Ajang kompetisi olah raga se-Asia Tenggara kali ini menjadi momen pembuktian, apakah bisa membanggakan atau masih sekadar jago kandang. Oleh BESTIAN NAINGGOLAN Ajang kompetisi olah raga se-Asia Tenggara kali ini menjadi momen pembuktian, apakah prestasi olah raga negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memang benar membanggakan, ataukah masih tidak beranjak dari sebatas “jago kandang” saja. Problem karut-marut ketidaksiapan tuan rumah Filipina yang mengawali SEA Games 2019 kali ini memang menjadi catatan buruk sejarah penyelenggaraan pesta olah raga negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun, ketidaksiapan sebagai tuan rumah hanya salah satu persoalan yang tengah dialami Filipina. Sebenarnya, problem krusial lain tengah dihadapi, terkait semakin terpuruknya prestasi olah raga negara tersebut. Semenjak menjadi tuan rumah untuk kali ketiga dan sekaligus menggondol juara umum SEA Games 2005, hingga kini tidak sekalipun Filipina menunjukkan catatan prestasi yang menanjak. Bahkan, kondisi yang paling mengkhawatirkan kini tengah dialami. Semenjak tahun 2005 terjadi penurunan prestasi, tidak hanya proporsi kuantitas medali yang direbut, namun juga kualitas medalinya. (Grafik 1). Penurunan kuantitas dan kualitas perolehan medali semacam ini jelas menunjukkan krisis prestasi olah raga yang sesungguhnya tengah dialami. Dengan kondisi keterpurukan semacam itu, menjadi sulit terprediksikan jika dalam SEA Games kali ini, sekalipun dalam posisi sebagai tuan rumah, Filipina berhasil mendulang prestasi yang menawan. Itulah mengapa, ketidaksiapan dalam penyelenggaraan yang terjadi kali ini menjadi persoalan yang semakin memperberat kiprah Filipina. Persoalannya, apakah yang di alami Filipina menjadi gambaran umum dari kinerja olah raga negara-negara di Asia Tenggara? Problem Filipina kali ini tentu saja berbeda dengan yang dialami Indonesia. Bagi Indonesia, problem ketidaksiapan sebagai tuan rumah tidak terjadi. Bahkan, bercermin pada penyelenggaraan pesta olah raga se Asia (Asian Games) 2018 lalu, Indonesia sebagai tuan rumah tergolong memukau. Begitu pula, prestasi olah raganya. Capaian kuantitas dan kualitas medali melonjak tajam, dibandingkan dengan prestasi Asian Games sebelumnya. Berhasil menjadi tuan rumah yang baik, patut diapresiasi. Begitu pula berhasil menjadi pemenang ataupun melonjakkan perolehan medali di kala menjadi tuan rumah, semakin melengkapi luapan kegembiraan. Akan tetapi, jika ukuran prestasi olah raga yang sesungguhnya dijadikan parameter, maka faktor tuan rumah itu tidak lebih sebagai contributory variable. Maksudnya, posisi sebagai tuan rumah memang membantu capaian prestasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa menjadi tuan rumah, prestasi olah raga Indonesia sepatutnya harus tetap menawan. Dengan demikian, prestasi yang sesungguhnya harus dibangun dengan menempatkan faktor kualitas atlit olah raga sebagai sufficient variable (faktor utama yang menjaminkan terciptanya prestasi). Atau setidaknya necessary variable, sebagai faktor paling berpengaruh yang masih membutuhkan dukungan faktor lain. Dengan posisi ideal yang bertitik tolak pada kualitas atlit semacam ini, maka olah raga Indonesia di pentas internasional menjadi benar-benar berujud prestasi. Bertitik tolak pada argumentasi dasar semacam ini, maka posisi Indonesia dalam SEA Games 2019 kali ini menjadi problematik. Dikatakan demikian, lantaran fakta menunjukkan jika di satu sisi Indonesia memang kerap berjaya dalam SEA Games. Setidaknya, semenjak pertama kali bertarung di SEA Games 1977 (Malaysia), sudah 10 kali menjadi juara umum. Begitu