Bahasa daerah digunakan oleh masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia, tetapi kini terancam punah. Untuk itu dibutuhkan upaya pelestarian di lingkungan masyarakat.
Oleh DEDY AFRIANTO
Jauh sebelum bahasa Melayu digunakan sebagai basantara atau bahasa pengantar, bahasa daerah merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia. Kini, sejumlah bahasa daerah terancam punah. Butuh upaya pelestarian di lingkungan formal dan informal agar bahasa daerah tetap dapat lestari sebagai identitas bangsa.
Indonesia memiliki 750 bahasa daerah yang tersebar di 34 provinsi pada 2018. Jika menilik berdasarkan sebaran wilayah, Maluku dan Papua adalah daerah dengan jumlah bahasa terbanyak dibandingkan daerah lainnya.
Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2018 terdapat 466 bahasa daerah di Maluku dan Papua. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan total bahasa daerah di wilayah lainnya di Indonesia, seperti Kalimantan (68), Sulawesi (67), Sumatera (47), dan Jawa (17).
Bahasa daerah bukanlah bahasa baru yang ada di Indonesia. Sebagai alat komunikasi, bahasa daerah telah digunakan jauh sebelum Indonesia merdeka. Seiring menguatnya identitas persatuan, banyak kata dalam bahasa daerah yang akhirnya melebur menjadi bahasa Indonesia yang kini digunakan sebagai basantara atau lingua franca.
Namun, memasuki tiga perempat abad usia Indonesia, bahasa daerah nyatanya tidak selalu digunakan dan dimengerti oleh masyarakat di sejumlah wilayah, terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 12 hingga 13 Februari lalu terhadap 530 responden pada 17 kota di Indonesia.
Dalam jajak pendapat ini, sebanyak satu dari empat responden menyatakan tidak menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Sementara 58,3 persen responden lainnya menggunakan bahasa campuran antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Hanya 16,2 persen responden yang menggunakan bahasa daerah secara penuh dalam percakapan sehari-hari.
Jika menilik berdasarkan klasifikasi usia, responden berusia di atas 53 tahun adalah generasi yang paling banyak menggunakan bahasa daerah. Sebanyak 22,3 persen responden dari kelompok usia ini menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Sementara 55,4 persen responden lainnya menggunakan bahasa campuran antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Kondisi yang berbeda terlihat pada generasi milenial muda atau responden yang berusia di bawah usia 30 tahun. Hanya 7,5 persen responden dari generasi ini yang menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Sementara hampir dua per tiga di antaranya menggunakan bahasa campuran antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Banyaknya penggunaan bahasa campuran pada kelompok milenial muda bisa jadi disebabkan oleh penggunaan bahasa Indonesia di sekolah atau perkantoran mengingat kategori generasi ini adalah kelompok usia pelajar atau masa awal usia produktif dalam bekerja.
Alasan
Khususnya bagi responden yang tidak menggunakan bahasa daerah, terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi. Alasan terbesar adalah tidak menguasai bahasa daerah sejak kecil yang diungkapkan oleh separuh responden. Ini mengindikasikan adanya persoalan regenerasi penutur bahasa daerah.
Faktor lainnya adalah perpindahan atau migrasi penduduk. Sebanyak satu dari tiga responden beralasan tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari karena alasan ini.
Perpindahan penduduk memang menjadi salah satu penyebab hilangnya penutur jati pada suatu bahasa daerah. Pada daerah tujuan, mereka biasanya akan menggunakan bahasa Indonesia dan hanya akan menggunakan bahasa daerah jika bertemu dengan rekan atau keluarga yang berasal dari daerah yang sama.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan bahasa daerah tidak lagi digunakan adalah perkawinan antaretnis. Sebanyak 14,1 persen responden tidak lagi menggunakan bahasa daerah karena alasan ini.
Penggunaan bahasa daerah memang sulit dilakukan dalam perkawinan antaretnis. Bahasa Indonesia biasanya akan menjadi pilihan utama sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa ini dapat mengalami perubahan sesuai daerah domisili dan lama menetap pada suatu daerah.
Upaya pelestarian
Banyaknya faktor yang menyebabkan tidak digunakannya bahasa daerah dalam percakapan sehari tentu menjadi lampu kuning bagi eksistensi bahasa daerah sebagai bagian dari identitas bangsa. Partisipasi aktif dari berbagai pihak diperlukan agar bahasa daerah tidak punah seiring memudarnya batas-batas wilayah di era globalisasi.
