Memiliki regulasi pengawasan bukan berarti menutup rapat semua celah penyalahgunaan di bisnis asuransi. Pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dan penempatan investasinya masih saja terjadi. Oleh WIRDATUL AINI Pengawasan wajib dilakukan untuk kegiatan usaha asuransi di Indonesia. Ketentuan tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Regulasi tersebut menyebutkan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Undang-undang juga menyebutkan, dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan, OJK menetapkan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Dari penelusuran di laman ojk.go.id, setidaknya terdapat 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur tentang asuransi sejak 2015 hingga 2017. Salah satu fungsi pengawasan tercantum dalam POJK Nomor 55 Tahun 2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian. Aturan ini mewajibkan perusahaan asuransi menyusun laporan berkala kepada OJK berupa laporan bulanan, laporan triwulanan, laporan semesteran, dan laporan tahunan. Laporan bulanan dan triwulanan paling tidak akan menyertakan kondisi kesehatan keuangan perusahaan. Artinya, secara berkala OJK dapat memantau kondisi perusahaan perasuransian, termasuk ada atau tidaknya masalah keuangan di perusahaan asuransi. Ada pula Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Tata Kelola yang Baik bagi Perusahaan Asuransi. Aturan ini mewajibkan perusahaan perasuransian menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam setiap kegiatan usahanya. Prinsip ini meliputi keterbukaan, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban. Setidaknya prinsip-prinsip tersebut mengarah pada upaya menyelenggarakan usaha perasuransian yang sehat. Bank Century Walau sudah diatur dengan rapi, kelalaian perusahaan asuransi masih juga terjadi. Ujian bisnis asuransi ini berawal dari kegagalan asuransi Jiwasraya membayar klaim nasabahnya. Kegagalan ini menyusul fenomena serupa sebelumnya yang terjadi pada asuransi jiwa Bumiputera. Pengawasan berlapis, bahkan dari DPR, Kementerian BUMN, pemegang saham, BPK, dan BPKP ternyata tak menutup celah perusahaan BUMN bertindak tanpa prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dan penempatan investasinya. Mencermati fenomena gagal bayar yang terjadi, ada kesamaan pola antara bisnis asuransi Jiwasraya dan Bank Century. Benang merah dari bisnis ini yakni menjanjikan pengembalian atau bunga yang tinggi melebihi bunga bank kepada investor atau nasabah. Bunga yang ditawarkan Jiwasraya mencapai 9-13 persen. Demikian juga halnya bunga di Bank Century sebesar 13 persen. Bahkan, menjanjikan tidak dikenakan pajak dengan jaminan pemegang saham Bank Century. Meskipun sistem keuangan secara global melakukan skema Ponzi yang didukung otoritas keuangan, kedua perusahaan tersebut melakukan penyimpangan penggunaan dana. Untuk menutupinya, dilakukan pemolesan laporan keuangan (window dressing). Manipulasi akuntansi digunakan untuk memoles keuangan yang sakit menjadi sehat dan tampak menarik. Pada jiwasraya, dana disalahgunakan atau ditempatkan pada saham bervaluasi rendah (undervalue) atau saham gorengan, bukan pada saham bluechip. Nilai saham yang ditempatkan Jiwasraya bergerak liar menjadi gelembung kemudian anjlok menjadi seharga Rp 50 per lembar saham (saham gocap). Akibatnya, Jiwasraya tidak bisa memenuhi kewajiban membayar klaim nasabah yang sudah jatuh tempo. Jumlahnya mencapai Rp 12,4 triliun per Desember 2019. Kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 27 triliun. Terpuruknya Jiwasraya karena tata kelola investasi dan penyalahgunaan kewenangan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Manajemen memindahkan asetnya untuk mengejar return yang lebih tinggi. Hanya 5 persen sahamnya yang berada di LQ45. Indeks LQ45 mengukur performa harga dari 45 saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik. Sayangnya, Jiwasraya melupakan prinsip bahwa return tinggi tersebut harus berpasangan dengan risiko yang tinggi (high risk high return). Sementara pada Bank Century, dana investasi digelapkan oleh pemilik saham mayoritas. Ketika ada penarikan dana, likuiditas tidak mencukupi. Akibatnya, Century kalah kliring. Pengucuran modal negara pada Bank Century dikucurkan secara bertahap karena kekhawatiran adanya risiko sistemik. Terlebih pada saat itu, sektor keuangan global tengah berada dalam krisis akibat gelembung harga properti (subprime mortgage) di Amerika Serikat. Negara mengalami kerugian sebesar Rp 7,4 triliun. Ujian kepercayaan Meletusnya gelembung saham dan reksadana berisiko tinggi milik Jiwasraya di berbagai perusahaan berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Padahal, inilah roh bisnis asuransi, nilai kepercayaan publik. Bisnis asuransi butuh dukungan kredibilitas dari masyarakat. Bisnis tersebut baru bisa berjalan ketika memperoleh kepercayaan masyarakat atas kemampuannya mencairkan klaim di masa depan. Berdasarkan data OJK, penetrasi industri asuransi di Indonesia pada 