Jangan-jangan, obat yang namanya restrukturisasi ataupun pembentukan holding, tak menyentuh persoalan dan pertanyaan dasar: perlukah kita ber-BUMN sebanyak sekarang? Apalagi bersaing dengan rakyat sendiri. Oleh BAMBANG KESOWO   Soal satu ini bagai cerita bersambung yang tanpa akhir dan ribet. Bukan saja soal kehadirannya yang kian meluas dan mendalam, melainkan juga tentang peran dan pengelolaannya. Hari-hari ini setelah ramai dibincangkan soal dominasi mereka di proyek-proyek pemerintah, ada lagi soal perilaku manggala Garuda, kesalahan strategi usaha Jiwasraya, kerisauan terhadap pertumbuhan anak-cucu usaha BUMN yang dinilai kian tak terkendali, dan terakhir, pemikiran Menteri BUMN melikuidasi BUMN sakit. Di kurun yang lalu, walau masih di zaman yang sama, BUMN malah seperti dihardik agar semua hadir untuk negeri. Entah BUMN-nya ataukah menterinya yang sesungguhnya ingin terlihat atau terkesan tampil. Untuk menampakkan kepedulian, pengurus BUMN hampir selalu ada di berita atau laporan visual di berbagai media sedang memberikan bantuan ke pedagang di pasar, usaha kerajinan rumah tangga, dan lain-lain. Mewujudkan kredo BUMN membantu usaha kecil dan menengah seolah menjadi kewajiban pengurus BUMN. Mungkin hampir tiada acara pameran dan peringatan, atau yang diformat sebagai acara—bahkan dalam momen semacam car-free day di Ibu Kota pun—tak jarang terlihat tampilan kehadiran kelompok dengan seragam atau pengenal BUMN. Mungkin ingin memberi kesan nyata keberadaan dan kehadirannya, digalakkan kembali jargon BUMN sebagai agen pembangunan. Karena itu, tak terlalu mengherankan ketika kemudian orang terbelalak bahwa dalam banyak laku ekonomi, kehadiran BUMN malah bagai telah mengukup semua. Soal tentang kukup-mengukup tadi sebenarnya mewakili unek-unek yang banyak dirasa dan dipikirkan orang. Benar demikiankah konsep tentang peran dan fungsi BUMN dalam membangun perekonomian negara dan cita menyejahterakan rakyat? Kapan dan dalam hal bagaimana mestinya negara bertindak, atau sepantasnya ikut bertindak, sebagai pemain atau pelaku ekonomi, yang dianggap perlu untuk wujudkan cita ekonomi dan kesejahteraan sesuai amanat UUD?   Kalau benar diniatkan, tekad dan sekaligus program restrukturisasi ekonomi yang dicanangkan presiden sekarang ini dapat menjadi momentum pembenahan soal tersebut. Dalam rangka pembinaan BUMN yang nyatanya banyak dan kian beranak pinak, ide penyederhanaan dan sekaligus penyehatannya telah sejak lama berlangsung lewat bungkus konsep restrukturisasi. Ya usahanya atau pula pengelolaannya. Repotnya, sekian lama pula kebijakan dan langkah mengenai ini dinilai hanya maju-mundur. Belakangan ada pula upaya pengelompokan lewat kebijakan pembentukan holding walau itu juga menumbuhkan keraguan baru yang meluas apakah itu obat sebenarnya. Bila semua langkah yang diambil itu sebenarnya hanya soal teknis dalam pengelolaan, pertanyaan tentang peran dan fungsi tadi sesungguhnya mengungkap justifikasi keberadaan BUMN: mengapa, dan kalau diperlukan kapan harus hadir. Pertanyaan dasar Heboh dalam penanganan BUMN yang kabar dan angkanya lebih dari 140, termasuk di antaranya yang dinilai tak sehat, dan bersamaan dengan itu kekhawatiran tentang isu dominasi dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah jangan-jangan hanya tampilan luar. Jangan-jangan pula, obat yang namanya restrukturisasi ataupun pembentukan holding tak menyentuh persoalan dan pertanyaan dasar: perlukah kita ber-BUMN sebanyak sekarang? Dengan kehadiran dan perilaku BUMN sebanyak dan seperti sekarang, bukankah negara itu sendiri lantas bagai menjalankan usaha dagang, berjuang hidup dan bersaing dengan rakyat