Artikel Opini Horor Kekerasan dalam Pendidikan Sidharta Susila   Kekerasan dalam pendidikan, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya, tidak pernah bisa dibenarkan. Dampak tindakan kekerasan itu sesungguhnya ditanggung baik korban maupun pelakunya. Beberapa waktu lalu, kita disuguhi video perilaku kekerasan yang dilakukan seorang murid di Gresik terhadap gurunya. Berselang beberapa hari ada video kekerasan orangtua murid terhadap seorang tenaga pelaksana. Apakah kekerasan telah menjadi perilaku yang jamak dalam pendidikan kita? Ataukah ini imbas dari kehidupan masyarakat kita yang sudah akrab dengan perilaku kekerasan sehingga melakukan kekerasan tidak lagi mengusik rasa ketidakpantasan? Penulis sering ingin tahu, adakah rasa bersalah atau menyesal setelah seseorang melakukan kekerasan? Apalagi jika pelaku kekerasan itu seorang pendidik. Apakah para pelaku kekerasan itu sempat merenung, mencoba merasakan apa yang dialami korban kekerasan setelah ia melakukan aksinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusik penulis karena penulis merasakan sendiri betapa tidak mudah menjadi penyintas kekerasan. Penulis mengalami perilaku kekerasan oleh guru saat belajar di SD dan SMP pada 1980-an. Kekerasan yang penulis alami itu memberikan dampak pada spontanitas cara merasa, berpikir, dan bertindak yang kurang mantap hingga hari ini. Situasi ini masih dialami meski penulis telah banyak ditolong dengan ragam penyembuhan luka batin dan secara pribadi bertekun melakukan self healing. Penulis bisa membayangkan beban hidup yang harus ditanggung oleh para korban kekerasan jika ia tidak pernah mendapat pendampingan yang memadai. Lebih tragis lagi jika korban tidak sadar bahwa pengalaman kekerasan yang dialami itu perlu diolah. Berpihak pada korban Para korban kekerasan harus ditolong untuk mengolah luka jiwanya. Seperti yang penulis ungkapkan di muka, yang bisa menjadi korban adalah mereka yang mengalami tindak kekerasan ataupun pelaku kekerasan. Ketika para pelaku tidak mendapat pertolongan, apalagi hanya terus dipersalahkan hingga dituntut secara hukum, belum tentu ia akan jera melakukan kekerasan. Kecenderungan melakukan kekerasan adalah ekspresi dari kondisi kejiwaan seseorang. Banyak fakta menunjukkan pelaku kekerasan adalah korban yang tidak mengalami pengolahan luka jiwa akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Sampai di sini kita boleh bertanya, apakah pelaku tindak kekerasan di sekolah-sekolah kita sesungguhnya adalah korban perilaku kekerasan juga yang luka jiwanya tidak terolah? Apakah berbagai bentuk upaya penjeraan pelaku kekerasan di sekolah, entah dengan pemberian sanksi administratif ataupun sanksi hukum, telah menyelesaikan masalah? Jangan-jangan upaya penjeraan itu justru membuat pelaku kekerasan menjadi monster yang membuat horor suasana pendidikan. Pertanyaan terakhir mengusik penulis ketika seorang tenaga calon pendidik yang telah penulis dampingi beberapa tahun terus melakukan tindak kekerasan, meski ia telah ditolong dengan aneka pengolahan luka jiwa. Bisa dibayangkan jika para pelaku tindakan kekerasan itu tidak pernah ditolong mengolah luka jiwanya, tetapi hanya terus dijerakan dengan sanksi administratif dan hukum. Horor kekerasan dalam pendidikan kita tak akan pernah sirna. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah korban tindak kekerasan. Pengalaman penulis sebagai korban kekerasan di sekolah mengajarkan bahwa ada alasan mengapa para guru waktu itu melakukan tindak kekerasan kepada penulis. Ada tindakan tidak patut yang penulis lakukan di kelas waktu itu. Tindakan tidak patut yang penulis lakukan juga dipicu kondisi kelas saat itu yang kurang kondusif. Sayangnya tindakan itu diketahui oleh seorang guru yang belum matang jiwanya. Sejauh penulis renungkan, harus diakui, perilaku tidak patut yang penulis lakukan adalah akibat kurangnya pendampingan keluarga terhadap penulis di rumah. Jadi, ada kondisi pengalaman pendidikan anak yang kurang mantap di rumah. Meski demikian, tak pernah bisa dibenarkan bagi pendidik untuk melakukan kekerasan, baik fisik maupun psikis, kepada para murid, apa pun kondisi yang dibawa murid dari rumah. Sebagai gambaran kondisi ini kita bisa belajar dari video di Youtube dengan memakai kata kunci ”(Peran Guru) Mendidik Murid Nakal” (https://www.youtube.com/watch?v=bAchlttYJqE). Hari-hari ini, untuk banyak kasus kekerasan atau kenakalan di sekolah, banyak orangtua murid cenderung menggunakan jasa pengacara (lawyer) hukum. Pertanyaannya, pada cara ini, di manakah anak yang telah menjadi korban? Apakah ia juga mendapat pendampingan jiwa yang dibutuhkan? Jangan-jangan kasus anak di sekolah justru menjadi arena pertarungan hukum antara orangtua dan sekolah. Tanpa sadar anak tertelantarkan. Tragis. Catatan lain, pengalaman kami di sekolah, setiap kali harus menerima tuntutan hukum orangtua murid dengan mengusung sejumlah pengacara, bukan hanya menghabiskan energi hingga kehilangan fokus, tetapi juga telah menjadi horor tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan ini. Dalam suasana horor itu, kami sungguh berjuang untuk tidak melakukan pembiaran atas perilaku tidak patut anak, demi pertumbuhan karakter mereka. Horor kekerasan dalam pendidikan sungguh meneror pendidikan kita. Sidharta Susila Pemerhati pendidikan tinggal di Semarang.