Artikel Opini Kesempatan Kerja Pendidikan Vokasi Razali Ritonga Penyelenggaraan pendidikan vokasi yang dimaksudkan mempermudah transisi dari pendidikan ke  dunia kerja hingga kini belum berjalan mulus. Bahkan, transisi pendidikan ke dunia kerja itu lebih mudah bagi pendidikan umum, yang notabene siswanya tak dibekali keterampilan tertentu. Hal ini tecermin dari angka pengangguran SMA yang lebih rendah daripada SMK. Hasil Sakernas Agustus 2018 menunjukkan, angka pengangguran SMA (7,95 persen) lebih rendah daripada pengangguran SMK (11,24 persen). Atas dasar itu, pemerintah dalam pembangunan SDM 2019 berupaya  memprioritaskan pendidikan vokasi dan ini diharapkan dapat menjadi peta jalan pengembangan SDM ke depan yang akan dituangkan di RPJMN 2020-2024. Ada tiga poin rencana penting untuk perkuat pendidikan vokasi: (1) sinkronisasi pendidikan dan pelatihan agar selaras; (2) mencegah mismatch dunia kerja dan sektor pendidikan; (3) menetapkan kurikulum yang menekankan pada aspek magang, jika perlu hingga luar negeri. Langkah ini mirip penyelenggaraan pendidikan vokasi di banyak negara Eropa. Adapun penyelenggaraannya menganut dual system, yaitu pendidikan vokasi secara ekstensif  disertai keterlibatan siswa magang di perusahaan. Meski persiapan penyelenggaraan pendidikan vokasi  tampak lebih baik, untuk mewujudkannya masih ditentukan faktor lain, yaitu keseimbangan pendidikan vokasi antarsektor dan kontinuitas kapabilitas  lulusan vokasi dalam bekerja. Untuk mewujudkan keseimbangan pendidikan vokasi antarsektor, pemerintah perlu memetakan kebutuhan tenaga kerja di setiap daerah berdasarkan potensi unggulan setiap daerah. Dengan pemetaan kebutuhan itu secara otomatis akan merepresentasikan kebutuhan tenaga kerja di setiap sektor dan tak hanya terkonsentrasi pada sektor tertentu, misalnya sektor industri. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pendidikan vokasi diharapkan bisa merambah sektor lain, seperti pertanian, pertambangan, perdagangan, konstruksi, angkutan, keuangan, dan jasa kemasyarakatan. Jika pendidikan vokasi terkonsentrasi, misalnya, hanya pada industri, hal itu akan menyebabkan kecilnya kesempatan lulusan vokasi bekerja di sektor lain dan menimbulkan ketimpangan pemenuhan tenaga kerja antarsektor. Bahkan, hal itu berpotensi memperlebar ketimpangan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan. Hal ini mengingat lokasi kegiatan industri umumnya di perkotaan sehingga akan kian meningkatkan produktivitas perkotaan. Bahkan, hal itu akan memicu laju urbanisasi hingga ke level tidak terkontrol, yang akan menyebabkan pemerintah kota kian sulit memenuhi kebutuhan hidup warganya, seperti perumahan, air bersih, pendidikan, dan kesehatan. Untuk mewujudkan kontinuitas kapabilitas lulusan vokasi dalam bekerja, perlu ada upaya penyegaran pengetahuan serta keterampilan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Hal ini mengingat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama menjalani pendidikan pada awalnya link and match dengan kebutuhan dunia kerja, secara perlahan menjadi  mismatch  karena perkembangan pengetahuan dan teknologi (Hanushek et.al, 2015). Akibatnya, seiring perjalanan waktu, lulusan pendidikan vokasi akan mengalami penurunan kapabilitas dalam bekerja. Negara yang banyak mengandalkan kemajuan iptek, seperti AS, kini malah gencar mengurangi keberadaan pendidikan vokasi dan kembali ke pendidikan umum (general education). Alasannya karena siswanya telah dibekali pengetahuan yang lebih luas, termasuk pengetahuan dasar matematika sehingga akan lebih mudah mengadopsi perkembangan pengetahuan dan teknologi (Hanushek et.al, 2015). Secara faktual, itu juga sejalan dengan pernyataan Krueger dan Kumar sebelumnya (2004) yang menyebutkan pendidikan umum secara spesifik mengajarkan berpikir analitik, sedangkan pendidikan vokasi mengajarkan keterampilan tertentu. Boleh jadi rendahnya angka pengangguran SMA ketimbang SMK karena lulusan SMA lebih fleksibel terhadap kebutuhan dunia kerja. Sebelum mencari pekerjaan, lulusan SMA ditengarai melakukan persiapan dengan menambah pengetahuan melalui kursus keterampilan, seperti komputer, pembukuan, dan bahasa asing. Maka, atas dasar itu, untuk meningkatkan peran  pendidikan vokasi, pemerintah perlu melakukan persiapan matang, antara lain dengan mengupayakan pendidikan vokasi ke seluruh sektor serta mencari cara agar pengetahuan dan keterampilan pekerja lulusan vokasi selalu dapat diperbarui sesuai perkembangan kemajuan iptek. Pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan iklim kerja yang mengadopsi promosi dan pengembangan karier lulusan vokasi agar  mereka tak selamanya berkutat menjadi pekerja kerah biru (blue collar). Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown  University, AS