Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tetap berlaku mulai Januari 2020. Meski penolakan diwarnai aksi unjuk rasa di sejumlah daerah, iuran tetap naik karena telah diamanatkan undang-undang. Oleh GIANIE Terlebih lagi, Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan besarnya iuran untuk setiap jenis program jaminan sosial ditetapkan secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Kenaikan iuran JKN-KIS juga dimaksudkan untuk mengatasi defisit pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional. Defisit berarti biaya manfaat yang dikeluarkan tidak sebanding dengan iuran yang diterima. Sejak tahun 2014, kondisi keuangan BPJS Kesehatan rata-rata defisit, kecuali pada tahun 2016. Defisit pada tahun 2014 tercatat Rp 1,94 triliun dan meningkat menjadi Rp 4,42 triliun pada 2015. Pada 2017, defisit meningkat lagi menjadi Rp 10,19 triliun. Jumlah ini naik lagi menjadi Rp 12,33 triliun pada 2018. Tahun 2019, defisit bahkan mencapai Rp 30 triliun. Dengan besaran iuran yang lama, diperkirakan defisit BPJS Kesehatan pada 2020 mencapai Rp 39,5 triliun. Defisit pembiayaan BPJS Kesehatan ini merupakan konsekuensi dari besaran iuran JKN-KIS yang sejak awal lebih rendah dari nilai keekonomiannya. Ditambah lagi dengan tidak dijalankannya ketentuan menaikkan iuran secara berkala tiap dua tahun. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada Pasal 38 Ayat (1) menyebutkan, besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali. Pada tahun 2018, beban biaya penyakit katastropik Rp 20,4 triliun. Penyebab defisit BPJS Kesehatan antara lain besarnya beban jaminan kesehatan yang harus dibayarkan untuk penyakit katastropik atau penyakit yang berbiaya tinggi yang sebenarnya dapat dicegah. Beberapa penyakit katastropik yang berbiaya besar tersebut adalah jantung, kanker, stroke, diabetes, dan gagal ginjal. Pada tahun 2018, beban biaya penyakit katastropik Rp 20,4 triliun. Sementara pada periode Januari-Agustus 2019, jumlahnya sudah mencapai Rp 15,4 triliun. Hingga akhir 2019, jumlah ini akan bertambah, bahkan melebihi angka pada 2018. Selama ini, defisit pembiayaan ditanggulangi dengan pemberian dana talangan oleh pemerintah. Pada tahun 2015, dana talangan dari pemerintah untuk defisit BPJS Rp 5 triliun. Angka tersebut bertambah menjadi Rp 10,3 triliun pada 2018. Namun, defisit belum sepenuhnya teratasi. Kenaikan dan dampak Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku bagi tiga jenis kepesertaan. Ketiganya adalah penerima bantuan iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, pekerja penerima upah (PPU), serta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Pada peserta PBI dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, iuran naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000. Hanya saja, dana iuran ini dari anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada peserta PPU, besaran iuran tetap 5 persen, tetapi komposisinya berubah. Semula besarannya 3 persen dibayarkan pemberi kerja, menjadi 4 persen dibayar oleh pemberi kerja. Sementara pekerja yang semula membayar 2 persen berubah menjadi 1 persen. Batas paling tinggi upah yang menjadi acuan yang semula Rp 8 juta berubah menjadi Rp 12 juta per bulan. Terakhir pada peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, iuran naik berkisar 65 persen hingga 115 persen. Iuran untuk perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.   Iuran untuk perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Sementara iuran untuk perawatan kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi 160.000. Kenaikan yang cukup besar ini menyebabkan banyak peserta yang menurunkan kelas perawatan demi menyesuaikan dengan kemampuan membayar, terutama pada peserta bukan penerima upah atau pekerja mandiri. BPJS Kesehatan mencatat, hingga akhir 2019, jumlah peserta PBPU kelas I yang turun kelas 153.466 orang (3,55 persen). Sementara jumlah peserta PBPU kelas II yang turun kelas sebanyak 219.458 orang (3,32 persen) (Kompas, 07/01/2020). Peserta PBPU kelas III pun berpotensi masuk menjadi peserta penerima bantuan iuran. Selain penurunan kelas perawatan, kenaikan iuran ini bisa berdampak pada melambatnya pertambahan jumlah peserta program JKN-KIS. Hal itu oleh karena munculnya ketakutan masyarakat yang belum menjadi peserta program untuk mendaftarkan diri karena khawatir tidak mampu membayar iuran meski untuk perawatan kelas III. Tidak jarang, peserta membayar iuran saat membutuhkan BPJS (saat sakit) dan berhenti membayar iuran ketika sudah sembuh. Sejak program JKN-KIS dimulai pada 2014, jumlah peserta hingga kini meningkat 68 persen, yaitu dari 133,4 juta jiwa peserta (2014) menjadi 224,1 juta peserta (2019). Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah peserta bantuan iuran (kelompok fakir miskin) yang mencapai 135,3 juta jiwa (60,4 persen). Sementara peserta yang merupakan pekerja mandiri dan bukan pekerja hanya 35,3 juta jiwa atau 15,7 persen. Meski demikian, masih terdapat sekitar 30 juta jiwa yang belum menjadi peserta JKN-KIS. Kepesertaan ini belum memenuhi target. Targetnya, 95 persen rakyat Indonesia atau sekitar 254 juta yang terdaftar di JKN-KIS. Menekan klaim Jika defisit pembiayaan BPJS Kesehatan terus berlanjut, pembayaran klaim rumah sakit akan tersendat. Akibatnya, rumah sakit akan mengalami kesulitan dalam memberikan layanan kesehatan yang optimal. Hal ini akan berujung pada kualitas pelayanan yang mengandalkan BPJS. Data BPJS Kesehatan hingga 20 Desember 2019 menunjukkan terdapat nominal sebesar Rp 1,973 triliun klaim rumah sakit yang belum dibayar BPJS Kesehatan. Sebanyak Rp 1,30 triliun (67 persen) merupakan klaim untuk rawat inap, dan selebihnya Rp 671,8 miliar merupakan klaim rawat jalan. BPJS Kesehatan ini adalah gotong royong agar setiap warga negara bisa menikmati layanan kesehatan yang baik. Dari jumlah klaim yang belum dibayar tersebut, sebagian besar, yakni Rp 1,24 triliun (63 persen), merupakan klaim rumah sakit di luar Pulau Jawa, yang meliputi 465 rumah sakit. Selebihnya, yakni Rp 729,9 miliar, adalah klaim dari 411 rumah sakit di Jawa. Kenaikan iuran JKN-KIS pada prinsipnya tidak akan memberatkan asalkan ada sosialisasi dengan baik dan ada kemudahan bagi peserta yang ingin turun kelas perawatan. Apalagi, prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan ini adalah gotong royong agar setiap warga negara bisa menikmati layanan kesehatan yang baik. Namun, di luar upaya menutupi defisit melalui kenaikan iuran, pemerintah juga perlu membenahi pengelolaan program JKN agar efisien dan transparan, sekaligus juga meningkatkan kualitas layanan fasilitas kesehatan menjadi lebih baik. Yang tak kalah penting adalah memeratakan akses kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk di luar Jawa. (Litbang Kompas)