sendiri, yang sebenarnya justru mesti disejahterakannya? Bukankah dengan kekuatan UU yang dijalankannya, dan kewenangan yang dimiliki, negara semestinya dapat mewujudkan segenap amanat UUD dengan kebijakan dan program? Momentum restrukturisasi Bila demikian, dari mana penanganan soal itu mesti dipangkalkan? Tampaknya kita mesti berani kembali ke titik awal. Kalau kita punya tekad menyederhanakan kelembagaan dan prosedur dalam rangka penciptaan kesempatan kerja, mestinya kita juga berani membawa negara untuk bersikap adil dalam sikap dan perilakunya sendiri, termasuk dalam menjalankan kegiatan dan bentuk usahanya. Kalaupun ingin memangkalkannya pada cita Pasal 33 UUD, dan menjadikannya sebagai legitimasi bagi kehadiran negara dalam kegiatan usaha, pernahkah kita mencoba mendefinisikan apa, mana, dan yang bagaimanakah yang namanya “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” itu ? Sama halnya, kita juga perlu mendefinisikan ulang tentang apa, mana, dan yang bagaimanakah yang “menguasai hajat hidup orang banyak” itu. Selama ini kita sudah banyak terlatih dengan penjabaran frasa “dikuasai oleh negara” walau juga masih selalu ragu ketika mesti mengelaborasi sejauh apa dan yang mana yang dimaksud dengan “kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” yang ada setelah kata-kata bumi dan air dalam Pasal 33 UUD tadi. Sama banyaknya adalah keterlatihan kita dalam membangun definisi meskipun baru sekadar untuk memberi pembenaran bagi keinginan penguasaan dan peneguhan kewenangan untuk pengelolaan sektor tertentu yang kemudian ditegaskan sebagai bagian dari fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kehadiran dan perilaku BUMN sebanyak dan seperti sekarang, bukankah negara itu sendiri lantas bagai menjalankan usaha dagang, berjuang hidup dan bersaing dengan rakyat sendiri, yang sebenarnya justru mesti disejahterakannya? Kalaupun kehadiran melalui pembentukan BUMN juga ingin diberi justifikasi sebagai upaya pioneering, karena satu atau lebih alasan bahwa rakyat belum mampu memulai, adakah kebijakan strategis yang menggariskan mana saja bidang atau cabang usaha pioneering seperti itu? Adakah kebijakan yang pernah digariskan, kapan dan bagaimana mekanisme negara harus mendivestasikan usaha pioneering setelah berjalan baik dan rakyat mampu mengelolanya? Seiring dengan contoh tolok ukur tadi, ide tentang pembentukan dan menghadirkan BUMN memang seharusnya disikapi dengan cermat. Dalam kondisi ketika kemampuan rakyat sudah mampu mewujudkan dan menjalankan berbagai usaha, kehadiran negara melalui BUMN sebaiknya memang dikurangi, atau bahkan ditiadakan. Tidak perlu risau dengan soal lapangan dan kesempatan kerja tatkala menimbang likuidasi BUMN karena semua aspek tadi melekat sebagai paket dalam usaha yang bersangkutan. Apalagi kalau langkah likuidasi diwujudkan dalam bentuk penjualan entitas usaha. Tidak ada pengangguran yang akan tercipta karena langkah likuidasi atau pengurangan jumlah BUMN tersebut. Sekarang atau nanti, rasanya itulah pangkal tolak yang patut ditimbang. Yang namanya pembenahan, penyehatan, strukturisasi, pasti akan ada sepanjang perjalanan pengelolaan usaha. Berapapun banyaknya. Namun berhenti hanya pada membolak-balik BUMN yang jumlahnya demikian banyak berikut kondisi kesehatan usaha, keuangan dan tata kelolanya yang beraneka ragam, juga tak akan menyelesaikan isu sentral tentang peran negara, kehadiran BUMN dan kaitannya dengan peran rakyat dalam perekonomian nasional. Likuidasi mungkin akan jadi satu di antara sekian banyak ide yang menarik, dan sekaligus tantangan. (Bambang Kesowo; Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas/IKAL))