Pencegahan perkawinan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia. Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR   JAKARTA, KOMPAS – Pencegahan perkawinan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia. Data terbaru tentang jumlah perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun pada tahun 2018 mencapai  1.220.900 orang.  Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan komunitas. “Pencegahan, penggagalan, serta penanganan korban perkawinan anak  sangat membutuhkan peran komunitas. Keluarga saja tidak akan mampu. Kadang keputusan keluarga justru menambah potensi trauma si anak, misalnya memaksa anak kawin dengan pemerkosanya untuk menutup aib, atau orang tua memaksa anak menikah,” ujar  Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Lisa Woro Srihastuti, di Jakarta, Kamis (6/2/2020). Kehadiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (yang merevisi usia minimal perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun pada akhir 2019) yang disusul dengan Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) pada 4 Februari 2020 lalu tidak akan berdampak besar jika implementasi kebijakan tersebut tidak berjalan sampai ke tingkat paling bawah. Dalam dokumen Stranas PPA yang diluncurkan Selasa (4/2/2020) lalu, ada lima strategi pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak. Pertama, optimalisasi kapasitas anak (memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan) antara lain meningkatkan kesadaran dan sikap anak terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif, dan peningkatan partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan. Kedua, menguatkan peran orangtua, keluarga, organisasi sosial/kemasyarakatan, sekolah, dan pesantren untuk mencegah perkawinan anak. Ketiga, menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak. Keempat, menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi dan meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Kelima, meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak. Adapun proses pelaksanaan Stranas PPA adalah melalui pemetaan kondisi, pembangunan komitmen, perencanaan dan penganggaran untuk Stranas PPA, pelaksanaan upaya pencegahan perkawinan anak, serta pemantauan dan pengawasan upaya pencegahan perkawinan anak. “Sebagai pemerintah sebenarnya yang penting adalah kolaborasi dan sinergi program dan kegiatan. Karena sebenarnya sudah ada upaya-upaya tapi masih tersebar. Lalu yang penting kemitraan terutama untuk mengawal pelaksanaan di tingkat daerah bekerjasama deng lembaga masyarakat, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya,” papar Lisa. Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)  Lenny N Rosalin menegaskan untuk mencapai target penurunan angka perkawinan anak hingga 8,74 persen pada tahun 2024 memerlukan sinergi lintas sektor, bidang, dan wilayah serta melibatkan semua pemangku kepentingan. “Pembiaran terjadinya perkawinan anak berarti pembiaran terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, karena hak anak adalah bagian dari  HAM,” tegas Lenny. Harus sampai ke tingkat desa Direktur Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) Misiyah mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencegah perkawinan anak. Akhir Januari lalu, KPPPA meneguhkan kembali “Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak”, dan disambung dengan peluncuran Stranas PPA. “Gerakan dan dokumen ini harus diterapkan dengan serius, dari pemerintah desa hingga nasional. Anak perempuan kita ada di ambang bahaya karena data menunjukkan terjadi 1 kasus perkawinan di setiap 9 anak perempuan,” ujar Misiyah. Pidato Menteri PPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang  memberikan apresiasi kepada Asosiasi Kepala Desa Perempuan Bone yang berkomitmen melalui perencanaan dan penganggaran dinilai sebagai  langkah konkret untuk memulai gerakan pencegahan perkawinan anak dari pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat yaitu desa. Tidak bisa ditunda Selain Dokumen Stranas PPA, Selasa lalu juga diluncurkan Laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak- anak (Unicef), bersama Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA). Dari laporan tersebut pada tahun 2018, terdapat 11,21 persen perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Bahkan, 20 dari 34 provinsi di Tanah Air memiliki prevalensi perkawinan anak di atas rata-rata nasional. Prevalensi perkawinan anak tertinggi berada di Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS, Gantjang Amannullah menyatakan untuk mempercepat pencegahan perkawinan anak, sejumlah langkah bisa dilakukan yakni penguatan regulasi, layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas, pengentasan kemiskinan, perubahan pola pikir tentang perilaku kesehatan seksual, reproduksi (HKSR) dan jender, serta riset intervensi pada kelompok yang kawin anak. “Untuk penguatan regulasi, termasuk memastikan bahwa kebijakan yang baik, seperti peningkatan usia minimum perkawinan, tidak justru menyembunyikan perkawinan anak,” ujar Gantjang.