Penyakit AIDS yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus mengancam siapa pun. Hal itu bukan sebatas risiko kesehatan, melainkan juga stigma negatif masyarakat dan diskriminasi terhadap penyintas HIV/AIDS. Oleh YOESEP BUDIANTO   Penyakit acquired immune deficiency syndrome yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus mengancam siapa pun. Hal itu bukan sebatas risiko kesehatan, melainkan juga stigma negatif masyarakat dan diskriminasi terhadap penyintas HIV/AIDS. Selain menargetkan penurunan infeksi baru dan meminimalkan kematian terkait dengan human immunodeficiency virus (HIV), Indonesia memiliki target besar penanggulangan HIV pada tahun 2030, yaitu tidak ada lagi diskriminasi kepada penderita HIV. Temuan awal acquired immune deficiency syndrome (AIDS) pada kaum homoseksual dan pekerja seks komersial tak jarang membuat masyarakat menilai orang dengan HIV/AIDS adalah mereka yang berperilaku seks menyimpang dan ”bukan orang baik-baik”. Stigma tersebut tidak jarang menyebabkan orang dengan HIV/AIDS dikucilkan dan mendapat perlakuan diskriminatif, seperti ditolak untuk mengenyam pendidikan sekolah siswa di Kabupaten Samsosir, Sumatera Utara, dan Kota Solo, Jawa Tengah. Gambaran stigma juga terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada 1-2 Juli 2019. Masih ada 26 persen dari 518 responden yang menyatakan akan menjauh atau menolak jika ada orang dengan HIV/AIDS yang berada di sekitarnya. Diskriminasi Fenomena stigma dan diskriminasi juga masih menjadi problem global. Studi yang dilakukan Global Network of People Living with HIV (GNP+) dan Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS) menunjukkan hubungan antara stigma dan diskriminasi saling terkait dan melegitimasi satu sama lain. Bahkan, diskriminasi tersebut mampu mengarahkan orang untuk terlibat dalam tindakan melanggar hak orang lain dengan status tertentu. Komisi Hak Asasi Manusia PBB memunculkan kategori ”status lain” dalam kelompok rentan diskriminasi yang berasosiasi dengan status kesehatan, termasuk penyintas HIV/AIDS. Hubungan antara penyintas dan kurangnya perlindungan hak asasi manusia dirumuskan dalam sebuah indeks, yaitu The People Living with HIV Stigma Index (PLHIV Stigma Index) oleh GNP+.   Penilaian PLHIV Stigma Index tahun 2018 telah dilakukan di 13 negara yang mewakili empat benua dengan jumlah responden lebih dari 10.000 jiwa. Negara yang menjadi lokasi survei meliputi Malawi, Senegal, Kamerun, Uganda, Belize, Kosta Rika, Honduras, Nikaragua, Fiji, Korea Selatan, Timor Leste, Yunani, dan Ukraina. Setidaknya ada empat kondisi yang menggambarkan diskriminasi penyintas HIV/AIDS karena stigma. Kondisi itu ialah tingginya angka pengangguran, penolakan dan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan atau jabatan lebih baik, dan perlakuan diskriminasi di lingkungan sosial serta pekerjaan. Hasil survei menunjukkan bahwa sedikitnya 30 persen penyintas HIV/AIDS tidak memiliki pekerjaan atau menganggur. Tak jauh berbeda, kelompok usia muda di bawah 30 tahun yang menganggur mencapai sekitar 36 persen. Jika dielaborasi berdasarkan jenis kelamin, tingkat pengangguran penyintas perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Dalam hal kesempatan bekerja, penyintas HIV/AIDS yang kehilangan pekerjaan mencapai 16 persen. PLHIV Stigma Index menemukan bahwa memiliki HIV menjadi faktor penting yang mampu merusak kesempatan bekerja seseorang. Jika melihat alasan penolakan atau kasus kehilangan pekerjaan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu alasan kesehatan dan stigma yang berkembang di lingkungan. Dari kedua alasan tersebut, stigma yang mendorong perilaku diskriminasi adalah penyebab utama seseorang kehilangan pekerjaan. Kasus kehilangan kesempatan kenaikan jabatan atau mendapatkan pekerjaan lebih baik menimpa sedikitnya 7 persen penyintas HIV/AIDS. Banyak dari penyintas yang memiliki potensi naik jabatan, tetapi dibatalkan. Ini menunjukkan stigma yang muncul kepada penyintas HIV cenderung lebih memberikan dampak negatif bagi keberadaan mereka di mata masyarakat. Bertambah HIV merupakan sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih sehingga kekebalan tubuh manusia turun. Sementara AIDS adalah sekelompok gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh karena infeksi HIV. HIV dapat menyerang siapa saja yang mendekati risiko-risiko penularannya. