Covid-19, Antara Karantina dan Tes Cepat Presiden Joko Widodo dituntut mengimbangi dinamika pemulihan kebutuhan dan kesehatan masyarakat di tengah tuntutan penerapan karantina wilayah. Oleh SULTANI   Merebaknya virus korona baru penyebab Covid-19 di tengah upaya percepatan investasi merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Boleh jadi, ini adalah ”serangan nonpolitik” terberat selama Presiden Jokowi memimpin negeri ini. Presiden kini dituntut mengimbangi dinamika pemulihan kebutuhan dan kesehatan masyarakat di tengah tuntutan penerapan karantina wilayah. Langkah pemerintah yang mengevakuasi 243 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Wuhan (2/2/2020) seiring mengganasnya serangan virus korona baru merupakan reaksi pemerintah menghadapi kebijakan Pemerintah China yang sudah menutup kota tersebut. Pemerintah kemudian menempatkan 243 WNI itu di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, sebagai lokasi observasi dan karantina. Setelah peristiwa evakuasi ini, hampir tidak terdengar pemaparan strategi pemerintah untuk mencegah penyebaran virus korona baru secara sistemik. Ketika Komisi Kesehatan Publik Wuhan melaporkan sebuah wabah penyakit mirip pneumonia merebak pada pengujung tahun 2019, Pemerintah Indonesia sedang menggodok sebuah kebijakan investasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi investasi tingkat dunia membuat pemerintah cenderung abai terhadap potensi menyebarnya virus korona baru. Tatkala negara-negara di belahan dunia lain mulai menutup diri, Pemerintah Indonesia masih melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan investasi dengan cara membuka diri bagi para investor dan wisatawan asing. Baca juga : Stimulus Global Meredam Dampak Korona Meski berdampak baik terhadap pendapatan negara, kebijakan membuka keran bagi para investor dan wisatawan asing ke Indonesia ini ternyata berisiko menjadi bom waktu peningkatan jumlah kasus infeksi virus korona di Tanah Air. Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan dua WNI dinyatakan positif terinfeksi virus korona baru pada 2 Maret, perhatian masyarakat langsung tertuju pada kasus tersebut. Kekhawatiran pun merebak. Pemerintah dituntut segera bertindak. Momentum ini kemudian menjadi tonggak bagi Presiden dengan menegaskan, Pemerintah Indonesia sudah siap menghadapi virus ini dengan memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan untuk merawat pasien yang dinyatakan positif terinfeksi. Presiden juga memastikan ketersediaan peralatan medis berstandar internasional untuk merawat pasien. Baca juga : Kecemasan Resesi Ekonomi akibat Covid-19 Dari segi sumber daya manusia, selain dokter dan tenaga para medis, Presiden menegaskan, tim gabungan TNI-Polri yang dibantu masyarakat sipil juga siap membantu. Dari segi anggaran, Presiden memastikan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 di dalam negeri. Langkah pertama adalah menunjuk juru bicara sebagai wakil pemerintah dalam menyampaikan informasi ke masyarakat. Presiden menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebagai juru bicara penanganan Covid-19. Berikutnya adalah menyatukan langkah semua kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah agar memiliki semangat yang sama dalam menjalankan perintah Presiden guna mengatasi Covid-19. Tanggal 15 Maret, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Korona. Gugus tugas dibuat secara sistemik karena penularan Covid-19 di Indonesia telah menjadi keadaan tertentu yang dampaknya perlu diantisipasi. Gugus tugas ini menjadi garda terdepan pemerintah yang akan bekerja lebih cepat, tepat, fokus, terpadu, dan saling sinergi antar-kementerian/lembaga dengan pemda. Gugus tugas dipimpin Kepala BNPB Doni Munardo dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dilema Presiden Saat ini penyebaran virus korona baru semakin luas seiring dengan banyaknya pasien yang positif