Teknologi digital mendorong wisatawan Indonesia berekspektasi tinggi terhadap layanan yang disediakan oleh pelaku industri pariwisata. Oleh karena itu, para pelaku industri perlu beradaptasi ke teknologi digital. JAKARTA, KOMPAS – Wisatawan menuntut kepuasan pengalaman digital ketika bepergian. Tuntutan ini mendorong pelaku industri perjalanan, mau tidak mau, beradaptasi ke teknologi digital. Direktur Regional Wilayah Operator Asia Pasifik Travelport Gary Harford di Jakarta, Kamis (30/1/2020), menyatakan, di industri perjalanan kini muncul penawaran konten yang dipersonalisasi dan dihiperlokalisasi. Artinya, wisatawan bisa memenuhi kebutuhan, mulai dari pesan penerbangan, hotel, mobil, hingga hidangan, melalui ponsel yang terhubung internet. Semuanya terintegrasi. “Selama dua tahun terakhir, pencarian kebutuhan perjalanan di internet berkembang sangat pesat. Sebagai gambaran, berdasarkan data yang terekam di sistem kami, ada sekitar enam miliar perjalanan ditawarkan setiap hari secara daring. Beberapa agen perjalanan daring atau OTA di dunia pun sudah menawarkan pemesanan daring melalui suara,” kata dia. Travelport merupakan perusahaan teknologi global dibalik pemesanan dan tata niaga perjalanan para agen perjalanan pariwisata. Travelport memiliki perwakilan di 180 negara. Pada kesempatan itu, Gary memaparkan laporan Global Digital Traveler Research yang dilakukan oleh tim riset pasar Travelport. Metodologi yang dipakai adalah survei daring kepada 23.000 orang yang setidaknya melakukan dua penerbangan pulang-pergi selama setahun terakhir pada Agustus 2019. Responden tersebut berlokasi di 20 negara. Untuk Indonesia, total responden mencapai 500 orang. Ketika mencari informasi tentang perjalanan, hasil survei menunjukkan, 45 persen responden Indonesia menggunakan laman pembanding harga tiket penerbangan, sedangkan persentase rata-rata global hanya 38 persen. Lalu, 51 persen responden Indonesia mengaku memanfaatkan laman ulasan kebutuhan perjalanan, sedangkan persentase rata-rata secara global sebesar Rp 42 persen. 79 persen responden di Indonesia mengaku pengalaman digital yang baik menjadi pertimbangan penting. Ketika memilih akomodasi, 79 persen responden di Indonesia mengaku pengalaman digital yang baik menjadi pertimbangan penting. Sementara rata-rata persentase global yaitu 58 persen dari total responden. Sebanyak 78 persen responden di Indonesia mempertimbangkan teknologi yang tersedia di dalam ruangan hotel sebelum memesan. Adapun rata-rata persentase global yaitu 57 persen dari total responden. Ketika berwisata, 81 persen dari responden di Indonesia setuju bahwa boarding pass dan tiket berwujud elektronik sangat memudahkan perjalanan. Dengan adanya teknologi digital, wisatawan Indonesia memiliki ekspektasi tinggi terhadap layanan yang disediakan oleh pelaku industri pariwisata. Garry mencontohkan salah satu temuan riset, yaitu 88 persen responden menganggap bahwa nilai tambah layanan adalah prioritas utama ketika memilih maskapai penerbangan. Saat proses pemesanan secara daring, misalnya, sistem agen atau maskapai menawarkan pemesanan makanan, memilih kursi, dan tambahan bagasi. Hal ini berarti mereka tidak sekadar mementingkan harga. Dengan teknologi digital, wisatawan Indonesia punya ekspektasi tinggi terhadap layanan pariwisata. “Wisatawan di Indonesia tergolong paling rela memberikan lebih banyak informasi pribadi kepada pihak maskapai penerbangan, asalkan mereka bisa memperoleh penawaran khusus. Sekitar 24 persen responden Indonesia mengaku demikian, dibandingkan rata-rata global sekitar 17 persen. Ini berarti konsumen menuntut personalisasi layanan,” kata dia. Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO), Elly Hutabarat memandang, perubahan di industri perjalanan disebabkan oleh permintaan konsumen yang menginginkan layanan semakin cepat dan nyaman. Ketika teknologi digital berkembang, pelaku industri menyambut positif demi memenuhi permintaan konsumen. “Tiga puluh tahun lalu, garda terdepan kelangsungan bisnis perjalanan adalah petugas teller atau frontliner. Mereka mempunyai kemampuan cekatan dalam mencarikan rute beserta waktu penerbangan terbaik bagi konsumen. Karena dituntut cekatan, mereka harus menguasai Yellow Pages dan informasi jadwal penerbangan,” ujar dia. Di Indonesia, pendapatan masyarakat bertambah sehingga mereka mempunyai cukup uang untuk bepergian. Ketika berwisata, mereka menuntut layanan cepat dan nyaman. Ini artinya, agen perjalanan daring dan luring tetap bisa tumbuh bersamaan. Peran agen perjalanan luring akan terus dibutuhkan, karena mereka lebih paham lanskap industri. Sementara perusahaan daring pada umumnya lebih fokus ke teknologi. “Pelaku industri perjalanan harus tetap relevan,” kata Elly. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (29/1/2020) di Jakarta, menilai, promosi destinasi pariwisata melalui media digital lebih tepat sasaran dan terukur. Kementerian berencana mengoptimalkan kerja sama dengan penyebar pengaruh (influencer) internasional yang berasal dari negara target pasar Indonesia. Rencana ini tidak akan menghilangkan promosi di media konvensional. Pagu anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2020 berkisar Rp 5,36 triliun. Dana ini rencananya dipakai untuk program dukungan manajemen (Rp 523,5 miliar), pengembangan kepariwisataan (Rp 4,13 triliun), dan ekonomi kreatif (Rp 712,3 miliar). Kemudian, ada tambahan mencapai sekitar Rp 450 miliar yang diperuntukkan untuk tiga badan otorita pariwisata Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo Flores. Sementara nilai anggaran untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik tahun 2020 berkisar Rp 1,003 triliun yang diperuntukkan bagi 19 provinsi dan 287 kabupaten/kota. DAK nonfisik berkisar Rp 284,3 miliar dan rencananya untuk 357 kabupaten/kota.