JAKARTA, KOMPAS — Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 5,1-5,2 persen. Namun, target Kementerian Keuangan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 ditetapkan 5,3 persen. "Pertumbuhan ekonomi akan lebih baik di triwulan-triwulan berikutnya. Pokoknya, bagi saya, 5,1-5,2 persen oke. Yang jelas, harus di atas 5 persen," kata Bambang menjawab pertanyaan wartawan seusai rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (6/6). Rapat membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016. Rapat yang dihadiri sejumlah menteri Kabinet Kerja tersebut dipimpin Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir. Bambang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1-5,2 persen tahun ini atas dasar konsumsi rumah tangga sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diasumsikan tumbuh 5 persen dan investasi tumbuh 6 persen. Sementara konsumsi pemerintah diasumsikan tumbuh 5-6 persen. Kegiatan ekspor-impor juga diharapkan mulai tumbuh positif di akhir tahun. Pada RAPBN-P 2016, Kementerian Keuangan memasang target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen atau sama dengan target awal pada APBN 2016. Asumsinya antara lain konsumsi rumah tangga tumbuh 5,1 persen dan investasi tumbuh 6 persen. Adapun konsumsi pemerintah tumbuh 6 persen. Sementara ekspor dan impor masing-masing diasumsikan tumbuh 0,1 persen dan 0,4 persen. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo optimistis, situasi ekonomi makro akan membaik pada tahun ini ketimbang tahun lalu. Nilai tukar rupiah, misalnya, terbilang stabil. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sejauh ini sebesar 1,42 persen terhadap target. Per 3 Juni, nilai tukar rupiah adalah Rp 13.592 per dollar AS. "Dengan pertimbangan pergerakan rupiah, prospek neraca pembayaran, serta risiko keuangan global, kami perkirakan rata-rata nilai tukar rupiah tahun ini berkisar Rp 13.500-Rp 13.800 per dollar AS," ujar Agus.     Terkait inflasi tahun ini, BI memperkirakan sebesar 4 persen dengan deviasi 1 persen. Dengan demikian, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,0-5,4 persen. Secara terpisah, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Atma Jaya Jakarta YB Suhartoko berpendapat, pertumbuhan ekonomi tahun ini menghadapi sejumlah risiko. Dari sisi eksternal, rencana The Federal Reserve, bank sentral AS, menaikkan suku bunga pada bulan ini memicu kembali ketidakpastian pada perekonomian global. Jika The Fed menaikkan suku bunga, menurut Suhartoko, akan berdampak adanya aliran modal menuju ke AS. Akibatnya, rupiah melemah. Kondisi ini akan mendorong pengusaha bersikap menunggu ketimbang ekspansi. Risiko "Dari sisi moneter domestik, keinginan pemerintah menurunkan suku bunga komersial di bawah 10 persen belum terealisasi sampai sekarang. Sebab, sisi suplai dan permintaan sama-sama menunggu," ucap Suhartoko. Penerimaan negara, Suhartoko menambahkan, merupakan risiko serius lainnya. Realisasi penerimaan negara berpotensi di bawah target. Alasannya, uang tebusan menjadi satu-satunya bantalan penerimaan. Padahal, nilainya belum pasti. Artinya, kapasitas anggaran pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak maksimal. "Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian seperti ini, mau tidak mau pemerintah harus menjadi lokomotif. Jadi, dengan segala risiko itu, saya perkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 5-5,1 persen. Bahkan, bisa di bawah 5 persen kalau penerimaannya jauh dari target," kata Suhartoko. (LAS)