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2018 menunjukkan, sedikitnya 37,9 juta orang dari banyak negara di dunia hidup dengan HIV. Sementara sebanyak 32 juta jiwa telah meninggal karena penyakit HIV/AIDS. Dari total penyintas yang ada, sebanyak 1,7 juta jiwa bahkan merupakan anak-anak berusia kurang dari 14 tahun. Setiap tahun muncul 190.000 kasus baru HIV pada anak berusia 10-19. Jika stigma negatif selalu mengiringi setiap penyintas HIV, dapat dibayangkan berapa besar anak-anak penyintas yang terancam mendapat diskriminasi dari lingkungannya. Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1987 hingga Juli 2019, ternyata sudah lebih dari 90 persen wilayah Indonesia melaporkan adanya kasus HIV/AIDS. Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi ialah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, dan Jawa Tengah. Dari seluruh penyintas HIV/AIDS, kelompok usia 20-29 tahun memiliki persentase kumulatif tertinggi sebesar 32,1 persen, disusul usia 30-39 tahun sebesar 31 persen. Pola pergaulan turut menjadi penyebab tingginya penyintas HIV/AIDS. Hal itu senada dengan laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 yang menyebutkan bahwa faktor risiko terbesar adalah hubungan seksual heteroseksual (70,2 persen). Penanganan Pemerintah telah berupaya untuk menekan angka penyintas HIV/AIDS. Upaya tersebut perlu perhatian serius sebab ada beberapa kendala dalam proses pengawasan hingga evaluasi data penderita dan layanan penanganan. Masalah pertama adalah sinkronisasi data penderita. Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan masih jauh dari jumlah kasus HIV yang diperkirakan. Estimasi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun 2016 sebanyak 640.443 jiwa, sementara yang dilaporkan hingga pertengahan 2019 hanya 349.882 jiwa. Dapat diduga stigma negatif membuat sebagian penderita masih belum terbuka dengan statusnya. Selain itu, belum semua orang yang terdiagnosis HIV mendapatkan terapi ARV. Total hanya 33 persen yang rutin menerima pengobatan ARV. Sementara angka putus obat ARV masih tinggi, yaitu 23 persen. Permasalahan di tingkat paling bawah yang ditemukan ialah masih terbatasnya layanan kesehatan yang mampu merawat, mendukung, dan mengobati ARV. Tak hanya itu, masih ada layanan kesehatan yang tidak rutin melapor. Permasalahan terakhir terjadi di kelompok ibu hamil. Belum semua ibu hamil yang terdiagnosis HIV dan sifilis mendapatkan pengobatan. Oleh sebab itu, penanganan kasus penyintas HIV/AIDS membutuhkan pendekatan komprehensif yang mampu menyisir semua golongan masyarakat dan mewadahi berbagai kondisi sosial. Keengganan penyintas untuk mengungkapkan statusnya turut dipengaruhi bayangan stigma negatif masyarakat. Penerimaan publik perlu didorong terus hingga tercipta ruang ramah bagi penyintas HIV/AIDS. Faktor risiko penularannya juga harus terus disosialisasikan. Penularan HIV/AIDS hanya bisa terjadi melalui perilaku berisiko, terutama lewat hubungan seks yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik beramai-ramai. Perilaku normal dalam aktivitas sehari-hari tidak akan bisa menularkan virus yang mematikan sistem kekebalan tubuh manusia tersebut. Harapannya, tentu dengan mengetahui duduk perkara penyakit HIV/AIDS, tidak ada lagi stigma negatif dari masyarakat. Publik juga diharapkan dapat membantu upaya penanggulangan HIV/AIDS mengingat tingginya jumlah kematian akibat virus ini. Penanggulangan ini perlu kerja sama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat umum, dan penyintas HIV/AIDS. Kolaborasi ini diperlukan untuk mencapai tantangan besar penanggulangan HIV, termasuk penurunan kasus baru serta penghapusan diskriminasi bagi orang dengan HIV/AIDS. (Litbang Kompas)