Ujian Nasional Belajar dengan Penuh Suka Cita Kami menilai keberanian “Mas Menteri” menghapuskan UN adalah sebuah insting pendidikan yang menjadi berkah bagi komunitas sekolah di Indonesia. Sumber daya kementerian harus digunakan maksimal untuk mengatasi masalah. Oleh Denni B. Saragih Mas Menteri, sebutan khas Mendikbud Nadiem Makarim di kalangan punggawa pendidikan, membuat keputusan yang melegakan. Ia menetapkan penghapusan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021. Komunitas Air Mata Guru sudah sejak tahun 2005 meneriakkan kekacauan dunia pendidikan yang disebabkan oleh kebijakan UN ini, khususnya sebagai penentu kelulusan. Ketika pada tahun 2015 pemerintah tidak lagi mensyaratkan UN sebagai syarat kelulusan maka hal tersebut seperti angin segar yang menyejukkan siswa,  guru dan orangtua. Namun kekangan pembelajaran dengan latihan mekanis menjawab soal masih membebani peserta didik. Jadi momok Nilai UN sebagai salah satu syarat kelulusan dan pertimbangan penting dalam memasuki jenjang berikutnya, ternyata tetap menjadi momok yang membayangi anak-anak, bak hantu yang menunggu di pintu-pintu pendidikan. Tulisan Jusuf Kala mengkritik kebijakan penghapusan UN (Kompas,  20/12/2019). Izinkan saya menyajikan sisi yang berbeda dan menyegarkan ingatan kita betapa buruknya situasi pendidikan ketika UN menjadi gembok yang harus dibuka untuk keluar gerbang kelulusan. Tidak meratanya kualitas pendidikan justru menjadi persoalan yang harus diatasi, Air Mata Guru menemukan sekolah berlomba-lomba menutup-nutupi kesenjangan itu. Di berbagai daerah yang jauh dari pusat seperti Aceh, Papua, Nias dan Kalimantan, guru sudah paham bahwa yang bisa lulus hanya di kisaran sepuluh persen. Adalah suatu kemustahilan bagi sekolah untuk meluluskan hanya 10 persen. Sekolah tidak mampu menghadapi tekanan dari orangtua, pejabat dan siswa. Maka yang terjadi adalah skandal nasional yang hanya bisa direspons dengan air mata. Para kepala Dinas Pendidikan menyusun strategi atas tekanan kepala daerah untuk menyukseskan UN dengan cara apa saja. Air Mata Guru menemukan munculnya rapat-rapat koordinasi di berbagai daerah untuk mengumpulkan kepala sekolah agar saling bekerjasama di rayonnya. Para guru harus menyangkal hati nuraninya ketika harus membagikan 60 persen jawaban UN agar siswa memenuhi syarat kelulusan. Tentu saja Kementerian Pendidikan memiliki data kecurangan tersebut. Komunitas Air Mata Guru harus diinterogasi berjam-jam oleh petugas inspektorat untuk menemukan fakta di lapangan. Namun mereka mengakui bahwa temuan itu tidak mungkin dijadikan data untuk kebijakan, karena UN adalah keputusan politik bukan pendidikan. Apakah kita tidak belajar dari masa kelam ini? Tentu, kalau kementerian mau membuka mata bahwa persoalannya sangat mendasar,  yaitu  tidak meratanya kualitas pendidikan, dan ini jauh dari  angka-angka kering yang buta terhadap situasi di berbagai daerah.   Kita tidak membutuhkan hasil PISA untuk memetakan betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Yang dibutuhkan justru suasana yang merdeka dan kejujuran yang apa adanya untuk membongkar borok-borok pendidikan. Mental koruptif UN sempat menjadi ajang  melatih mental koruptif dari anak-anak sekolah. Seandainya ada ukuran indeks ketidakjujuran, maka saya tidak akan terkejut bahwa generasi UN adalah generasi yang sempat melewati titik paling koruptif dalam kehidupannya. Ketika UN berlangsung maka beberapa hari sebelum pelaksanaan, banyak siswa yang giat menghafal. Mereka bukan menghafal rumus dan pengetahuan, tetapi kunci jawaban soal yang mereka akan hadapi. Air Mata Guru melaporkan hal ini, baik di tingkat dinas, provinsi, DPRD dan DPR. Bukti-bukti sudah telanjang. Namun, UN tetap dilaksanakan. Ketika pemerintah mengklaim UN membuat anak-anak rajin belajar, kenyataannya UN hanya menjadi episode akrobat anak-anak sekolah bermain drama menjadi penipu kecil. Pada tahun 2007, sebuah sekolah di Nias melaksanakan UN mata pelajaran Bahasa