pula, sudah meraih 4 kali menjadi juara umum bersamaan dalam kapasitas sebagai tuan rumah. Namun pada sisi lain, dengan berbagai capaian prestasi yang disandangnya itu, justru tidak menjadi jaminan jika kuantitas dan kualitas prestasi Indonesia tergolong baik. Bahkan, dapat disimpulkan seperti juga yang dialami Filipina, prestasi olah raga Indonesia tengah memasuki krisis yang berjalan semakin parah. Capaian hasil perolehan medali SEA Games selama ini membuktikan keterpurukan olah raga Indonesia. Dari segi kuantitas, misalnya, terjadi penurunan proporsi medali yang diraih dari waktu ke waktu. Parahnya, pada kesempatan yang sama, terjadi pula penurunan kualitas medali yang diraih. Apabila yang dijadikan ukuran jumlah medali emas yang diraih sepanjang SEA Games, misalnya, jelas tersimpulkan terjadi penurunan tersebut. Dalam SEA Games 1977 di Malaysia, Indoensia berhasil meraih sebanyak 62 medali emas atau sepertiga (32,6 persen) dari total emas yang diperebutkan. Namun, 40 tahun kemudian, pada ajang SEA Games 2017 lalu yang juga selenggarakan di Malaysia justru berbalik. Saat itu, hanya 38 medali emas yang diraih. Dengan jumlah tersebut, artinya Indonesia hanya mampu merebut 9,4 persen dari keseluruhan medali emas. Catatan ini menjadi jumlah dan proporsi medali emas yang terkecil sepanjang keikutsertaan negeri ini dalam SEA Games (Grafik 2). Pada grafik di atas, memang pada beberapa momen yang juga menunjukkan lonjakan prestasi. Jumlah medali emas mampu diraih hingga 180-an, atau di atas 40 persen dari medali emas yang diperebutkan. Akan tetapi, lonjakan terbesar itu dicapai bersamaan dengan posisi Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan SEA Games. Padahal, sisi yang lebih mengkhawatirkan, jika ditarik garis tren perolehan medali emas dari waktu ke waktu telah bersifat negatif. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya penurunan capaian prestasi yang cukup konsisten. Tidak hanya terjadi dalam medali emas, namun dalam perolehan medali perak pun menunjukkan tren yang relatif serupa (Grafik 3). Walaupun tidak sedrastis penurunan medali emas, dalam sejarah SEA Games perolehan medali perak juga cenderung menurun, terutama pasca Indonesia menjadi tuan rumah SEA Games 2011. Kondisi yang terbalik pada perolehan medali perunggu. Walaupun juga tergolong fluktuatif, namun jika ditarik garis tren bersifat positif. Perolehan medali perunggu menunjukkan jumlah peningkatan. Jika pada SEA Games 1977 sebanyak 34 medali perunggu yang diraih, pada SEA Games 2017 lalu menjadi 90 perunggu (Grafik 4). Dari berbagai grafik di atas, tren menurunnya jumlah medali emas maupun perak sementara di sisi lain terjadi peningkatan tren medali perunggu, mengindikasikan tidak hanya terjadi penurunan kuantitas prestasi olah raga namun selama ini telah terjadi pula penurunan kualitas prestasi yang diraih. Dengan segenap capaian selama ini, sebenarnya dalam persoalan prestasi perebutan medali, kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Filipina. Arus penurunan prestasi tengah berlangsung, sekaligus juga tengah mengindikasikan suatu krisis prestasi olah raga tengah melanda Filipina maupun Indonesia. Menjadi menarik diperbandingkan, jika kondisi krisis semacam ini tidak banyak dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Baik Malaysia, Singapura, Thailand, dan bahkan Vietnam menunjukkan capaian yang menanjak, sekalipun negara-negara tersebut berkompetisi di luar negaranya. Menarik dikaji lebih lanjut, mengapa perbedaan prestasi terjadi? (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas). Sumber data: diolah dari data SEA Games 1977-2017/BES