Artikel Opini Pendidikan yang Memerdekakan Joseph Ernest Mambu Proses menjadi melalui pemikiran, refleksi kritis, dan tindakan yang selaras dengan perenungan pribadi ataupun kesepakatan kelompok untuk berorientasi pada keadilan dan keberlangsungan alam adalah hakikat pendidikan yang memerdekakan. Bakhtin, filsuf Rusia, menyebut ”proses menjadi” ini sebagai ideological becoming. Pertanyaannya, menjadi apa dan ditentukan oleh apa atau siapa. Seorang pendidik tak akan lepas dari pertanyaan ini karena ia berkontribusi seperti apa atau dengan bahasa instrumen akreditasi institusi pendidikan sekarang profil lulusan yang bagaimana peserta didiknya nanti. Pendidik dan peserta didik atau pemelajar tidak hidup dalam ruang hampa. Namun, yang sering membuat mereka hampa dan gamang adalah ketidaksadaran atau kekurangsadaran pada segala sesuatu yang membentuk mereka sebagaimana mereka ada sekarang. Oleh karena itu, langkah pertama dalam proses menjadi adalah mencoba memahami apa-apa saja yang membentuk pola pikir dan tindakan, baik pendidik itu maupun peserta didiknya. Tidak bisa dimungkiri, faktor eksternal (yaitu faktor di luar diri sendiri) yang membentuk pola pikir pendidik dan pemelajar adalah kebiasaan-kebiasaan di institusi di mana mereka tumbuh, baik sebagai murid mulai dari kelompok bermain sampai perguruan tinggi maupun sebagai guru di institusi pendidikan di level mana pun. Institusi pun dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya, terutama tuntutan berdasarkan regulasi pemerintah yang sering berganti-ganti karena sering kali pemerintah ingin mengikuti tren dunia. Bersaing dalam hal publikasi internasional dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, misalnya; adanya tuntutan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara perguruan tinggi (PT) dan keterserapan alumni PT di industri; serta tantangan Revolusi Industri 4.0, atau bahkan hasrat mencapai Masyarakat 5.0. Pertanyaannya, di mana ruang bagi pendidik dan pemelajar untuk menjelajah proses menjadi secara internal (dalam diri) sesuai bakat, minat/hasrat/desire/passion-nya? Idealnya, di keluarga dan institusi pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dengan adanya tuntutan ulangan, tes tengah semester, tes akhir semester, ujian dengan segala jenis dan namanya, sering porsi menjelajah proses menjadi secara internal jadi terabaikan. Sesuai minat Jadi, langkah kedua dalam proses menjadi, yaitu memberikan ruang bebas pendidik dan pemelajar bersama-sama mengeksplorasi secara serius kaitan antara passion pribadi dan tuntutan eksternal serta tuntutan zaman yang turut membentuk pribadi. Ruang bebas ini seyogianya bisa diisi secara substantif utamanya oleh guru-guru bimbingan dan konseling (BK) dan guru-guru mata pelajaran lainnya di sekolah-sekolah. Persoalannya adalah banyak sekolah sering terpasung dengan pola teaching to the test (mengajarkan materi sampai tuntas demi agar siswa sukses mengerjakan tes). Sering kali pula siswa dijejali berbagai materi tanpa kejelasan, apa manfaat dan relevansi suatu materi (katakanlah integral dan kalkulus di SMA) bagi hidupnya masa kini ataupun kelak di kemudian hari. Tidakkah jauh lebih baik bagi pendidik untuk dapat memantik minat pemelajar agar mereka dapat mengaitkan materi ajar dengan bakat dan minat pribadinya? Kewajiban administratif untuk melengkapi beban kerja guru/dosen setelah dapat sertifikasi pendidik bisa saja dijadikan alasan tak adanya waktu dan tenaga mengembangkan pemelajaran atau proses menjadi. Memang rasanya belum ada penelitian untuk membuktikan, tetapi sangatlah mungkin bagi para pendidik untuk bertanya pada diri sendiri, bagaimanakah saya sebagai pendidik profesional (bersertifikat pula) berperan besar dalam proses menjadi bagi para peserta didik sehingga mereka mengeksplorasi talenta dan passion-nya