Inggris dengan menggunakan satu speaker massal (biasa digunakan untuk pengumuman) untuk menguji listening. Para siswa mendengarkan dari dalam kelas, dan ajaibnya sekolah tersebut lulus seratus persen. Betapa ironis ketika tidak lama setelah itu kami mendengar Menteri Pendidikan memberikan laporan di DPR bahwa UN telah berjalan sukses. Dari percakapan dengan guru-guru Komunitas Air Mata Guru, kita menemukan bahwa anak-anak yang lulus UN pada masa itu banyak yang tidak bangga dengan hasil pencapaiannya karena mereka sadar bahwa itu hanya bagian dari sandiwara nasional. Saya tidak menyangkal bahwa ada secuil kebaikan bagi siswa  yang dibawa oleh UN. Namun tidak salah kalau secara keseluruhan UN adalah pemborosan anggaran. Hanya alat uji UN bukanlah sebuah evaluasi yang menilai proses dan luaran pembelajaran. UN adalah test, sebuah alat uji. Hampir semua sekolah memberlakukan jam tambahan untuk persiapan menghadapi test UN. Tidak jarang dengan mengabaikan pelajaran lainnya. Sejak pertama kali diselenggarakan, kemerdekaan belajar seolah dirampas dari kehidupan anak didik. Belajar bukan lagi sebuah petualangan menemukan pengetahuan dan keajaiban ilmu. Belajar adalah latihan jam demi jam untuk menyiasati berbagai tipe pertanyaan. Seorang siswa yang jenius dalam seni dan olah raga bisa dicap sebagai anak yang gagal karena memiliki titik lemah dalam pelajaran yang diuji UN. Drama seputar kisah sukses UN rutin diselingi dengan lembar kelam  ketika ada siswa bunuh diri karena tidak lulus UN. Lalu ramai-ramai pemangku kepentingan menyangkal korelasi antara keduanya. Sejujurnya itu hanya puncak dari gunung es dari ketidakbahagiaan anak-anak sekolah dalam proses belajar menjelang UN. Sebagai komunitas yang menaungi guru, yang paling terasa adalah pergulatan nurani  seorang guru dalam mendidik anak-anak bangsa. Pada tahun-tahun ketika UN menjadi penentu kelulusan, beberapa siswa yang memiliki keberanian moral tinggi dengan jujur menolak menerima jawaban yang disediakan sekolah. Sebagian dari mereka tidak lulus. Mengganggu nurani Hal itu merobek-robek batin guru-guru yang tahu betul bahwa anak-anak tersebut lebih pantas lulus dibandingkan sebagian besar teman sekelasnya yang lulus dengan mendapatkan kunci jawaban. Mereka harus puas dengan ijazah kejar paket C sebelum ada ujian ulangan UN. Pada tahun 2007-2010 ada 30 guru swasta yang menjadi bagian dari Air Mata Guru dipecat dari sekolah karena menolak membagikan jawaban UN. Bagaimana tindakan yang menyangkali kejujuran, sifat moral yang selalu ditanamkan di ruang kelas, sekarang diputarbalikkan dan mereka mengajak siswa membohongi diri melalui drama UN? Sirnalah semua idealisme yang memanggil mereka untuk memilih profesi pendidik. Sejak 2015 memang UN tidak lagi menjadi persyaratan kelulusan. Namun berbagai aspek pendidikan terlupakan ketika kementerian menjadikan UN sebagai program andalan. Kami menilai keberanian “Mas Menteri” menghapuskan UN adalah sebuah insting pendidikan yang menjadi berkah bagi komunitas sekolah di Indonesia. Sumber daya kementerian harus digunakan secara maksimal untuk mengatasi persoalan utama sekolah. Yang terbesar adalah ketidakmerataan kualitas pendidikan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Anak-anak yang ada di luar Pulau Jawa tidak kalah dari segi potensi dan kapasitas kognitifnya. Mereka membutuhkan perhatian yang serius, sama seperti keseriusan Pak Jokowi membangun infrstruktur di berbagai daerah. Yang juga tidak kalah penting adalah siswa dan guru di sekolah swasta memiliki hak yang sama seperti siswa dan guru di sekolah negeri. Mereka tidak lebih rendah kemampuannya, baik sebagai anak-anak maupupun pendidik bangsa. Pendidikan di Indonesia membutuhkan kerja keras dan sumber daya yang besar. Kiranya hal tersebut perlu dibangun dengan kerja keras dan kejujuran. Jangan lagi ada air mata guru menangisi sistem pendidikan yang keliru. (Denni B Saragih Dewan Pembina Air Mata Guru, Dosen Agama dan Etika, Ukrida)