Memindai Korona di Lintasan Jalur Sutra Pola mobilitas bangsa China di masa lalu lewat jalur suteranya, agaknya membekas sampai sekarang. Mobilitas ini boleh jadi turut membangun pola yang sama pada penyebaran SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. OlehAGUSTINA PURWANTI 27 Maret 2020 08:09 WIB·6 menit baca TEKS     AP PHOTO/ANDY WONG Seorang pekerja membawa kotak barang berjalan oleh wanita memilih tas di sebuah bangunan komersial di Beijing, Jumat, 18 Oktober 2019. Memasuki awal tahun ini, penduduk dunia tengah disibukkan dengan virus korona baru atau SARS CoV-2 yang menjadi penyebab penyakit Covid-19. Saat ini, upaya melawan SARS CoV-2 makin ramai di kalangan masyarakat, termasuk di Indonesia, hingga ke daerah-daerah. Pasalnya, setelah lebih kurang tiga bulan berselang, rantai virus ini tak kunjung terputus, namun justru makin menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bila ditelusuri lebih dalam, virus ini menyebar dari timur ke barat, dari Asia menuju ke Eropa dan Amerika. Mengacu laporan harian yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 21 Januari 2020, hingga 20 Januari 2020 SARS-CoV-2 baru mewabah di wilayah Asia. Empat negara pertama yang melaporkan kasus Covid-19 ini adalah China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Jumlah kasus hingga 20 Januari 2020 sebanyak 282 kasus. Namun demikian, data yang dipublikasikan WHO pada 23 Maret 2020 menunjukkan sebanyak penduduk 332.930 dunia terjangkit Covid-19. Pola persebarannya pun berbeda dari awal virus ini mewabah. Angka tersebut masih terus bergerak naik. Data termutakhir Johns Hopkins kemarin, 26 Maret 2020 pukul 17.21, menunjukkan Covid-19 telah menjangkiti 480.446 penduduk dunia. Temuan Covid-19 terbanyak ada di China (81.782 kasus). Menyusul pada urutan berikutnya secara berturut-turut adalah Italia 74.386 kasus), kemudian Amerika Serikat (AS) sebanyak 69.197 kasus. Temuan kasus Covid-19 di urutan keempat dan seterusnya berturut-turut ada di Spanyol, Jerman, Iran, Perancis, Korea Selatan, Swiss dan Inggris. Kini, Eropa menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak. Sebanyak lebih kurang separuh dari total temuan kasus covid-19 di dunia terkonfirmasi di kawasan ini.   Jalur Sutera Pola persebaran Covid-19, menunjukkan adanya kemiripan dengan pola perdagangan kuno sebelum masehi (SM). Para pedagang Tiongkok pada abad ke-1 SM, menempuh perjalanan lebih kurang 6.000 kilometer menuju Eropa, melewati berbagai negara yang terhubung melalui jalur sutera. Disebut jalur sutera karena sutera menjadi komoditas utama yang diperdagangkan kala itu. Mengacu publikasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), sutera adalah tekstil yang diproduksi oleh China kuno pada saat itu, dikembangkan menurut tradisi China sekitar tahun 2.700 SM. Sutera menjadi produk yang bernilai tinggi dan menjadi barang eksklusif untuk Kekaisaran China, bahkan proses  produksinya pun dirahasiakan. Beberapa contoh karya sutera yang luar biasa ada di sebuah makam di Provinsi Hubei, China. Sutera yang diproduksi oleh China juga digunakan sebagai hadiah diplomatik dan mulai diperdagangkan. Pertama kali diperdagangkan kepada tetangga dekat, dan mulai menjadi komoditas ekspor unggulan China, di bawah Dinasti Han (206 SM – 220 SM). Pada abad ke-1 SM, sutera mulai diperdagangkan ke Eropa kepada Kekaisaran Romawi dan diperkenalkan sebagai lambang kemewahan. China berhasil memperdagangkan sutera secara lebih luas. Dalam proses perjalanan menuju Eropa, China menggunakan jalur maritim. Salah satu wilayah yang dillewati pada masa itu adalah Indonesia, melalui Selat Malaka. Dalam perjalanannya, bukan hanya sutera yang diperdagangkan, rempah turut menjadi komoditas yang unggul saat itu. Di sinilah peran Indonesia pada jalur sutera, karena komoditas rempah berasal dari Pulau Maluku, Indonesia. Bukan hanya Indonesia, namun India, Sri Lanka, Kenya, dan Mesir turut menjadi negara yang dilewati dalam perjalanan tersebut. Hingga akhirnya, jalur sutera bukan hanya menjadi jalur perdagangan, namun juga menjadi jalur peradaban, pertukaran ilmu dan budaya. Penamaan jalur sutera tersebut sebenarnya baru muncul pada abad ke-19, oleh ahli geologi Jerman, Baron Ferdinand von Richthofen.       