Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JK-KIS tahun 2020 tetap berlaku kendati menuai pro dan kontra. Oleh karina isna irawan 18 Februari 2020 17:50 WIB · 4 menit baca             Kompas/Priyombodo Pasien menjalani cuci darah atau hemodialisis di Klinik Hemodialisis Tidore, Cideng, Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020). BPJS Kesehatan bersama fasilitas kesehatan mitra kerja mengimplementasikan kemudahan layanan bagi pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang rutin menjalani cuci darah melalui pemindai sidik jari tanpa perlu membuat surat rujukan kembali. JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JK-KIS tahun 2020 tetap berlaku kendati menuai pro dan kontra. Langkah ini diambil untuk mempersempit gap antara iuran dan biaya layanan yang terjadi bertahun-tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (18/2/2020), mengatakan, kebijakan untuk meningkatkan iuran JKN-KIS tidak serta-merta ditempuh. Kenaikan iuran dilakukan karena defisit keuangan Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terjadi secara struktural. Tarif iuran JKN-KIS yang dibayar jauh lebih rendah ketimbang manfaat layanan kesehatan. Gap antara iuran dan layanan tersebut dibarengi rendahnya kemampuan BPJS Kesehatan memungut iuran. Kemampuan memungut iuran BPJS Kesehatan hanya 60 persen. ”Persoalan defisit struktural mendasari pemerintah meningkatkan iuran JKN-KIS. Di sisi lain, peraturan pengganti undang-undang mengizinkan kenaikan iuran setiap dua tahun sekali,” kata Sri Mulyani dalam rapat panitia kerja khusus bersama DPR RI, Selasa (18/2/2020), di Jakarta. Gap antara iuran dan layanan tersebut dibarengi rendahnya kemampuan BPJS Kesehatan memungut iuran. Kemampuan memungut iuran BPJS Kesehatan hanya 60 persen.   KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN (Tengah kiri dan kanan) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani seusai rapat panitia kerja khusus bersama DPR RI, Selasa (18/2/2020), di Jakarta. Iuran peserta bukan penerima upah kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Adapun iuran peserta penerima upah badan usaha dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Untuk peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah yang diterima (Kompas, 28/8/2019). Sri Mulyani menambahkan, pemerintah tetap hadir kendati ada kenaikan iuran JKN-KIS. Alokasi anggaran penerima bantuan iuran JKN-KIS meningkat dari 26,7 triliun pada 2019 menjadi Rp 48,8 triliun pada 2020. Peserta penerima bantuan iuran pada 2020 sama dengan 2019, yaitu 96,8 juta jiwa. Baca juga: Antisipasi Dampak Kenaikan JKN-KIS Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengemukakan, selama ini defisit BPJS Kesehatan ditengarai adanya gap antara iuran dan biaya per kapita. Pada 2019, rata-rata iuran peserta sebesar Rp 36.700 per orang, sementara rata-rata biaya kesehatan Rp 50.700 per orang. Untuk itu, dibutuhkan upaya fundamental guna mencegah defisit melebar. Salah satunya menaikkan iuran peserta program JKN-KIS. ”Kenaikan premi per orang per bulan itu menjadi opsi paling memungkinkan mempersempit gap antara iuran dan biaya. Jika tidak, defisit BPJS Kesehatan pada 2019-2024 berpotensi melebar,” ujarnya.   Kompas/Priyombodo Poster protes buruh yang berunjuk rasa di sekitar gedung parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019). Unjuk rasa yang berlangsung damai ini menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meminta revisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dan menolak kenaikan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Mengutip data BPJS Kesehatan, defisit BPJS Kesehatan tersebut berpotensi melebar selama periode 2019-2024. Rinciannya, defisit pada 2019 sebesar Rp 32,8 triliun menjadi Rp 39,5 triliun (2020), Rp 50,1 triliun (2021), Rp 58,6 triliun (2022), Rp 67,3 triliun (2023), dan Rp 77,9 triliun (2024). Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Perbaikan Layanan Dituntut Komprehensif Pro kontra Kenaikan iuran JKN-KIS menuai pro kontra antara pemerintah dan parlemen. Dewan Perwakilan rakyat (DPR) meminta kenaikan iuran berlaku setelah pemerintah melakukan pembersihan dan pemutakhiran data peserta JKN-KIS, terutama data penerima bantuan iuran. DPR juga mengajukan pembatalan kenaikan iuran pada 2020. Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, pembersihan dan pemutakhiran data harus segera dilakukan. Jika tidak, persoalan defisit BPJS Kesehatan akan terus berulang setiap tahun tanpa solusi konkret. Dari audit BPKP, ada sekitar 30 juta data penerima bantuan iuran JKN-KIS yang dinilai abu-abu. ”Di sisi lain, ada 19,9 juta peserta bukan penerima upah atau peserta kelas 3 yang bisa masuk penerima bantuan iuran,” kata Puan.     KOMPAS/DEONISIA ARLINTA Data kepesertaan JKN-KIS. Pemutakhiran data peserta JKN-KIS diharapkan selesai dalam 2-3 bulan mendatang. Kenaikan tarif iuran justru jangan menciptakan ketidakadilan. Karena itu, basis data akurat dibutuhkan agar kebijakan benar-benar tepat sasaran. Selain itu, perbaikan internal BPJS Kesehatan juga harus dilakukan secara komprehensif. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menambahkan, pemutakhiran data peserta akan dilakukan secepatnya bersama kementerian/lembaga terkait. Jika ada data penerima bantuan iuran terbukti banyak duplikat atau usang, pemerintah akan memasukkan sebagian peserta kelas tiga sebagai pengganti. ”Pasti ada yang seharusnya masuk tetapi tidak, atau yang seharusnya keluar tetapi masuk. Masalah ini akan diperkecil,” ujar Muhadjir.