Penggunaan bahasa daerah telah mendapatkan perhatian dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pada Pasal 32 Ayat 2 dalam UUD disebutkan, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pelestarian bahasa daerah juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Dalam aturan ini, kepala daerah bertugas melaksanakan pelestarian dan pengembangan bahasa daerah. Kepala daerah juga bertugas melaksanakan sosialisasi penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan pelestarian dan pengembangan seni budaya.
Namun, upaya pelestarian bahasa daerah tampaknya masih perlu dilakukan secara lebih masif. Pasalnya, menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2018 terdapat 22 bahasa daerah yang masuk kategori terancam punah. Bahasa daerah yang masuk kategori ini tersebar di beberapa daerah, seperti Maluku, Papua, hingga sebagian wilayah di Sulawesi, Sumatera, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk melestarikan bahasa daerah adalah dengan menggunakannya dalam lingkungan keluarga. Dalam jajak pendapat, 52,6 persen responden berpendapat bahwa penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga inti adalah cara utama yang paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Irwan Abdullah dalam buku Bahasa Nusantara: Posisi dan Penggunaannya Menjelang Abad ke-21 (1999) menuliskan, bahasa daerah memang dominan digunakan di dalam lingkungan keluarga karena didukung oleh situasi yang santai dan akrab. Artinya, lingkungan keluarga dapat menjadi gerbang utama dalam pelestarian bahasa daerah.
Namun, bahasa daerah nyatanya tidak selalu digunakan dalam lingkungan keluarga, khususnya bagi para perantau di perkotaan. Meski memiliki pasangan dari daerah yang sama, bahasa daerah tidak selalu digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, terutama kepada sang anak.
Menurut Irwan, kondisi ini terjadi pada lingkungan keluarga dengan latar status sosial dan pendidikan tinggi. Bahasa Indonesia dipilih agar sang anak terbiasa menggunakannya saat pelajaran di sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Latar belakang sosial turut menentukan tingkat penggunaan bahasa daerah. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat. Responden yang bekerja pada sektor formal, seperti PNS, pegawai BUMN, dan karyawan swasta, lebih sedikit menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari dibandingkan dengan responden dari kalangan informal, seperti ibu rumah tangga, buruh, petani, dan pensiunan.
Upaya pelestarian selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran di setiap daerah. Hal ini dinilai oleh 34 persen responden sebagai upaya yang paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah.
Hingga saat ini belum setiap daerah memiliki kurikulum pelajaran bahasa daerah. Padahal, jika Indonesia memiliki 750 bahasa daerah, seharusnya terdapat 750 mata pelajaran bahasa daerah yang diajarkan pada daerah masing-masing.
DKI Jakarta, misalnya, yang seharusnya memiliki kurikulum pelajaran bahasa dan kebudayaan Betawi. Hal serupa juga dibutuhkan oleh Kepulauan Mentawai. Meski berada pada wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat, bahasa yang digunakan penduduk di Kepulauan Mentawai bukanlah bahasa Minang sehingga butuh upaya pelestarian agar bahasa tersebut tak punah di wilayah kepulauan.
Selain sebagai kurikulum, bahasa daerah juga dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan formal. Dalam Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan keterampilan tertentu. Aturan ini dapat menjadi gerbang bagi penggunaan bahasa daerah di lingkungan pendidikan.
Upaya pelestarian lainnya juga dapat dilakukan dengan menggunakannya dalam kegiatan formal, seperti rapat, upacara, hingga kegiatan keagamaan. Semakin sering bahasa daerah digunakan, maka semakin besar kemungkinan bahasa daerah terus eksis di ruang publik.
Tentu, bahasa daerah digunakan tanpa harus mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, seperti yang pernah didengungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Jika ini dilakukan, Indonesia dapat melestarikan bahasa daerah sebagai warisan identitas bangsa. Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional setiap 21 Februari semestinya tak hanya menjadi seremonial belaka, tetapi harus diikuti oleh tindakan nyata untuk melakukan regenerasi penutur jati bahasa daerah. Tentu dimulai dari kita. (LITBANG KOMPAS)