Artikel Opini Sinergi Pendidikan Keberagaman   Oleh Al Makin   Indonesia adalah negeri yang dianugerahi keberagaman dari berbagai unsur, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kenyataannya, biodiversitas (kebelbagian) alam memengaruhi pola hubungan antarmakhluk hidup (bio-mimicri) sebagai penghuni negeri kepulauan. Interaksi masyarakat pun dipengaruhi ekosistem alam di laut, darat, dan udara. Jelas, Indonesia adalah gudang kekayaan tak ternilai yang patut disyukuri: keberagaman  etnis, tradisi, budaya, dan iman. Kebelbagian manusia sebagai individu dan masyarakat adalah cerminan keberagaman alam, dan sebaliknya. Dukung dua kementerian Permasalahannya adalah keberagaman ini belum benar-benar hadir dan dikuatkan dalam sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia. Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Kementerian Agama mempunyai pekerjaan rumah penting untuk membangun moral dan karakter generasi penerus Indonesia yang sadar akan keberagaman berupa perbedaan etnis, budaya, tradisi, dan agama. Itu semua belum maksimal diajarkan kepada siswa sejak dini. Pendidikan keberagaman sangat sesuai dengan arah dua kementerian pada era Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dengan darah mudanya, berupaya mencari terobosan-terobosan milenial dengan berpikir kritis, terbuka, dan out of the box, sesuai dengan tuntutan persaingan era teknologi dan informasi global kekinian, sementara Menteri Agama Fachrul Razi melancarkan program- program yang mendukung arah moderatisme guna menangkal radikalisme. Dua kementerian itu sepertinya mempunyai titik temu dalam pendidikan keberagaman dan keduanya sangat mungkin bersinergi. Pendidikan keberagaman yang tepat akan memberi dasar kokoh bagi mental dan spiritual untuk bersaing di pasar global sekaligus memperkaya wawasan untuk memupuk sikap moderat dalam berideologi dan menjalankan keyakinan. Di samping mendasarkan pada penelitian di jurnal-jurnal ternama bidang sosial dan humaniora, penulis juga meneliti sendiri dengan metode partisipatif aktif di tiga kota besar: Medan, Manado, dan Ambon, antara tahun 2016 dan 2017. Dalam wawancara dan dialog aktif di tiga kota itu, didapati bahwa mahasiswa-mahasiswi rata-rata membatasi pergaulan dengan teman seiman, seetnis, dan sebudaya. Sangat sedikit atau bisa dikatakan hampir tidak ada pemuda-pemudi dalam penelitian itu yang mencoba berteman dengan mereka yang meyakini agama lain. Hasilnya, rata-rata mereka tidak cukup mempunyai pengetahuan tentang tempat ibadah, pokok ajaran agama lain, atau etnis lain. Pengetahuan mereka tentang iman dan budaya lain tidak berdasarkan pengalaman dan apresiasi perbedaan, hanya persangkaan dan asumsi. Keterbatasan pertemanan dan pengetahuan para pemuda di tiga kota itu bisa jadi mencerminkan bagaimana hubungan antara iman, etnis, dan budaya di Indonesia saat ini. Sangat ironis, di negeri yang mencantumkan semboyan Bhinneka Tunggal Eka, keberagaman itu tidak dipahami dengan baik, apalagi mengamalkan toleransi. Pengalaman keberagaman Setelah penulis mengajak para pemuda dan pemudi dalam penelitian di Medan, Manado, dan Ambon untuk saling mengenal, ekspresi syukur dari wajah mereka terpancar. Mereka benar-benar sadar pentingnya berteman ragam untuk memperluas cakrawala: santri berteman dengan bhante, calon pendeta vikaris bersahabat dengan calon pedande, pemuda penghayat mengunjungi rumah sobat Muslim, aktivis Konghucu duduk bersama dengan rekan Katolik, dan lain sebagainya. Pengetahuan keberagaman tidak untuk dihafal di luar kepala, tetapi dialami dan dilakukan untuk bisa saling memahami dan menghargai. Belajar dari ekosistem alam di Nusantara ini, relasi mutualisme simbiosis dan harmonis terbentuk karena saling membutuhkan dan lamanya proses evolusi di alam terbuka. Begitu juga, hubungan harmonis antaretnis, iman, dan budaya masyarakat juga hendaknya dipupuk dan dikondisikan pelan-pelan dan sistematis. Waktu harus dipertimbangkan. Pendidikan keberagaman hendaknya dilakukan sejak usia dini dan akan terlambat jika dimulai pada masa mahasiswa atau bahkan telanjur sarjana. Lihatlah sejarah bangsa ini. Keberagaman dirintis ketika dimulainya kesadaran patriotik di era akhir penjajahan Belanda pada abad ke-20. Hampir semua tokoh pendiri bangsa ini mewariskan pesan menghargai perbedaan dalam persahabatan.  Maklum, mereka rata-rata terdidik secara multibudaya: perpaduan Barat dan Timur, adat, dan pendidikan modern. Syahrir, Hatta, Yamin, misalnya, adalah orang Minangkabau yang berjiwa patriotik sekaligus berpikiran terbuka karena pengalaman hidup yang ragam. Pada era itu, tokoh-tokoh dari berbagai etnis, Minangkabau, Batak, Bugis, Sunda, Jawa, Rejang, Minahasa, Sasak, dan lain-lain berusaha menekan ego masing-masing. Mereka rela menanggalkan rasa kedaerahan untuk mencapai kesepakatan persatuan bangsa. Mereka adalah contoh kita untuk bersatu dalam perbedaan. Pada masa Orde Baru, Menteri Agama Mukti Ali (1971-1978) mengenalkan keragaman dalam dua wacana: dialog antar-agama dan pembangunan jasmani serta rohani. Dalam ranah masyarakat sipil, banyak tokoh yang mengembangkan wacana keberagaman: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wachid (Gus Dur), Romo Mangunwijaya, Ibu Gedong, Frans Seda, Romo Frans Magnis Suseno, Teha Sumartana, Djohan Effendi, dan banyak lagi. Pada era reformasi ini justru kungkungan-kungkungan identitas sempit sering menjebak. Kelompok-kelompok tertentu sering membangun tembok yang mempersulit mereka untuk menyeberang dan memperluas pergaulan. Fanatisme dan radikalisme tumbuh karena ketertutupan, apalagi jika ideologi ikut bermain. Keterbukaan, pengalaman, dan persahabatan antarmanusia dengan perbedaan merupakan dasar penting pendidikan karakter bangsa bagi generasi selanjutnya. Pertanyaannya, bagaimana melakukannya secara sistematis dan bisa diukur, baik oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Al Makin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)