JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menggelar program pengampunan pajak selama sembilan bulan, dimulai setelah Lebaran 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Skema pengampunan direspons positif oleh pengusaha. Adalah tanggung jawab pemerintah kemudian untuk mencapai hasil maksimal. Pelaksanaan program pengampunan pajak dipastikan setelah Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (28/6), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak menjadi Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. Hal ini mengakhiri pasang surut wacana program pengampunan pajak sekaligus tarik-menarik kepentingan yang melingkupinya sejak awal 2015. Rapat paripurna dipimpin Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin dan yang mewakili pemerintah adalah Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, serta Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil. Sebelum Ade Komarudin mengetuk palu untuk mengesahkan persetujuan atas RUU Pengampunan Pajak, beberapa anggota DPR, khususnya dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mengajukan interupsi berkali-kali. Selain mengajukan keberatan atas pasal-pasal tertentu, Fraksi PDI-P bahkan meminta agar pengesahan RUU Pengampunan Pajak ditunda. PDI-P tidak setuju jika estimasi penarikan dana dari program amnesti pajak sebesar Rp 165 triliun dijadikan sumber pendapatan utama di APBN-P 2016. Menjawab pertanyaan wartawan setelah rapat, Bambang menyatakan, program pengampunan pajak secara efektif akan dilakukan setelah Lebaran. Untuk itu, pemerintah akan melakukan sosialisasi mulai Rabu ini dan beberapa hari ke depan. Dalam wawancara khusus dengan Kompas, awal Juni, Bambang mengatakan, pemerintah akan melakukan sejumlah langkah proaktif dengan pendekatan yang tepat untuk mendorong agar peserta pengampunan pajak mencapai target optimal. Data 6.519 warga negara Indonesia yang menyimpan aset senilai Rp 13.300 triliun di dua negara surga pajak di luar negeri akan menjadi salah satu referensinya. Data di tangan Kementerian Keuangan ini berasal dari negara anggota G-20. Sosialisasi Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak dari uang tebusan program pengampunan pajak pada tahun ini sebesar Rp 165 triliun. Adapun repatriasi dana tunai yang benar- benar akan masuk ke sistem keuangan nasional mencapai Rp 1.000 triliun. Asumsinya, aset bersih yang dideklarasikan Rp 3.500 triliun hingga Rp 4.000 triliun. Salah satu kegiatan sosialisasi yang digagas adalah menyasar pengusaha besar di Indonesia. Tidak sebatas imbauan untuk mengikuti program pengampunan pajak, tetapi juga sekaligus agar mau merepatriasi modal. Kegiatan tersebut dijadwalkan menghadirkan Presiden Joko Widodo. Perihal waktunya, Bambang enggan menyampaikan. Sosialisasi, menurut Bambang, juga akan dilakukan di setiap kantor pelayanan pajak (KPP) dengan sasarannya masing-masing karena banyak warga negara Indonesia yang berpotensi mengikuti program pengampunan di daerah-daerah. Sasarannya tidak harus selalu yang berbentuk perusahaan. Petani sawit dan pedagang pengepul kelas usaha kecil menengah, misalnya, berpotensi ikut karena omzetnya miliaran rupiah per tahun. "Semua harus jemput bola. KPP juga harus jemput bola. Enggak bisa diam saja. Daftar yang kami punya akan menjadi referensi," kata Bambang. Pekan ini, Bambang menambahkan, Kementerian Keuangan menjadwalkan pertemuan dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dilakukan untuk menindaklanjuti pertemuan sebelumnya guna membahas pelaksanaan program pengampunan pajak dari aspek keuangan. Salah satunya adalah dalam hal bank persepsi yang akan ditunjuk dan instrumen penempatan atas repatriasi modal. Apresiasi dunia usaha Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menuturkan, dunia usaha mengapresiasi regulasi pengampunan pajak, apalagi pengampunan pajak merupakan hal wajar dan lazim diberlakukan di banyak negara. "Dunia usaha melihat angka persentasenya juga sudah baik. Tetapi satu catatan dari kami, angka yang ditargetkan pemerintah senilai Rp 160 triliun itu kelihatannya terlalu agresif," kata Rosan. Menurut Rosan, apabila pemerintah menargetkan angka sebesar itu, berarti dana yang diasumsikan ada di luar negeri dan mesti dideklarasikan Rp 3.000 triliun lebih atau sekitar 250 miliar dollar AS. Idealnya hal ini merupakan repatriasi aset, dana masuk ke Indonesia untuk membangun perekonomian. "Akan tetapi, saya mendapatkan informasi, banyak juga aset di luar dalam bentuk properti, surat utang negara, dan lain-lainnya yang memang belum bisa dilikuidasi saat ini," kata Rosan. Di sisi lain, menurut Rosan, selepas krisis 1998 sebenarnya juga banyak dana yang masuk ke Indonesia. "Hal ini disebabkan korporasi-korporasi saat itu tidak bisa mendapatkan fasilitas perbankan sehingga dana-dana itu adalah dari para pemilik perusahaan itu sendiri," katanya. Dalam dialog ekonomi, Rosan menyatakan, Kadin Indonesia mulai menyosialisasikan persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pengampunan pajak. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani menyatakan apresiasinya atas pengesahan RUU tentang Pengampunan Pajak. Ia memandang skemanya cukup menarik, mulai dari tarif tebusan yang relatif rendah sampai dengan fleksibilitas penempatan repatriasi modal. "Skemanya cukup bagus seperti apa yang kami harapkan. Dari segi tarif tebusan, misalnya, nilai tersebut cukup moderat. Mestinya ini cukup menarik," kata Hariyadi. (AGE/CAS/LAS)