Surat permintaan fasilitas akomodasi dan transportasi dari negara untuk urusan pribadi pejabat atau keluarga dan rekannya belakangan sering terungkap ke publik. Kasus ini, tak ayal menimbulkan pertanyaan terkait etika pejabat negara dalam mengelola otoritas dan kewenangannya. Belakangan ini, pejabat yang jadi pembicaraan adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon. Ini terkait beredarnya surat dari Sekretariat Jenderal DPR kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat di Washington DC. Dalam surat yang beredar Senin (27/6) lalu, dijelaskan tentang rencana perjalanan putri Fadli Zon, Shafa Sabila, ke New York, Amerika Serikat. Dalam surat berkop Sekretariat Jenderal DPR RI dan ditandatangani Kepala Biro KSAP Saiful Islam itu, Kedutaan Besar RI di Washington dan Konsulat Jenderal RI di New York diminta menjemput dan mendampingi Shafa selama di New York. Berdasarkan catatan Kompas, peristiwa serupa pernah terjadi akhir Maret lalu. Saat itu, beredar surat tertanggal 22 Maret yang isinya meminta Konsulat Jenderal RI di Sydney, Australia menyediakan akomodasi dan transportasi untuk anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Hanura, Wahyu Dewanto Suripman, dan keluarganya yang berkunjung ke Australia pada 24 Maret-2April. Wahyu dan Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi berasal dari satu partai, yaitu Partai Hanura. Surat itu ditandatangani Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) Dwi Wahyu Atmaji. Tak lama kemudian, muncul surat yang diajukan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Rachel Maryam. Dalam surat tertanggal 18 Maret 2016 dan ditujukan kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Perancis, Rachel meminta bantuan penjemputan dan transportasi selama ia dan anggota keluarganya ke Paris pada 20 Maret sampai 24 Maret 2016. Mirip Kemiripan terlihat dalam penyelesaian di ketiga kasus itu. Dalam kasus surat untuk Wahyu, Yuddy mengatakan pernah bertemu Wahyu yang memberi tahu akan ke Australia. Namun, Yuddy mengaku tak tahu tentang surat yang ditandatangani Dwi dan telah memberikan peringatan kepadanya karena tidak cermat saat menandatangani surat Sementara Rachel mengaku membayar sendiri jasa transportasi yang disediakan Kedutaan Besar RI di Perancis. Dalam persoalan yang menyangkut putrinya, Fadli menegaskan, tidak pernah minta penyediaan fasilitas negara untuk anaknya. Ia sekadar memberi instruksi agar Setjen DPR membuat surat penyampaian pemberitahuan kepada Konsulat Jenderal New York tentang kegiatan Shafa Sabila selama di Amerika Serikat. "Maksudnya hanya sekadar lapor diri bagi WNI yang melakukan kunjungan ke luar negeri," katanya. Lebih lanjut, Fadli menuturkan, mengirimkan uang untuk menggantikan yang dipakai Konsulat Jenderal RI di New York saat menjemput putrinya pada 12 Juni lalu. Biaya itu dikirim lewat Kementerian Luar Negeri. "Untuk pengganti bensin selama 30-40 menit, saya perkirakan dana konsulat jenderal terpakai sekitar 100 dollar AS atau Rp 1,3 juta. Saya mengirim Rp 2 juta sekaligus untuk tip sopir," tuturnya. Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai, masalah dasar dalam fenomena adanya permintaan fasilitas bagi keluarga atau rekan pejabat negara bukan pada penggantian biaya yang dihabiskan Kedutaan Besar untuk mengakomodasi permintaan pejabat terkait. Namun, lanjut Syamsuddin, hal itu terkait mental dan etika pejabat negara dalam mengelola kewenangannya. Meski di beberapa kasus permintaan itu dibatalkan, setidaknya sudah terlihat niat atau upaya untuk memanfaatkan wewenang itu. "Pejabat negara adalah pejabat publik yang mendapat mandat dari rakyat. Ini bukan sekadar masalah uang dan mengganti biaya kerugian, melainkan bagaimana menumbuhkan tanggung jawab dan etika di kalangan pejabat dalam mengelola kekuasaannya," kata Syamsuddin. Masalah etika dan tanggung jawab sepertinya masih jadi persoalan utama sampai sekarang. (Agnes Theodora) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 4 dengan judul "Saat Urusan Pribadi dan Negara Bercampur...".