Isi Artikel |
KOMPAS/PRIYOMBODO
Truk mengangkut peti kemas dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Pusat, Senin (17/3).
Di saat genderang perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah ditabuh, harian terkemuka China Daily dan beberapa media besar lainnya secara beruntun (edisi 11, 12/4) justru menurunkan berita utama yang sangat menyejukkan. Mengambil momentum pembukaan Konferensi Tahunan BOAO Forum for Asia 2018 (semacam Forum Ekonomi Dunia yang diprakarsai China) di Hainan, Presiden Ji Xinping menegaskan posisi negaranya sebagai jangkar stabilitas global serta pembela rezim perdagangan bebas yang terbuka.
Komitmen pemerintah China jelas; ingin membuka diri seluas mungkin, dengan cara melonggarkan restriksi di pasar domestik mereka. Tujuannya, menjaga momentum pertumbuhan global agar terjaga. Direktur eksekutif IMF, Christine Lagarde yang hadir dalam pertemuan tersebut nampak terpesona dan memuji sikap pemerintah China. Jelas sekali, China ingin membangun narasi anti-thesa atas sikap pemerintah Amerika Serikat.
Ada dua pesan penting dari dinamika tersebut. Pertama, negara utama perdagangan dunia akan terus dilanda dinamika saling menyandera. Ketidakpastian perdagangan global meningkat, sehingga negara kecil seperti kita harus berupaya keras mencari pasar non-tradisional yang relatif tak terpengaruh dengan dinamika perang dagang tersebut. Kedua, perdagangan selalu menyangkut sikap politik, dan soal memposisikan diri dalam kancah global.
Dalam konteks tersebut, Forum Indonesia Afrika 2018 di Bali pada 10-11 April lalu menjadi penting untuk mulai secara serius menggarap pasar Afrika, sekaligus penegasan politik atas poros Asia-Afrika yang pernah dibangun Indonesia pada 1950-an.
Upaya pencarian pasar baru tersebut juga perlu diletakkan dalam kerangka membaiknya proyeksi perekonomian domestik di jangka menengah, serta berbagai tantangan pokok dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah, perekonomian kita termasuk yang prospeknya menjanjikan. Baru saja Moody’s meningkatkan peringkat kita dari Baa3 menjadi Baa2, tak lagi pada posisi terbawah layak investasi.
Sementara itu, salah satu problematika jangka pendek kita adalah defisit neraca perdagangan. Sejak akhir 2017, neraca perdagangan kita terus mengalami defisit, meski diperkirakan Maret 2018 sudah mulai surplus meski tipis. Pada Januari, defisit perdagangan sebesar 0,68 miliar dolar AS, sementara pada Februari menyusut menjadi 0,12 miliar dolar AS.
Pada sektor perdagangan, ada dua kecenderungan umum yang tak menguntungkan. Pertama, ketergantungan eskpor pada beberapa komoditi (primer) utama saja, dan serta pada negara tujuan tradisional. Kedua, ketergantungan impor bahan baku dan barang modal yang mengakibatkan setiap terjadi peningkatan aktivitas perekonomian, angka impor melejit.
Di satu sisi kita ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun jika tak mampu mendorong ekspor, maka defisit neraca perdagangan akan membesar. Untuk itu, diperlukan politik, strategi dan kebijakan perdagangan yang sistematis.
Forum Ekonomi Dunia tahun lalu mencatat, dari 10 negara paling cepat pertumbuhannya di dunia, 7 di antaranya ada di Afrika. Pada 2016, negara Pantai Gading tumbuh 8,5 persen, Tanzania 6,9 persen, Senegal 6,6 persen, Djibouti 6,5 persen, Rwanda 6,3 persen, Kenya 6 persen dan Mozambik 5,7 persen.
Bank Dunia memprediksi pada 2018 akan ada 6 negara yang masuk dalam daftar 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Bank Dunia juga meproyeksikan kenaikan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Afrika Sub-Sahara, dari 2,4 persen pada 2017 menjadi 3,2 persen tahun ini dan tahun depan menjadi 3,5 persen.
Demikian pula dengan Brooking Institute yang menulis laporan komprehensif tentang prospek kawasan Afrika dengan judul Foresight Africa yang berisi 10 prioritas utama untuk benua ini pada 2018. Pada intinya, laporan ini menegaskan narasi “Africa Rising” di mana kawasan ini berpotensi menjadi pemilik masa depan dunia.
Dari semua laporan tengan masa depan Afrika, ada beberapa keunggulan yang tak terbantahkan. Pertama, keunggulan demografi ditandai dengan tingkat kelahiran tinggi di masa depan. Dalam laporan yang ditulis UNICEF berjudul Child Demographics in Africa, disebutkan hingga 2030 akan ada 1,8 miliar bayi dilahirkan di tanah Afrika. Benua ini akan mengalami kenaikan jumlah penduduk sebanyak dua kali lipat, serta penduduk berusaha di bawah 18 tahun akan meningkat dua pertiganya mencapai hampir 1 miliar penduduk. Kekuatan demografi ini akan menjadi pendorong pertumbuhan kawasan, disertai dengan peningkatan konsumsi.
Kedua, seiring pertumbuhan kelas menengah kecenderungan urbanisasi tak bisa dibendung. Forum Ekonomi Dunia memperkirakan 50 persen penduduk Afrika akan terkonsentrasi di kota pada 2030 dan meningkat menjadi 60 persen pada 2050. Sudah jelas, perkembangan perkotaan selalu membutuhkan infrastruktur serta industri jasa yang memadai, mulai dari sarana kesehatan, pendidikan, asuransi, listrik, air minum, gas, dan sebagainya.
Sebagai negara dan kawasan yang sama-sama prospektif, tentu Indonesia bisa menjadi mitra bagi berbagai negara di kawasan Afrika. Berbagai peluang bisnis berbasis konsumsi serta konstruksi terbuka lebar. Dalam Forum Indonesia Afrika kemarin telah ditantangani kesepakatan bisnis berjumlah total hampir 1 miliar dolar AS, serta 11 potensi kerja sama senilai kurang lebih 1,3 miliar dolar AS. Sektor yang terbuka untuk kerja sama meliputi energi, infrastruktur, industri strategis, pertanian dan digital economy.
Masalahnya, tanpa campur tangan pemerintah dari berbagai kementrian dan lembaga dipastikan inisiasi tersebut tak akan berkembang baik. Begitu banyak kendala teknis di lapangan, mulai dari tranportasi, birokrasi serta sosial yang membuat inisiatif bisnis tak berkembang jika tak ada inkubasi dari pemerintah.
(A Prasetyantoko, Ekonom Unika Atma Jaya)
|