Pencegahan berupa deteksi dini oleh tenaga medis dan imunisasi masih minim dilakukan. Kurangnya informasi hingga biaya yang mahal menjadi alasannya. Oleh IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA   Kanker payudara dan leher rahim adalah jenis kanker yang kerap menyerang perempuan. Pencegahan berupa deteksi dini oleh tenaga medis dan imunisasi masih minim dilakukan. Kurangnya informasi hingga biaya yang mahal menjadi alasannya. Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan bulan lalu. Sebagian besar responden perempuan (76,8 persen) tidak pernah melakukan pencegahan dini terkait kanker payudara dan leher rahim (serviks). Padahal, dua jenis kanker ini rentan mengenai perempuan. Bahkan, keduanya merupakan kanker yang menyebabkan kematian terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2018, kanker payudara adalah kasus kanker terbanyak yang ditemui di dunia. Dipilah berdasarkan jenis kelamin, ada empat jenis kanker terbesar pada perempuan. Berturut-turut adalah kanker payudara, usus, paru-paru, dan serviks. Data tersebut juga mencatat terdapat 46,3 kasus kanker payudara per 100.000 penduduk di dunia. Terpaut jauh di urutan kedua adalah kanker usus, yakni 16,3 kasus, dan kanker paru-paru 14,6 kasus. Adapun angka kejadian kanker serviks uteri tercatat 13,1 per 100.000 penduduk.   Di Indonesia, kanker payudara dan serviks uteri merupakan dua jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada penderita baru. Angka kejadian kanker payudara adalah 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk, sedangkan kanker serviks uteri sebesar 23,4 dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk. Angka-angka ini, baik di dunia maupun di Indonesia, mengindikasikan satu hal, dua kanker tersebut tak bisa dipandang sebelah mata. Kewaspadaan melalui deteksi dini jelas dibutuhkan karena hal itu jauh lebih baik ketimbang menjalani pengobatan. Dalam jajak pendapat tersebut, sebanyak 20,3 persen responden memiliki keluarga inti yang terkena kanker payudara, sedangkan 12,7 persen lainnya mengakui di keluarga mereka ada yang mengalami kanker serviks. Periksa payudara Deteksi dini menjadi salah satu upaya untuk pencegahan kanker, apalagi kanker payudara bisa dideteksi sejak awal dan dapat dilakukan sendiri maupun di puskesmas. Kementerian Kesehatan pada Hari Kanker Sedunia tahun lalu menyatakan, jika kanker dideteksi dini dan diobati segera, angka kesembuhan semakin baik. Sayang, tiga dari empat pasien kanker datang berobat ketika sudah berada pada stadium lanjut. Kebiasaan deteksi dini sebenarnya sudah disadari oleh perempuan. Hasil jajak pendapat menunjukkan gejala tersebut. Sebanyak 37,9 persen responden perempuan mengaku rutin melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) setelah menstruasi. Angka ini belum termasuk 33,3 persen responden yang mengaku pernah melakukan deteksi meskipun tidak rutin. Meski demikian, tidak sedikit yang mengakui belum melakukan deteksi dini. Hal itu disampaikan oleh 28,8 persen responden. Padahal, SADARI merupakan hal sederhana yang dapat dilakukan sendiri dan tidak membutuhkan biaya. Rutin melakukannya dapat membantu deteksi kanker payudara sejak dini. Pemeriksaan itu dilakukan saat 7-10 hari setelah menstruasi. Langkah-langkahnya pun dapat dengan mudah ditemukan di internet. Deteksi dini kanker payudara juga dapat dilakukan oleh dokter atau dikenal dengan SADANIS (Pemeriksaan Payudara Klinis). Sebanyak 22,7 persen responden perempuan mengaku pernah ke dokter untuk memeriksa payudara. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan USG payudara atau mamografi. Imunisasi HPV Upaya pencegahan kanker dapat dilakukan dengan imunisasi Human Papilloma Virus (HPV). Sayang, imunisasi ini belum begitu populer. Efektivitas vaksin HPV diklaim hampir 100 persen dan tak hanya mencegah kanker serviks, tetapi juga kanker anus, penis, mulut dan tenggorokan, vagina, dan vulva. Hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 12,1 persen responden perempuan yang mengaku sudah divaksin HPV. Sebagian besar belum melakukan hal tersebut. Bagian terbesar, 42,4 persen, mengaku belum melakukan imunisasi dengan alasan tidak mengetahui informasi terkait vaksin HPV. Padahal, kanker serviks menjadi satu-satunya jenis kanker yang bisa dicegah dengan vaksinasi. Pada 2018, program vaksinasi HPV masih terbatas pada siswa perempuan usia 10 tahun (kelas V sekolah dasar) di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kota Surabaya (Kompas, 20/1/2018). Vaksin HPV diberikan pada kelompok usia 9-14 tahun dengan pemberian 0 bulan dan 6 bulan, sedangkan pada kelompok 14-44 tahun diberikan 3 kali dengan jadwal pemberian 0 bulan, 2 bulan, dan 6 bulan. Pemerintah sebaiknya menjadikan vaksin HPV sebagai program nasional untuk mencegah kanker serviks mengingat tingginya angka pernikahan di bawah umur di Indonesia. Leher rahim diketahui mudah dipenetrasi virus HPV ketika perempuan masih muda. Selain itu, jika vaksinasi HPV menjadi program nasional, harga vaksin bisa ditekan lebih murah. ”Pap smear” Deteksi dini juga bisa dilakukan dengan pap smear, yakni pengambilan dan pemeriksaan sampel sel dari leher rahim untuk mengetahui ada tidaknya kelainan yang mengarah ke kanker serviks. Berbeda dengan vaksin HPV, pap smear dianjurkan bagi wanita yang sudah menikah atau aktif secara seksual dan dilakukan setiap tiga tahun sekali. Sekitar 80 persen kanker serviks disebabkan kegiatan seksual, menikah di usia muda atau di bawah 16 tahun, kerap melahirkan secara normal, menderita penyakit kelamin, dan merokok. Hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 16,7 persen responden perempuan yang rutin melakukan pap smear. Bagi responden yang mengaku tidak melakukan pap smear, alasan mereka bermacam-macam. Lagi-lagi alasan terbanyak adalah tidak mengetahui informasi tersebut. Informasi tidak tepat soal kanker memang kerap membuat masyarakat tersesat meski berlatar belakang pendidikan tinggi. Contoh informasi tidak tepat itu ialah vaksinasi HPV dapat memicu anak mengalami menopause dini. Informasi ini menjadi alasan orangtua tidak memvaksin anak mereka. Besarnya biaya juga menjadi salah satu alasan responden perempuan belum melakukan imunisasi HPV atau pap smear. Untuk vaksin HPV saja dibutuhkan biaya lebih dari Rp 2 juta, sedangkan biaya pap smear bervariasi, mulai dari Rp 300.000. Pada dasarnya, kanker dapat dicegah dengan menghindari faktor risiko, antara lain istirahat cukup, tidak merokok atau menghindari paparan asap rokok, beraktivitas fisik minimal 30 menit sehari, diet yang sehat dan seimbang, serta tidak mengonsumsi alkohol. Hendaknya pengenalan tanda-tanda atau perubahan pada tubuh sendiri dilakukan sebagai upaya deteksi dini kanker. Jika tidak mulai dari diri sendiri, siapa lagi yang harus memulai? (Litbang Kompas)