2017 baru mencapai 7 persen. Demikian juga indeks literasi dan utilitasnya. Ada kesamaan pola antara bisnis asuransi Jiwasraya dan Bank Century. Benang merah dari bisnis ini yakni menjanjikan pengembalian atau bunga yang tinggi melebihi bunga bank kepada investor atau nasabah. Pada periode yang sama, indeks literasi asuransi baru mencapai 15,76 persen, sementara utilitasnya 12,08 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa tanpa tersandung kasus, pemilik asuransi di Indonesia hanya 1,7 persen dari populasi. Ini berarti industri ini harus semakin berjuang dengan keras mendapat kepercayaan masyarakat agar terus bertahan. Dalam konteks ini, terkuaknya gagal bayar pada Jiwasraya akan berpotensi risiko sistemik jika tidak diselesaikan dengan baik. Artinya, dampaknya dapat meluas. Peluang penarikan dana klaim semakin tinggi karena kepanikan (rush) masyarakat terhadap industri asuransi. Jika hal ini terjadi, dampaknya akan menjalar pada industri keuangan dan ekonomi. Dengan demikian, penyelesaian kasus asuransi ini menjadi pertaruhan bagi kredibilitas industri jasa keuangan. Lantas, pengawasan seperti apa lagi yang dibutuhkan oleh Industri Keuangan Nonbank (IKNB) khususnya asuransi? Perlindungan polis Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sudah mengatur upaya menjaga kredibilitas bisnis asuransi. Salah satu caranya dengan klausul perlindungan polis. Pasal 53 menyebutkan perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Hanya saja ketentuan penyelenggaraan program penjaminan polis disebutkan akan diatur dengan undang-undang. Namun, hingga saat ini regulasi tersebut belum tersedia. Laman DPR menyebutkan RUU tentang Penjaminan Polis baru diusulkan pada 17 Desember 2019. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu amanat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah penyelenggaraan program perlindungan polis. Tujuannya menciptakan kepercayaan terhadap lembaga asuransi dan mencegah potensi penyelewengan. Program perlindungan polis akan dijalankan lembaga tersendiri. Lembaga itu seperti lembaga penjamin simpanan untuk perbankan, sedangkan lembaga penjamin polis untuk perasuransian (Kompas, 24/1/2020). Sementara, upaya OJK dalam memperbaiki bisnis asuransi ditempuh dengan beberapa cara. OJK melakukan self review untuk IKNB, transformasi tata kelola berbasis risiko, reformasi kebijakan pengawasan IKNB, memperketat pengawasan penempatan instrumen investasi IKNB, mengeluarkan panduan manajemen risiko, dan melanjutkan pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP). Perketatan pengawasan penempatan instrumen investasi dilakukan dengan cara melaporkan data wajib kepada regulator, seperti neraca keuangan. Namun, satu hal yang terlupakan yakni belum adanya aturan perpajakan pada bisnis asuransi. Setelah industri asuransi sehat kembali, pengaturan perpajakan industri asuransi dapat menjadi salah satu upaya pengawasan dari penyimpangan jabatan dan manipulasi akuntansi. Dilema pengawasan pajak Selama ini, perpajakan dalam bisnis asuransi masih dalam tahap RUU. Draf RUU ini untuk menggantikan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pengaturan pajak dalam bisnis asuransi diharapkan dapat makin memperketat pengawasan terkait laporan keuangan. Namun, seperti diketahui, penerapan pajak di bisnis asuransi nantinya akan menghadapi dilema. Di satu sisi, adanya pajak akan memperluas pendapatan negara dan memperketat pengawasan keuangan. Di sisi lain, pertumbuhan bisnis asuransi akan semakin melambat karena adanya tambahan beban pembayaran pajak kepada nasabah. Data OJK menunjukkan, selama Januari hingga November 2019, pertumbuhan aset industri asuransi selama 2019 masih berada pada 0,7 persen. Kerugian bersih industri asuransi jiwa 2019 mengalami kenaikan dari Rp 2,17 triliun menjadi Rp 8,64 triliun. Pada 2017, hanya 1,7 persen populasi yang menggunakan asuransi. Artinya, perjuangan keras harus semakin dilalui untuk meraih hati masyarakat agar memiliki asuransi ketika dikenakan pajak. Namun, menjadi hal yang bukan tidak mungkin apabila pajak dikenakan di industri asuransi mengingat kinerja asuransi secara umum sejak 2014 menunjukkan hasil yang baik. Nilai investasi di industri asuransi meningkat dari Rp 648,3 triliun pada 2014 menjadi Rp 1.141,8 triliun pada 2019. Sementara di risk base capital (RBC) pada 2019 berada pada 329,3 persen untuk asuransi umum dan 725,4 persen untuk asuransi jiwa. Dari kasus yang pernah dialami di sektor keuangan Indonesia, Bank Century merupakan salah satu usaha keuangan yang dikenakan pajak. Berarti, pengawasan keuangan telah dilakukan di Bank Century. Walaupun demikian, tetap ada celah penyelewengan kedudukan di dalamnya. Keadaan tersebut memperlihatkan kebocoran dapat terjadi pada laporan keuangan yang sudah diawasi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan usaha yang tidak diawasi? Semoga otoritas terkait segera menemukan solusi demi menghindari kerugian dan masalah yang sama di kemudian hari. (Litbang Kompas)