Perlu segera dibentuk semacam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk industri perasuransian sebagai salah satu langkah jitu untuk mengerek tingkat kepercayaan pasar yang sedang anjlok sekaligus mitigasi risiko likuiditas. Oleh PAUL SUTARYONO   Kasus PT Asuransi Jiwasraya, salah satu BUMN di bidang perasuransian, memasuki babak baru, yakni hukum. Sejatinya, perusahaan asuransi merupakan salah satu wadah untuk mengalihkan potensi risiko. Namun, kini justru Jiwasraya menghadapi potensi risiko reputasi. Bagaimana mengatasinya? Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kasus Jiwasraya mulai mengemuka pada 2004 ketika perusahaan memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, dengan defisit (insolvency) Rp 2,76 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan kian melebar menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun pada 2009. Kemudian langkah untuk reasuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp 1,3 triliun per akhir 2011. Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin diterbitkannya produk JS Proteksi Plan (produk bancassurance dengan BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY). Pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena telat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Hingga September 2019, total ekuitas dari perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini diketahui minus Rp 23,14 triliun. Kerugian ini buntut dari kesalahan investasi yang dilakukan perseroan di periode sebelumnya. Diketahui, Jiwasraya menempatkan hasil investasinya jauh dari prinsip kehati-hatian yang pada akhirnya nilai sahamnya anjlok dan berimbas pada menunggaknya klaim nasabah (infobanknews.com, 6/1/2020).   Kasus itu sudah menggelinding ke ranah hukum ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai melakukan pemeriksaan. Bersama Kejagung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan memeriksa seluruh pihak yang terkait. Namun, akan kian heboh tatkala kasus itu nanti dibawa ke ranah politik dengan lahirnya pansus di DPR. Langkah strategis Apa saja potensi risiko reputasi itu? Bagaimana langkah strategis untuk mengatasinya? Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap suatu perusahaan. Risiko muncul antara lain karena adanya pemberitaan atau rumor mengenai perusahaan yang bersifat negatif serta strategi komunikasi yang kurang efektif. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang disponsori Ace, Cisco Systems, Deutsche Bank Century, IBM, dan KPMG (2005), melindungi reputasi perusahaan merupakan tugas paling penting dan sulit manajer risiko. Laporan ini meriset 269 manajer risiko. Lantas, bagaimana ancaman risiko terhadap operasional bisnis? Riset EIU menunjukkan risiko reputasi memiliki ancaman paling tinggi (52 persen). Disusul risiko regulasi (masalah mencuat gara-gara ketentuan 41 persen), SDM (lemahnya keterampilan, isu suksesi, kaburnya pegawai unggul 41 persen), jaringan IT (gagal sistem 35 persen), pasar (anjloknya nilai aset di pasar 32 persen), kredit (kredit macet 29 persen). Selain itu, negara (geger di kawasan tertentu 22 persen), finansial (sulit mencari dana 21 persen), terorisme (19 persen), nilai tukar (18 persen), bencana alam (18 persen), politik (heboh pergantian pemerintahan 18 persen), dan kriminal dan keamanan (15 persen). Data ini menegaskan bahwa risiko reputasi merupakan risiko di atas semua risiko. Kedua, apa bentuk konkretnya? Kini pemberitaan tentang kasus Jiwasraya hampir tiap hari muncul di aneka media: cetak, daring (online) dan media sosial. Jika warta itu tanpa saringan yang memadai, hal itu bisa mengakibatkan potensi risiko reputasi. Apalagi perusahaan asuransi termasuk sektor jasa keuangan yang sarat dengan unsur kepercayaan. Ditambah lagi kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PT Asabri) yang mulai menyeruak di permukaan. Kasus itu akan mendorong potensi risiko reputasi bagi industri perasuransian nasional makin mengental. Karena itu, kini saatnya bagi Kementerian BUMN, Kejagung, BPK, Jiwasraya, dan OJK untuk menyatukan pandangan bahwa hendaknya hanya menyampaikan pendapat dan perkembangan kasus Jiwasraya kepada publik sesuai dengan kompetensinya. Hal itu bertujuan untuk menekan potensi risiko reputasi serendah mungkin. Mengapa? Karena kasus itu sudah masuk ke ranah hukum. Terlebih Kejagung sudah menetapkan tersangka pada Januari 2020. Kita berharap penanganan kasus itu secara hukum dapat menyelamatkan Jiwasraya lebih cepat. Ketiga, lalu bagaimana mengelola krisis berupa potensi risiko reputasi itu? Menurut EIU, terdapat 3C untuk mengelola krisis semacam itu. Pertama, keprihatinan (concern). Perusahaan harus mengakui bahwa sesuatu telah berjalan tidak benar