Bila ditelusuri lebih dalam, virus ini menyebar dari timur ke barat, dari Asia menuju ke Eropa dan Amerika.       Baca juga: Jalur China Mengikat Dunia Pola Perdagangan Setelah beberapa abad berlalu, hubungan erat antara China dan kawasan Eropa masih terjalin. Hal tersebut dibuktikan melalui neraca perdagangan keduanya. Mengacu pada publikasi Statista, Uni Eropa menduduki peringkat pertama mitra dagang ekspor China. Tahun 2019, ekspor China ke negara-negara Uni Eropa sebesar 17,2 persen dari total ekspor China tahun tersebut. Kemudian disusul oleh AS, negara-negara ASEAN, Hong Kong, dan Jepang. Sejalan dengan itu, China memang menjadi pemasok utama barang impor di Uni Eropa. Publikasi Direktorat Perdagangan Eropa menunjukkan bahwa 18,7 barang impor Uni Eropa dipasok oleh China pada tahun 2019. AS menjadi pemasok ke-2 barang impor di Uni Eropa, dengan kontribusi sebesar 12 persen. Kemudian Inggris sebagai pemasok ketiga dengan kontribusi sebesar 10 persen dari total impor Uni Eropa. Begitupun sebaliknya, China juga menjadi negara ke-3 tujuan eskpor Uni Eropa dengan kontribusi 9,3 persen dari total ekspor Uni Eropa pada tahun yang sama. Boleh jadi, perdagangan yang dimulai China pada zaman kuno mengantarkan China pada pengenalan oleh dunia. Keberhasilannya menjelajah dunia kala itu terus diadopsi hingga saat ini. Terbukti dengan adanya wacana bahwa China akan membuat jalur sutera baru. Pada tahun 2013, Presiden China, Xi Jinping mengusulkan sabuk ekonomi jalan sutera dan jalur sutera maritim abad ke-21 yang disebut dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) (Kompas, 15/5/2017). Hal ini bertujuan untuk mengingat upaya para pendahulu yang telah membuka jalur antarbenua, serta dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.   Baca Juga: Babak Baru Ketidakpastian Ekonomi 2020 Pergerakan Manusia Bukan hanya perdagangan yang diwariskan oleh jalur sutera pada zaman kuno, ilmu dan kebudayaan turut mengundang keberlanjutan pergerakan manusia. Pada dasarnya, manusia memang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Apalagi di tengah globalisasi dan kecanggihan teknologi yang turut diadopsi untuk meningkatkan transportasi, membuat manusia semakin mudah melakukan pergerakan. Semakin meningkatnya taraf hidup masyarakat, boleh jadi juga meningkatkan mobilitasnya, bahkan antar negara, termasuk oleh China dan Eropa. Pergerakan ini salah satunya melalui perjalanan wisata. China, negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dengan tingkat perekonomian yang kian meroket, memungkinkan adanya mobilitas yang tinggi. Sejalan dengan pergerakan pada zaman kuno yang melahirkan jalur sutera, demikian juga perjalanan penduduk China saat ini. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), terdapat 158,6 juta wisatawan dunia yang berkunjung ke China pada tahun 2018. Sebagian besar wisatawan berasal dari Asia Timur dan Asia Pasifik, 146,01 juta wisatawan. Sementara Eropa menjadi kawasan terbesar ke-2 yang mengunjungi China. Pada periode yang sama, sebanyak 6,53 juta wisatawan Eropa datang ke China atau 4,12 persen dari total wisatawan dunia. Begitupun sebaliknya, mengacu pada publikasi Statista, jumlah wisatawan China yang berkunjung ke Uni Eropa cenderung meningkat. Tahun 2012, jumlah wisatawan asal China yang berkunjung ke Uni Eropa sebanyak 5,29 juta orang. Seiring bertambahnya penduduk, peningkatan taraf hidup, dan kemajuan transportasi, jumlah  pengunjung China ke Eropa mencapai 14,48 juta orang pada tahun 2018.     Yang menarik adalah, pada pertengahan tahun pertama 2019, salah satu kota dari China yang masuk 10 besar pengunjung Eropa adalah Kota Wuhan. Kini, kota Wuhan menjadi pusat pandemi Covid-19 yang tengah diperangi oleh dunia. Melihat pola perdagangan dan mobilitas antar penduduk di benua Asia dan Eropa ini, tak mengherankan jika penyebaran virus korona baru pada akhirnya memuncak di dua sisi dunia. Di timur adalah China, dan di Barat adalah Eropa. Tak dapat dimungkiri bahwa pergerakan manusia yang masif ini membawa SARS-CoV-2 kini merajalela di seluruh belahan dunia, seiring dengan penyebarannya melalui perantara manusia. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan memerangi virus yang mematikan ini. Sebab, bukan hanya mematikan nyawa, namun juga ekonomi dan peradaban dunia. (LITBANG KOMPAS)