Isi Artikel |
USAHA RAKYAT
Pelaku UMKM Belum Rasakan Manfaat E-Dagang
DD01
22 April 2018 21:34 WIB
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Produk dari Koperasi Ansoruna, Temanggung, Jawa Tengah, salah satu peserta Ansor Fair 2018, dipamerkan di Jakarta, Minggu (22/4/2018). Pameran usaha mikro, kecil, dan menengah yang diselenggarakan dalam rangka hari lahir ke-84 Gerakan Pemuda Ansor itu berlangsung hingga Selasa (24/4/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah belum merasakan manfaat penjualan melalui platform e-dagang. Minimnya pengetahuan mengenai teknologi informasi menjadi kendala utama. Selain itu, pembeli juga cenderung tidak percaya pada kualitas produk lokal yang dijual secara dalam jaringan (online).
Pegiat Koperasi Ansoruna sekaligus Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Temanggung, Jawa Tengah, Sukron Wahid (36), di Jakarta, Minggu (22/4/2018), mengatakan, penjualan produk di koperasinya belum memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. Koperasi yang menaungi beberapa produk kopi dan gula aren lokal itu menjual produk secara dalam jaringan (daring/online) sebatas menggunakan media sosial, belum menggunakan platform e-dagang.
”Pengetahuan dan keterampilan kami mengenai platform penjualan daring masih sangat terbatas,” ujar Sukron seusai pembukaan Ansor Fair 2018 dalam rangka peringatan hari lahir ke-84 GP Ansor di Jakarta. Dalam acara itu, hadir pula Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Coumas dan Sekretaris Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Agus Muharram.
Sukron menambahkan, karena belum mampu mengoptimalkan platform daring, jangkauan pasar mereka pun terbatas. Penjualan masih dilakukan di Jawa Tengah dan sekitarnya serta wilayah-wilayah tempat mereka mengikuti pameran.
Padahal, produk yang diunggulkan dengan karakter khas itu cukup digemari masyarakat. Salah satunya kopi robusta asli Temanggung yang mereka beri merek dagang Triple L (LLL). Musiran (42), produsen kopi LLL, mengatakan, produksinya mencapai 500 kilogram per tahun.
Kopi LLL dijual dalam dua bentuk, yaitu biji kopi kemasan dan kopi yang diseduh secara manual. Biji kopi kemasan 200 gram dijual Rp 20.000, sementara harga kopi yang diseduh secara manual berkisar Rp 10.000-Rp 17.000 per gelas.
Keuntungan yang didapat dari penjualan kopi seduh jauh lebih besar ketimbang biji kopi. ”Keuntungannya mencapai 50 persen di atas harga kopi kemasan,” ujar Musiran.
Selain itu, usaha Koperasi Ansoruna juga terkendala kemampuan produksi yang terbatas. Menurut Musiran, dengan teknologi di industri rumahan, jumlah kopi yang diproduksi tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar yang lebih besar. Panen kopi juga tidak menentu karena dipengaruhi musim.
Penjualan yang belum optimal juga dirasakan oleh perajin mutiara asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Maesarah. Meski memulai usaha dari menjadi penjual kedua atau reseller mutiara secara daring, ia mengatakan, penjualan perhiasan mutiaranya di luar jaringan (luring) atau secara langsung lebih tinggi ketimbang penjualan daring.
Usaha May Mutiara Lombok yang ia mulai sejak 2016 itu saat ini sudah meluas, tidak hanya di NTB, tetapi juga di Papua, Kalimantan, dan Jakarta. Ia memiliki reseller di beberapa provinsi tersebut.
Dari penjualan di beberapa provinsi itu, Baiq mengatakan, hasil penjualannya Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan. Adapun keuntungan bersih yang ia terima sekitar 50 persen dari total penjualan. Ia tidak bisa memperkirakan jumlah bahan baku mutiara yang digunakan untuk produksi karena pembuatan perhiasan dilakukan berdasarkan pesanan pembeli.
Menurut dia, promosi perhiasan secara daring lebih sulit ketimbang barang lain. Sebab, pembeli cenderung tidak percaya dengan kualitas perhiasan.
Meski demikian, ia percaya, memasuki era digital, penjualan akan kalah dengan pedagang lain yang menggunakan platform e-dagang. Mereka bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya yang rendah.
ARSIP PRIBADI
Perajin perhiasan mutiara asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Baiq Maesarah
”Cita-cita saya ingin membuka toko perhiasan mutiara dan belajar e-dagang,” ujar Baiq. ”Biar bagaimanapun, dalam berdagang kami harus memberitahukan produk ke masyarakat sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, saya ingin menggunakan e-dagang ke depannya,” katanya.
Baiq mengatakan, pengetahuan dirinya dan pelaku UMKM secara umum di NTB mengenai teknologi informasi masih terbatas. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan mengenai teknologi dan manajemen usaha kepada para pengusaha kecil.
