Revolusi 4.0 menjadi tema populer menggambarkan perubahan besar masyarakat akibat digitalisasi. Agar tidak tertinggal, pendidikan di perguruan tinggi perlu segera disesuaikan dengan lapangan kerja yang akan tersedia. Oleh ARITA NUGRAHENI   Sepanjang yang dapat dicatat sejarah, perubahan yang berdampak besar bagi manusia terjadi sejak kira-kira 12.000 tahun lalu. Yuval Noah Harari (2014) dalam Sapiens: A Brief History of Humankind menyebut revolusi kala itu terjadi saat manusia mengubah pola hidupnya. Semula mengembara menjadi pola hidup manusia di zaman itu. Manusia kemudian beralih menjinakkan binatang untuk kepentingan produksi pangan. Masa itu kemudian disebut dengan Revolusi Pertanian (agraris). Perubahan yang radikal dilanjutkan dengan dimulainya masa industri. Revolusi industri pertama berlangsung antara 1760-an hingga 1840-an yang ditandai penemuan mesin uap sebagai pengganti tenaga manusia. Revolusi kedua terjadi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dengan penemuan listrik yang memungkinkan produksi dalam skala massal berbagai inovasi teknologi, seperti pesawat terbang, mobil, hingga televisi. Revolusi ketiga dimulai pada 1960-an dengan pengembangan teknologi digital, seperti komputer dan internet. Silicon Valley di California, Amerika Serikat, patut dijadikan ikon sejarah perkembangan revolusi teknologi informasi di era tersebut. Kanal media yang akrab kita kenal seperti Google, Facebook, dan Whatsapp lahir dari sana. Kini, masyarakat dunia memasuki zaman yang disebut dengan ”Revolusi Industri Keempat”. Frasa ini mulai mengemuka dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 20-23 Januari 2016. Teknologi supercanggih disebut-sebut sebagai tulang punggung dari perubahan ini. Klaus Schwab, ekonom Jerman sekaligus pendiri WEF, dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016) mengartikulasikan gagasan Revolusi Industri Keempat sebagai masa yang ditandai dengan kecerdasan buatan dan mesin pemelajar. Schwab menceritakan, istilah Industri 4.0 muncul dalam diskusi di Hannover Fair pada 2011 di Jerman untuk menggambarkan kehadiran ”pabrik pintar” yang akan mengubah sistem manufaktur menjadi lebih fleksibel. Di masa ini, teknologi digital mengubah banyak sendi kehidupan dengan jangkauan lebih luas dari masa revolusi sebelumnya. Ada tiga tren yang akan berkembang pada era Revolusi 4.0. Pertama, teknologi benda-benda canggih, seperti kendaraan otonom, percetakan tiga dimensi, robot canggih, dan material baru yang lebih baik. Kedua, tren digital yang diwakili dengan makin multigunanya penggunaan internet untuk berbagai kebutuhan atau sering disebut dengan Internet of Things (IoT). Ketiga, teknologi di bidang biologi untuk penyembuhan penyakit, rekayasa genetik, dan lainnya. Program studi baru Di Indonesia, ”lonceng” Revolusi 4.0 direspons dari berbagai penjuru. Salah satunya adalah bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan tenaga kerja yang lebih digital savvy. WEF memprediksi sampai tahun 2020, akan ada 492.000 pekerjaan baru di sektor bisnis dan keuangan, 405.000 pekerjaan baru di sektor komputasi dan matematika, dan 416.000 peran di bidang manajemen. Keterampilan untuk memecahkan masalah yang rumit, kecakapan sosial, dan analitis akan menjadi keterampilan wajib untuk bersaing. Kompas pada akhir tahun 2016 menyoal tentang pentingnya penyiapan tenaga kerja industri manufaktur demi menjaga stabilitas ekonomi. Perhatian ini dipicu kala sumbangsih industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) turun dari 21,18 persen pada triwulan I-2015 menjadi 19,9 persen pada triwulan III-2016. Pertumbuhan industri manufaktur juga turun dari 6,3 persen pada 2011 menjadi 4,2 persen pada 2015 (Kompas, 9/12/2016). Lebih dari satu tahun berselang, Indonesia Industrial Summit 2018 meluncurkan peta jalan yang dinamai ”Making Indonesia 4.0”. