Angka pertumbuhan internet dan transaksi elektronik di Indonesia yang signifikan sebenarnya menunjukkan urgensi bagi pemerintah dan pelaku usaha membangun ekosistem ekonomi digital berperspektif perlindungan konsumen. OlehB LINTANG SETIANTI   Ponsel pintar dengan segala aplikasinya telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat modern. Misalnya, kita mengawali hari dengan berolahraga menggunakan aplikasi untuk mengukur detak jantung dan jarak tempuh, menggunakan jasa transportasi berbasis aplikasi untuk menuju tempat kerja atau sekolah atau jasa transportasi publik dengan metode pembayaran berupa uang elektronik. Kemudian, makan siang dengan jasa pemesanan makanan online dengan sejumlah reward serta berkomunikasi dengan keluarga dan rekan kerja. Tak jarang juga pembayaran pajak dan asuransi, serta berbelanja kebutuhan harian keluarga, hingga mendaftar pekerjaan dapat dilakukan dengan genggaman dalam jaringan internet. Tentu aktivitas itu menunjukkan bagaimana teknologi berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan. Konsekuensinya, jejak digital konsumen, termasuk data pribadi, juga tersebar oleh berbagai pihak, termasuk dengan mudah ditelusuri oleh perusahaan. Pertanyaannya, mungkinkah kita menikmati kemajuan teknologi tanpa harus menumbalkan privasi kita? Tentu aktivitas itu menunjukkan bagaimana teknologi berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan. Konsekuensinya, jejak digital konsumen, termasuk data pribadi, juga tersebar oleh berbagai pihak, termasuk dengan mudah ditelusuri perusahaan. Demografi ekonomi digital Indonesia memang sangat bonafide. Berdasarkan data We Are Social (2019), setiap hari, rata-rata masyarakat Indonesia mengakses internet selama 8 jam 36 menit. Dalam konteks konsumsi digital, 93 persen masyarakat Indonesia mencari produk yang ingin dikonsumsinya melalui internet, dan 86 persen membeli produk dan jasa di semua perangkat. Di balik angka-angka tersebut, terdapat konsekuensi dan tuntutan lain, yakni melindungi data pribadi konsumen sebagai hak privasi. Studi The Economist (2018) menunjukkan, banyak perusahaan mendapatkan keuntungan dari data yang dikumpulkan. Investasi dalam teknologi baru akan terus bertumbuh, membuat data menjadi penting dalam pengambilan keputusan. Menjaga privasi tetap menjadi perhatian utama karena perusahaan berusaha mendapatkan lebih banyak keuntungan dari data mereka. Hanya 34 persen dari eksekutif mengatakan bahwa perusahaan mereka sangat efektif dalam bersikap transparan dengan pelanggan tentang bagaimana mereka menggunakan data mereka. Sementara 9 persen mengaku ”agak” atau ”sama sekali tak efektif”, yang berarti regulator sudah seharusnya tetap waspada pada bidang ini. Hak konsumen Secara sederhana, hukum perlindungan data pribadi memberikan perlindungan hukum bagi data yang bersifat personal atau yang merupakan data pribadi suatu individu. Selain istilah data pribadi yang umumnya digunakan negara-negara Uni Eropa, beberapa negara, seperti AS, Kanada, dan Australia, menggunakan istilah informasi pribadi (personally identifiable information) untuk mendefinisikan jenis data yang bersifat personal ini (Wahyudi Djafar, 2016). Indonesia sendiri memilih mengadopsi istilah ”data pribadi” sebagaimana terlihat dalam RUU Pelindungan Data Pribadi. Sayangnya, dalam konteks hak konsumen, data privasi belum menjadi salah satu poin yang diakui. ”Data is New Oil” sebagai jargon favorit dalam narasi pembangunan ekonomi digital menunjukkan bagaimana data diperlakukan sebagai energi baru. Padahal, dalam konteks HAM, pemanfaatan data harus melindungi privasi. Hak ini dikenal dengan terminologi, seperti hak penghormatan atas privasi atau kehidupan pribadi (keluarga), jaminan perlindungan atas rumah dan tidak adanya intervensi sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). ’Data is New Oil’ sebagai jargon favorit dalam narasi pembangunan ekonomi digital menunjukkan bagaimana data diperlakukan sebagai energi baru. Padahal, dalam konteks HAM, pemanfaatan data harus melindungi privasi. Dalam konteks kehidupan digital yang terhubung dengan internet, pemanfaatan informasi data pribadi sebagai salah satu aset untuk pengembangan teknologi harus menguatkan perlindungan terhadap konsumen. Konsep perlindungan data pribadi sebenarnya berasal dari hak privasi yang keduanya merupakan instrumen penting dalam perlindungan dan mempromosikan nilai-nilai fundamental hak asasi yang menguji penikmatan hak lain, termasuk kebebasan berekspresi dan berkumpul. Data dikumpulkan setiap kali kita menggunakan internet, baik melalui komputer, ponsel pintar, maupun