terinfeksi virus itu. Sejumlah usulan sudah disampaikan terkait model dan metode yang sesuai dengan kondisi Indonesia untuk menghentikan penyebaran virus korona baru. Presiden Jokowi sendiri sudah memutuskan menggunakan metode rapid test atau tes cepat untuk mendeteksi sedini mungkin potensi penyebaran virus melalui tes kesehatan yang dilakukan secara cepat dan masif. Cara ini sudah digunakan Korea Selatan dan terbukti efektif mengurangi penyebaran. Terkait usulan melakukan karantina wilayah, sebenarnya sudah ada payung hukum terkait langkah itu untuk mencegah penyebaran wabah penyakit berbahaya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan memberi empat ruang pembatasan atau karantina yang bisa dilakukan oleh pemerintah jika terjadi pandemik di wilayah Indonesia, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan karantina sosial berskala besar. Sudah ada payung hukum terkait langkah itu untuk mencegah penyebaran wabah penyakit berbahaya. UU Karantina Kesehatan memaparkan beberapa kondisi yang menjadi syarat karantina wilayah, yaitu epidemologi, cakupan penyebaran, tingkat bahaya, efektivitas, serta pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Semua persyaratan itu hanya bisa dipenuhi pemerintah pusat. Pertimbangan ekonomi, misalnya, karantina wilayah pasti butuh anggaran besar yang terkait langsung dengan moneter dan fiskal. Kewenangan  ini hanya dimiliki pemerintah pusat. Belum lagi terkait dengan mobilitas barang dan manusia antarwilayah atau daerah yang jelas-jelas berada di bawah kendali pemerintah pusat. Sejauh ini pemerintah telah memberlakukan karantina rumah melalui aturan untuk belajar dan bekerja dari rumah (work from home/WFH) sejak dua pekan lalu. Karantina rumah sakit jelas diberlakukan kepada warga yang sudah terindikasi positif terinfeksi virus atau pasien dalam pengawasan (PDP). Karantina wilayah secara nasional belum diberlakukan, tetapi beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, sudah pernah mencoba memberlakukannya. Pemerintah Kota Tegal juga sudah menutup wilayahnya kecuali untuk mobilisasi ke wilayah provinsi dan nasional. Di sinilah dilema yang dihadapi Presiden Jokowi. Wewenang untuk melakukan karantina wilayah berada di pemerintah pusat, tepatnya Presiden Republik Indonesia. Wewenang ini melekat pada Presiden selaku kepala negara yang berkuasa terhadap seluruh wilayah kedaulatan NKRI. Karantina wilayah Sejak virus korona baru ditetapkan sebagai pandemi global, sejumlah negara memutuskan melakukan karantina, baik parsial maupun nasional. Setelah Pemerintah China menutup empat kota di Provinsi Hubei pada Januari lalu, beberapa negara di Eropa langsung mengikuti langkah serupa. Italia, Perancis, Spanyol, Denmark, dan Irlandia mengikuti kebijakan itu ketika jumlah korban Covid-19 mulai tidak terkendali. Di Asia Tenggara, Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga menutup Kota Manila dan Pulau Luzon untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Pada umumnya, negara-negara itu menutup sarana publik yang dianggap sebagai pusat mobilitas manusia. Kegiatan dengan konsentrasi massa di larang, mobilitas warga dibatasi dengan ketat. Ada juga yang memberlakukan social distancing. Presiden Jokowi telah memutuskan menggunakan metode tes cepat untuk mengatasi penyebaran Covid-19. Tes cepat memang bisa mendeteksi potensi terinfeksi virus melalui tes darah yang dilakukan secara cepat dan masif. Presiden tentu sadar bahwa memilih karantina atau tes cepat, virus korona baru tetap akan menyebar dan sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tindakan-tindakan akselerasi, seperti penambahan fasilitas kesehatan, alat kerja dan pelindung diri, serta tenaga medis, kini menjadi prioritas. Efek ekonomi dari penyakit itu terhadap masyarakat kecil juga mulai diantisipasi dengan program bantuan langsung tunai dan pelonggaran kewajiban kredit.  (Litbang Kompas)