensasi minum teh seperti itu membuat pengunjung tertarik untuk datang,” tuturnya.
|