tanpa kehilangan orientasi pada tren dan tuntutan global? Pertanyaan ini menggiring kita pada langkah ketiga dalam proses menjadi: para pendidik memperkenalkan isu-isu global yang perlu disikapi demi keadilan dan keberlangsungan hidup umat manusia dan alam di sekitarnya. Salah satu kerangka berpikir yang dapat dijadikan acuan adalah apa yang disebut oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sebagai 17 Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2030 (antara lain: tidak ada kemiskinan, tidak ada kelaparan, pendidikan berkualitas, kesetaraan jender, pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya ketidakadilan, dan lain-lain). Isu global  Tantangannya adalah guru mata pelajaran mungkin akan berpikir ngapain saya capek-capek memikirkan isu-isu yang tidak relevan dengan bidang keahlian saya. Guru Bahasa Inggris bisa saja protes: ”Saya dididik untuk mengajarkan tata bahasa dan kosakata bahasa Inggris. Lalu untuk apa saya bicara ekonomi?” Maley dalam bukunya tentang pengintegrasian isu-isu global dalam kelas Bahasa Inggris kreatif yang diterbitkan pada 2017 bersama Peachey menulis puisi berupa dialog imajiner antara guru Bahasa Inggris, yang hanya berkutat pada aspek kebahasaan, dan dirinya: Maybe you should stick to language [Mungkin kau cukup mengajar bahasa saja]; forget about anguish [lupakan penderitaan]; You can’t change the world [Kau tidak bisa mengubah dunia]. Lalu Maley menimpali: But if I did that, I’d be a cheater, not a teacher [Tapi kalau aku hanya mengajarkan bahasa saja, aku penipu, bukan guru]. Ini hanya salah satu contoh bagaimana guru Bahasa Inggris bisa membahas isu-isu global (termasuk penderitaan umat manusia karena kelaparan dan kemiskinan) bersama para siswanya. Para pendidik di bidang studi lain bisa juga berorientasi interdisiplin atau transdisiplin untuk mengaitkan isu-isu global dengan yang terjadi di daerahnya dan lalu membahas bagaimana peran setiap individu dengan talenta dan passion-nya bisa menyikapi isu-isu global itu. Bersama masyarakat Langkah selanjutnya yang penting, yaitu pendidik dan pemelajar terjun dan melayani masyarakat sambil merefleksikan pemelajarannya dalam melayani masyarakat, serta memaknai proses pemelajarannya bersama masyarakat itu. Langkah ini terinspirasi dari pustaka tentang service-learning (melayani dan belajar; lihat misalnya Perren, Grove, dan Thornton, 2013). Dalam service-learning, pendidik dan pemelajar (khususnya mahasiswa) dapat sama-sama belajar menangkap cerita-cerita (narratives) dari masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang menimpa mereka, perusakan lingkungan yang mereka saksikan sendiri di lingkungannya, dan isu-isu lain. Dalam perenungannya sementara dan setelah melakukan service- learning, para pemelajar, dengan dipandu pendidik, menghubungkan pengalaman belajarnya bersama masyarakat dengan konsep-konsep teoretis yang dipelajarinya di kelas serta dengan bakat dan minatnya. Kemudian, dalam rangka menjalankan misi, yaitu menyikapi dan menyelesaikan isu-isu global dilihat dari kacamata lokal (selama pemelajar terjun di masyarakat), pemelajar dapat menggunakan bakat dan minat pribadinya. Secara keseluruhan, proses menjadi dalam pendidikan yang memerdekakan tidak bisa dilakukan sendiri. Pendidik, pemelajar, dan masyarakat di sekitarnya perlu terlibat dalam upaya belajar bersama, menggali potensi diri masing-masing, tanpa kehilangan orientasi menyikapi isu-isu krusial dan tren global, dengan tetap menyadari adanya batasan-batasan dan aturan-aturan (pemerintah). Proses belajar bersama ini seyogianya pula diarahkan untuk melakukan aksi konkret di masyarakat dalam rangka mencapai tujuan kemanusiaan bersama, terutama keadilan sosial dan keberlangsungan sumber daya alam. Joseph Ernest Mambu Wakil Rektor Universitas Kristen Satya Wacana