serangkaian alat elektronik dengan sensor mampu merekam informasi. Data tersebut kemudian dinilai sebagai sebuah aset yang dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi ataupun perluasan pasar. Kebocoran data konsumen dan analisisnya akan memengaruhi persaingan usaha karena pihak pesaing dapat dengan mudah membaca pasar lawan. Dalam arti lain, perlindungan konsumen, khususnya dalam hal data, berkaitan sebagai kunci dalam penikmatan hak asasi lainnya serta kebutuhan pasar dan persaingan usaha. Entitas bisnis memiliki tanggung jawab dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Salah satu unsur penting dalam pengelolaan data pribadi adalah persetujuan konsumen sebagai bentuk kendali atas datanya. Melalui kebijakan privasi, perusahaan menjelaskan operasional bisnisnya dalam pemanfaatan data yang dilakukan. Sebab dalam kebijakan tersebut, konsumen diberitahukan mengenai hak-hak konsumen dan proses pengolahan data dalam produk dan layanannya. Dengan demikian, cermin komitmen perusahaan dalam melindungi privasi konsumennya bermula dari penyusunan kebijakan privasi. Memberikan informasi kepada konsumen adalah tugas penting perusahaan. Konsumen harus diberitahukan dengan jelas mengenai kebijakan privasi atas produk atau layanan yang digunakannya, termasuk hak-hak yang dimiliki konsumen berkaitan dengan kebijakan tersebut. Memberikan informasi kepada konsumen adalah tugas penting perusahaan. Dengan demikian, konsumen yang memiliki informasi cukup dapat memberikan persetujuan untuk memberikan datanya guna menikmati layanan dan produk yang ditawarkan perusahaan. Pemberian persetujuan ini merupakan salah satu alternatif justifikasi suatu pihak mengelola data tertentu. Adapun persetujuan yang diberikan kepada konsumen harus diberikan secara bebas, spesifik, berdasarkan informasi yang memadai dan tak ambigu.  Persetujuan harus dinyatakan tak valid ketika terdapat situasi ketidakseimbangan antara konsumen sebagai pemilik data dan pengontrol data. Pemberitahuan terkait kebijakan privasi untuk memberikan persetujuan dari konsumen tak boleh menimbulkan ”kelelahan” yang berpengaruh pada psikologis konsumen yang mendorong memberikan persetujuannya tanpa kesadaran dan informasi yang utuh. Dengan demikian, dari penyusunan kebijakan privasi sangat signifikan dalam membangun ekosistem bisnis digital yang menyadarkan konsumen akan kendalinya atas data privasi. Adapun persetujuan yang diberikan kepada konsumen harus diberikan secara bebas, spesifik, berdasarkan informasi yang memadai dan tak ambigu. Tanggung jawab perusahaan Terdapat dua alasan untuk memperkuat peran korporasi dalam hal mendayagunakan internet, termasuk menjamin perlindungan data pribadi. Pertama, sektor privat merupakan pihak yang kuat yang berpartisipasi dalam memberikan standar arsitektur internet sehingga memiliki pengaruh langsung bagi kemungkinan untuk menginkorporasi prinsip-prinsip HAM dalam pengambilan kebijakan. Kedua, korporasi juga mampu meregulasi pengguna selama beraktivitas dalam jaringannya melalui klausa kontrak yang dapat sama persis dengan norma hukum yang berlaku di teritori pengguna berada. Dengan demikian, perusahaan dalam kegiatan bisnisnya memiliki tanggung jawab dalam penghormatan HAM. Jika mengacu pada tren global, beberapa upaya telah dilakukan, baik pada tingkat regional maupun internasional, dalam rangka memperkuat perlindungan hak privasi. Misalnya, sejak era awal migrasi teknologi konvensional ke digital, tahun 1990 PBB telah memublikasikan Panduan tentang Komputerisasi Dokumen Terkait Data Pribadi, yang menegaskan bahwa informasi pribadi seorang individu tak dapat dikumpulkan atau diproses secara melawan hukum dan tak adil. Lebih lanjut pada 2017, Sekretaris Jenderal PBB meluncurkan inisiatif Global Pulse tentang Big Data. Inisiatif ini memiliki fungsi untuk membangun jaringan inovatif laboratorium data yang bergerak di bidang big data untuk pembangunan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, angka pertumbuhan internet dan transaksi elektronik di Indonesia yang signifikan sebenarnya menunjukkan urgensi bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam membangun ekosistem ekonomi digital yang memiliki perspektif perlindungan privasi konsumen. Dengan memperkuat rezim perlindungan data privasi, Indonesia tidak hanya menjadi pasar besar dalam menyumbang data untuk membangun teknologi, tetapi juga mengembangkan langkah ekonomi digital yang sehat dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa menciderai hak-hak warganya. (B Lintang Setianti, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, Jakarta)