Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul MASA DEPAN INDUSTRI - Revolusi Industri 4.0 di Indonesia Masih Jauh dari Harapan
Tanggal 14 April 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VI
Isi Artikel DD01   14 April 2018 20:16 WIB           KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO Kesibukan di studio pengembang permainan interaktif elektronik atau video game Altermyth, Senin (3/8/2015). Memproduksi permainan untuk perangkat bergerak, studio ini bagian dari industri digital yang tengah bergeliat di tanah air.   JAKARTA, KOMPAS – Penerapan konsep revolusi industri gelombang keempat atau industri 4.0 secara utuh di Indonesia dinilai belum bisa terwujud dalam waktu dekat. Sejumlah tantangan seperti kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, insentif regulasi, dan penguasaan pasar masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di era revolusi industri gelombang keempat, perkembangan industri dilakukan dengan memadukan berbagai teknologi digital antara lain, peralatan yang telah terhubung dengan internet protocol (IP), otomatisasi, data besar (big data), dan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI). Pemerintah pun mencanangkan penerapan konsep tersebut pada lima sektor prioritas. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sektor prioritas tersebut adalah industri makanan dan minuman, elektronika, tekstil dan busana, otomotif, dan kimia. Kelima sektor tersebut dipilih karena menggerakkan 60 persen produk domestik bruto (PDB). Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (14/4/2018), mengatakan, dari total 5.381 perusahaan tekstil di Indonesia, terdapat 15 persen yang menuju penerapan konsep industri 4.0. Sejumlah perusahaan tersebut terbatas pada lingkup industri menengah dan besar, serta perusahaan yang dinominasikan oleh pembeli. KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU Penguasaan teknologi digital semkain penting untuk meningkatkan inovasi dan produktivitas di era Revolusi Industri 4.0. terlihat, seornag siswa SMK tata busana mendesain busana dengan komputer. Menurut dia, penerapan industri 4.0 di sektor industri tekstil membutuhkan mesin-mesin yang teknologinya selalu berkembang setiap tahun. Harga mesin tersebut hanya bisa dijangkau oleh industri menengah dan besar. Jumlah sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan mesin-mesin tersebut pun terbatas. Meski sudah bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk melatih tenaga kerja, jumlah operator belum mencukupi kebutuhan. Menurut Ernovian, kualifikasi operator dibatasi yaitu lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK), namun usia mereka saat lulus belum mencukupi batas usia tenaga kerja, yaitu 18 tahun. “Sampai saat ini, kami masih kekurangan operator mesin,” kata Ernovian. Dalam tahap distribusi, industri juga masih terkendala infrastruktur. Belum ada integrasi antara infrastruktur jalur darat, laut, serta udara dan gudang-gudang perusahaan. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Karyawan mendata barang pesanan untuk dikirimkan kepada pembeli di gudang toko daring Lazada di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Rabu (8/4/2015).  Tantangan serupa juga dihadapi industri makanan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, persoalan kesiapan SDM, modal yang besar untuk investasi, serta keterbatasan pemasok teknologi atau vendor, juga menyebabkan penerapan industri 4.0 masih minim. Menurut Adhi, sekitar 30 persen dari total perusahaan menengah dan besar telah menerapkan industri 3.0, yaitu menggunakan otomatisasi dan teknologi robotik. Dari jumlah tersebut, sekitar 20-30 persen mulai menuju ke penerapan industri 4.0. “Terus terang saja belum ada yang 100 persen menerapkan industri 4.0,” ujarnya. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik Ali Soebroto perpaduan berbagai teknologi di era digital bertujuan untuk menciptakan industri yang mampu memproduksi barang tidak hanya secara cepat dan murah, tetapi juga dalam jumlah besar dan fleksibel, bisa melayani banyak variasi. Namun, kendala yang dihadapi para pelaku industri bukan hanya pada ranah produksi dan distribusi, tetapi juga pada penjualan. “Untuk mewujudkan smart factory membutuhkan pasar yang sangat besar, industri di Indonesia masih jauh menuju itu,” ujarnya. Hingga saat ini industri di Indonesia baru menguasai pasar domestik. Jangkauan yang lebih jauh masih terbatas pada kolaborasi dengan perusahaan dari negara maju. Bahkan, dalam industri elektronik, pasar domestik juga masih didominasi oleh produk-produk impor. “Industri elektronika dan industri padat karya lainnya berharap, pemerintah dapat mengatur iklim pasar yang didominasi oleh produk dan produksi dalam negeri,” kata Ali. Tenaga kerja Ali menuturkan, peluang negara maju untuk menerapkan industri 4.0 lebih besar ketimbang Indonesia karena mampu menguasai pasar global. Penggunaan teknologi yang mampu memproduksi barang secara cepat, dalam jumlah besar, dan dalam banyak variasi akan menggantikan tenaga manusia. Pekerjaan manual yang dilakukan perusahaan negara maju di Indonesia pun kemungkinan ditiadakan. “Jika kondisi itu terwujud, maka negara berkembang akan mengalami bencana kehilangan lapangan kerja yang besar,” kata dia. Meski demikian, penerapan industri 4.0 dengan berbagai keterbatasan di Indonesia dinilai tidak akan mengurangi jumlah tenaga kerja secara signifikan. Menurut Ali, konsep industri 4.0 di Indonesia hanya akan sampai pada tahap digitalisasi, yaitu produksi barang secara cepat dalam jumlah banyak. Namun, belum bisa melayani permintaan satu produk dalam berbagai variasi. Menurut Ernovian, di sektor tekstil tenaga kerja juga belum berkurang. Penerapan industri 4.0 dapat meningkatkan daya saing yang keberhasilannya berdampak pada ekspansi perusahaan. “Jika perusahaan dapat berekspansi, maka tenaga kerja yang terserap juga kian banyak,” ucapnya. Di hulu, setiap pekerja memang bisa mengoperasikan delapan mesin sekaligus. Akan tetapi di hilir, setiap mesin harus dijalankan oleh satu orang. KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman. Adhi mengatakan, tanpa menerapkan industri 4.0, daya saing perusahaan justru akan menurun. Hal tersebut berakibat pada produksi barang yang tidak laku di pasaran. “Jika daya saing perusahaan menurun, maka pengurangan tenaga kerja justru akan terjadi,” ujarnya. (DD01)
  Kembali ke sebelumnya