Produk lokal diragukan
Penggunaan platform e-dagang tidak melulu membawa keberhasilan dari para pelaku usaha. Ketua dan Manajer Koperasi Global Nusantara, Padang, Sumatera Barat, Nazaruddin (40) mengatakan, salah satu produk unggulan koperasinya adalah susu suplemen dari bahan kacang kedelai, kacang hijau, dan cokelat bermerek dagang ACPA. Produk yang dikembangkan berdasarkan penelitian sejak 2010 itu berkhasiat mengobati stroke, menurunkan kolesterol, dan menstabilkan tekanan darah.
Untuk mengoptimalkan penjualan, Nazaruddin membuat situs khusus produk ACPA dan menjualnya lewat media sosial. Selain itu, ACPA juga bisa dibeli di beberapa platform e-dagang, yaitu Lazada, Bukalapak, dan Elevenia. ”Walaupun begitu, penjualan dari platform daring hanya 30 persen. Sebanyak 70 persen justru kami dapat dari penjualan langsung,” ujar Nazaruddin.
Dia menambahkan, produksi susu ACPA mencapai 3.000 kemasan berukuran 200 gram setiap bulan. Ribuan kemasan susu itu dijual di beberapa kota, antara lain Padang, Pasaman, Riau, Jambi, Banjarmasin, Banjarbaru, dan Martapura. Selain itu, ada pula penjualan di Plaihari, Balangan, Amuntai, Tanjung, dan Bekasi.
”Tantangan kami adalah perilaku masyarakat yang lebih memercayai produk impor. Walaupun berkualitas, produk lokal kurang disukai masyarakat,” kata Nazaruddin. Oleh karena itu, penjualan secara langsung cenderung lebih berhasil karena pembeli dapat mendengarkan penjelasan mengenai produk secara komprehensif.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Ketua dan Manajer Koperasi Global Nusantara, Padang, Sumatera Barat, Nazaruddin
Berbeda dengan produk UMKM umumnya di Ansor Fair yang diproduksi di industri rumahan, susu ACPA diproduksi di sebuah pabrik. Usaha yang bermula dari iuran anggota koperasi itu pada awal 2018 telah mendapatkan kredit dari Bank Nasional Indonesia (BNI).
”Menurut rencana, kami akan memperluas jangkauan pasar dan menambah pabrik. Saat ini, pabrik baru ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut rencana, kami ingin membuka pabrik di setiap pulau di Indonesia,” ujar Nazaruddin.
Dukungan
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Coumas mengatakan, setiap pengurus wilayah GP Ansor diwajibkan memiliki usaha. Oleh karena itu, setiap wilayah memiliki usaha khasnya masing-masing, mulai dari makanan, pakaian, hingga produksi mesin.
”Kendala mereka secara umum adalah permodalan dan pemasaran. Terutama soal pemasaran, produk yang dihasilkan masih sebatas dijual dalam lingkup lokal,” kata Yaqut.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Coumas.
Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM Agus Muharram mengatakan, memasuki era industri 4.0, para pelaku UMKM semestinya mampu mengoptimalkan platform e-dagang. Kementerian Koperasi dan UKM menyediakan kelas e-dagang bagi para pelaku yang ingin belajar.
Selain itu, pemerintah juga telah membuka 52 pusat layanan usaha terpadu (PLUT) di 22 provinsi. Setiap pelaku UMKM dapat memanfaatkan layanan PLUT berkoordinasi dengan Dinas Koperasi dan UKM di provinsi masing-masing.
Agus menambahkan, sejak 2014 jumlah pelaku UMKM di Indonesia telah bertumbuh. Dari 1,56 persen total penduduk menjadi 3,1 persen dari total penduduk. ”Targetnya pada akhir 2018 jumlah pelaku sudah mencapai 4 persen dan pada 2019 menjadi 5 persen dari total penduduk,” katanya.
Agus mengatakan, meski jumlah pelaku UMKM terus meningkat, setiap pelaku juga perlu memperhatikan urusan kualitas produk dan hak kekayaan intelektual (Haki) pada setiap inovasi produk.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, memasuki 2018 sudah ada 9.531 unit usaha yang difasilitasi untuk mendapatkan Haki, standardisasi mutu, kemasan produk, praktik produksi, dan sertifikasi produk. Dari jumlah itu, masih ada 469 unit usaha lagi yang perlu difasilitasi karena target pemerintah adalah memfasilitasi 10.000 unit usaha.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM Agus Muharram
Akan tetapi, target pengembangan UMKM dari sisi lain masih jauh dari harapan, antara lain soal akses terhadap kredit usaha rakyat (KUR). Dari target 137.600 unit selama lima tahun, baru tercapai 64.273 unit. Selain itu, pelatihan kewirausahaan juga baru diberikan kepada 22.190 pelaku UMKM, sedangkan target yang harus dicapai pada 2019 adalah 54.036 pelaku UMKM.
|