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto kala itu menyatakan, program-program yang terintegrasi disiapkan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) hingga memanfaatkan digitalisasi dalam industri. Revolusi 4.0 diyakini bukan sebagai bentuk disrupsi, melainkan penciptaan kesempatan baru (Kompas, 5/4/2018). Gayung bersambut, kebutuhan pasar tenaga kerja disambut dengan jenis pendidikan yang beragam. Kombinasi pengetahuan dan penguasaan soal kecerdasan buatan, data raksasa, komputasi awan, dan serba-serbi berbasis internet menjadi kata kunci dalam membentuk program studi (prodi) baru di perguruan tinggi. Meski pelik, sejumlah prodi dengan bidang baru sudah mulai dibuka di sejumlah universitas. Misalnya prodi aktuaria yang menggabungkan studi matematika, statistik, keuangan, dan pemrograman komputer. Prodi ini telah dibuka di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Jurusan lainnya seperti bisnis digital dan ekonomi digital juga telah dibuka di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Padjajaran. Forum Rektor Indonesia (FRI) XIV pada Februari 2018 di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo mendeklarasikan agar pemerintah mendorong debirokratisasi dan deregulasi perizinan bagi pembentukan prodi-prodi baru serta terobosan baru untuk menjawab persoalan era disrupsi dan Revolusi 4.0 (Kompas, 16/2/2018). Meski begitu, hingga kini belum ada pembaruan dalam prosedur pembukaan dan perubahan prodi pada perguruan tinggi. Laman Sistem Informasi Direktorat Pengembangan Kelembagaan Perguruan Tinggi masih merujuk pada panduan yang ditandatangani pada 16 Januari 2017. Dengan peraturan tersebut, pembukaan prodi baru bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) memiliki syarat yang lebih rumit dibandingkan dengan PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Menurut Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal, perguruan tinggi selain PTN-BH membutuhkan delapan bulan hingga satu tahun untuk mendapat izin operasional (Kompas, 25/3/2019). Selain dari sisi teknis, jenis-jenis prodi yang dibuka juga harus dipertimbangkan kesepadanannya dengan dunia kerja. Variasi prodi berbasis digital atau penambahan kurikulum digital belum banyak dilakukan. Perguruan di Indonesia masih terdiri dari program-program konvensional yang surplus lulusan. Surplus bidang Menurut data yang dihimpun dari laman Pangkalan Data Kemenristekdikti per Senin (27/1/2020), sebaran prodi di perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan konsentrasi di bidang pendidikan. Tiga prodi teratas adalah pendidikan (6.120 prodi), teknik (5.400 prodi), dan sosial (4.347 prodi). Tidak hanya prodi, jumlah mahasiswa aktif paling banyak juga berasal dari prodi pendidikan. Terdapat tiga prodi dengan jumlah mahasiswa aktif lebih dari 1 juta, yaitu pendidikan, ekonomi, dan sosial. Membeludaknya mahasiswa pendidikan yang juga dilatarbelakangi oleh menjamurnya prodi pendidikan berdampak pada jumlah lulusan yang surplus. Kemenristekdikti mendata terdapat 254.669 sarjana pendidik pada tahun 2016. Padahal kebutuhan guru di tahun 2017 hanya 27.241 orang, sementara pada 2018 ada 43.258 sarjana (Kompas, 19/1/2018). Setali tiga uang, hal yang sama juga terjadi pada prodi kedokteran. Jumlah dokter telah melebihi target dari 45 dokter per 100.000 penduduk, kini tersedia 50,2 dokter per 100.000 penduduk. Pemangku kepentingan profesi kedokteran seperti Kementerian Kesehatan, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan lainnya mendesak Kemenristekdikti untuk melakukan moratorium izin pembukaan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi baru. Hal ini didasari argumen bahwa pembukaan prodi baru tidak menjawab masalah ketersebaran dokter dan pemerintah perlu fokus pada pembenahan mutu pendidikan terlebih dulu. Pada tahun 2019, sebanyak 36 PTN membuka 86 prodi baru dan 77 persen di antaranya berasal dari rumpun sainstek. Optimisme mulai tampak dalam upaya untuk menambah variasi jenis prodi. Digitalisasi adalah keniscayaan yang hanya dapat diatasi dengan penyesuaian diri dan lingkungan agar tetap dapat bertahan di ekosistem dunia yang baru. (Litbang Kompas)