dan menyampaikan penyesalan dan keprihatinan. Kedua, komitmen (commitment). Perusahaan harus menyatakan komitmen memperbaiki masalah dan menjelaskan secara terinci apa yang akan dilakukan. Ketiga, kontrol (control). Pejabat perusahaan perlu menunjukkan bahwa mereka mampu mengendalikan situasi dan bekerja dengan otoritas terkait untuk memastikan bahwa kasus itu tidak akan terulang lagi. Keempat, cepat atau lambat, kasus itu akan membebani industri perasuransian nasional dengan potensi risiko reputasi ke depan. Sekiranya tidak ditangani segera, kasus Jiwasraya dapat menggelinding bagai bola salju yang semakin lama semakin membesar. Akibatnya, tingkat literasi asuransi (insurance literacy) masyarakat Indonesia yang masih rendah itu akan makin sulit untuk diangkat lebih tinggi. Inilah tantangan serius bagi OJK sebagai regulator sektor jasa keuangan untuk tiada henti melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai perasuransian nasional. Akan lebih menantang dan menarik ketika upaya itu bukan saja memberi bekal ilmu pengetahuan tentang madu (manfaat) yang legit, melainkan juga tentang racun (potensi risiko) yang mengancam. Kelima, bisa saja terjadi produk asuransi akan menjadi kurang menarik di mata calon konsumen (nasabah dan investor). Jangan lupa, selama ini produk asuransi tak hanya menawarkan proteksi, tetapi juga investasi. Sebut saja, unit link yang merupakan produk asuransi yang menggabungkan dua produk keuangan, yakni asuransi dan investasi. Dana nasabah akan ditempatkan dalam dua wadah, yakni sebagian masuk ke premi asuransi sebagai proteksi. Sebagian dana lagi masuk ke produk investasi yang dikelola perusahaan asuransi. Karena itu, jauh-jauh hari sebelum membeli produk asuransi, konsumen wajib mengenal, memahami, dan meneliti dengan cermat produk asuransi apalagi asuransi plus investasi. Umumnya, konsumen malas membaca dan memahami semua syarat dan ketentuan yang dimuat dalam setiap pasal polis asuransi. Keenam, produk asuransi yang dipasarkan dan dijual melalui bank (bancassurance) bisa melempem. Padahal kerja sama itu menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan asuransi menikmati penjualan produk yang menjulang tinggi, sedangkan bank meneguk margin nilai penjualan itu. Sejauh mana laju bancassurance? Pada kuartal III-2019, total pendapatan industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan 14,7 persen secara tahunan dari Rp 149,87 triliun kuartal III-2018 menjadi Rp 171,83 triliun kuartal III-2019. Total pendapatan premi tumbuh 2 persen dari Rp 140,94 triliun menjadi Rp 143,77 triliun. Bancassurance memiliki kontribusi terbesar 41,8 persen terhadap total pendapatan premi kemudian diikuti kontribusi keagenan 39,9 persen dan alternatif lain 18,4 persen (Kontan.co.id, 11/12/2019). Setelah proses hukum Ketujuh, pertanyaan besarnya apakah kasus Jiwasraya akan selesai segera setelah proses hukum selesai? Belum! Lugasnya, Jiwasraya tetap harus memenuhi kewajiban dengan membayar semua hak konsumen yang mencapai Rp 12,4 triliun per Desember 2019. Kepastian pembayaran itu, meski secara bertahap, harus disampaikan pada kesempatan pertama. Hal itu untuk memberikan jaminan kepada konsumen untuk menekan potensi risiko reputasi yang terus mengaum kencang. Ingat bahwa awalnya risiko reputasi tak bersentuhan dengan kerugian keuangan, tetapi pada akhirnya akan menyerap banyak kerugian keuangan. Mengapa? Lantaran, upaya membangun kembali reputasi sungguh tidak mudah. Dengan bahasa lebih bening, upaya tersebut menelan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Kedelapan, jangan sampai kasus Jiwasraya melahirkan risiko sistemik. Risiko sistemik adalah risiko gangguan terhadap jasa keuangan yang disebabkan oleh penurunan semua atau bagian sistem keuangan dan memiliki potensi untuk memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi ekonomi riil (Dana Moneter Internasional/IMF). Harap catat bahwa risiko sistemik berbeda dari sistem sistematik yang lebih merupakan risiko pasar seperti kenaikan suku bunga dan inflasi. Hal itu bisa mengganggu ketahanan pasar keuangan termasuk iklim investasi. Padahal, pemerintah sedang meningkatkan derasnya investasi asing ke Tanah Air. Namun, saya yakin kasus Jiwasraya tidak akan menimbulkan risiko sistemik. Untuk itu, perlu segera dibentuk semacam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk industri perasuransian. Penjaminan asuransi itu merupakan salah satu langkah jitu untuk mengerek tingkat kepercayaan pasar yang sedang anjlok sekaligus mitigasi risiko likuiditas. Berbekal aneka langkah strategis demikian, Jiwasraya dan industri perasuransian nasional amat diharapkan dapat segera bangkit kembali. (Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)