Libatkan Sektor Informal untuk Cegah Korona Kepedulian dari seluruh warga dibutuhkan agar penyebaran virus korona bisa segera teratasi. Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan kegiatan ekonomi pekerja informal jika strategi karantina kawasan dijalankan. Oleh BUDIAWAN SIDIK A 28 Maret 2020 08:08 WIB·10 menit baca TEKS     KOMPAS/HERU SRI KUMORO Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan seusai meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Kepedulian yang tinggi dari seluruh warga dibutuhkan agar wabah besar Covid-19 bisa segera teratasi. Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan kegiatan ekonomi pekerja informal jika strategi karantina kawasan atau lockdown diambil sebagai alternatif mengatasi penularan virus korona. Di masa pandemi seperti ini, mengikuti instruksi pemerintah dan otoritas berwenang sangat penting dalam memutus mata rantai penyebaran virus korona. Imbauan pemerintah itu berupa membatasi diri tidak berada di tempat kerumunan massa, menjaga jarak dengan orang lain, serta tidak keluar rumah tanpa ada alasan mendesak. Namun sayangnya, imbauan tersebut masih belum menjadi perhatian serius masyarakat. Padahal, virus korona itu bisa menular dengan cepat dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia, terutama mereka yang memiliki riwayat penyakit tertentu. Sejak virus korona menjangkiti dua warga Kota Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret lalu, penyakit itu kini sudah menulari setidaknya 227 orang di Indonesia, 19 orang di antaranya meninggal. Apabila di rata-rata, tingkat kematian di Indonesia itu mencapai 8,37 persen atau tertinggi di dunia, mengalahkan Italia yang memiliki tingkat kematian 8,34 persen. Persentase kematian ini jauh di atas rata-rata dunia yang berkisar 4 persen. Namun, tingginya angka kematian akibat virus korona di Indonesia tersebut belum sepenuhnya membuka mata masyarakat agar lebih berhati-hati. Hal itu tampak dari masih ramainya kendaraan di jalan-jalan dan kepadatan pengunjung di sejumlah tempat umum. Perilaku masyarakat sehari-hari masih relatif sama dan minim sekali perubahan. Bahkan, di daerah utama penularan virus, seperti di wilayah Jabodetabek, tidak tampak upaya masif masyarakat dalam mengantisipasi penyebaran virus. Jika ada, hanya segelintir, terutama pada kelompok ekonomi yang relatif mapan.   KOMPAS/HARIS FIRDAUS Sejumlah warga dan wisatawan mengunjungi kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Minggu (22/3/2020) sore. Fenomena tersebut merupakan tantangan berat bagi pemerinta pusat ataupun pemerintah daerah. Kesiapsiagaan pemerintah dan dukungan tim medis beserta peralatan yang canggih dunia kedokteran tak akan menyurutkan penularan wabah jika masyarakat sulit diajak kerja sama. Ketegasan pemerintah, kesiapan tim medis, serta kedisiplinan masyarakat dibutuhkan agar pandemi segera teratasi. Namun, mendisiplinkan masyarakat agar menuruti imbauan pemerintah tidaklah mudah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang relatif belum mapan membuat kebijakan pemerintah relatif sulit diimplementasikan. Pemerintah seperti berada pada dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, pemerintah ingin segera mengatasi wabah korona, tanpa menimbulkan kepanikan di masyarakat. Langkah persuasif dilakukan dengan lebih menekankan pada pemberian saran, imbauan, serta saran pencegahan melalui media massa, media sosial, dan media elektronik. Namun sayangnya, upaya itu belum banyak digubris masyarakat sehingga virus masih terus menjalar dan sulit dihentikan. Di sisi lain, pemerintah belum bisa memberlakukan kebijakan karantina kawasan untuk membatasi kegiatan masyarakat hanya di sekitar tempat tinggalnya. Kebijakan karantina kawasan sepertinya bukan pilihan mudah bagi Indonesia kendati strategi itu terbukti efektif di sejumlah negara. Selain membutuhkan anggaran besar, strategi karantina kawasan akan melibatkan banyak aparat, dan dapat memicu munculnya dampak sosial yang masif. Kendati peran masyarakat dalam memutus mata rantai penularan virus itu sangatlah besar, tidak mudah bagi masyarakat mau menuruti imbauan pemerintah. Tanpa adanya kompensasi, terutama bagi pekerja harian atau serabutan, mengikuti anjuran mengisolasi diri selama 14 hari tampaknya sulit. Karena itu, kebijakan kompensasi, terutama bagi kaum pekerja yang terdampak, perlu dipertimbangkan jika anjuran isolasi diri di lingkungan masing-masing akan diterapkan.       Kepedulian yang tinggi dari seluruh warga dibutuhkan agar wabah besar Covid-19 bisa segera teratasi.     Karantina kawasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terus meningkatnya jumlah dan sebaran penyakit Covid-19 di berbagai belahan dunia. Hingga 19 Maret 2020, 209.839 orang  di 176 negara terpapar virus korona. Sebanyak 8.778 orang di antaranya meninggal. Setidaknya ada enam negara yang jumlah kasus positif korona sudah tembus di atas 10.000 orang. Negara tersebut adalah China, Italia, Iran, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Disusul negara-negara lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di dalamnya Indonesia. Berbagai kebijakan diterapkan di negara-negara tersebut untuk mencegah penularan Covid-19. Mulai dari kebijakan yang bersifat ringan hingga tindakan tegas dengan cara mengunci semua kota dari aktivitas masyarakat yang disebut karantina kawasan (lockdown). Di Indonesia, kebijakan terkait antisipasi penularan korona masih tergolong ringan. Pemerintah antara lain mengimbau masyarakat agar membatasi diri berkumpul di pusat keramaian, sekolah diliburkan, bekerja dari rumah bagi orang kantoran, serta mengurangi jam operasional angkutan umum. Kebijakan tersebut tampaknya belum efektif mencegah penyebaran virus di Indonesia. Hampir setiap hari ada laporan terbaru mengenai  kasus temuan positif korona dan pasien meninggal akibat korona. Imbauan pemerintah tersebut tampaknya belum ditanggapi secara serius oleh masyarakat. Anjuran membatasi kegiatan di luar rumah dengan meliburkan sekolah dan sejumlah perkantoran tampaknya kurang dihiraukan. Masyarakat tetap bepergian. Pusat-pusat keramaian dan pertokoan tetap buka. Masyarakat tetap berkumpul tanpa menjaga jarak dan berkegiatan seperti biasa. Kondisi tersebut berbeda jauh dengan negara-negara yang memberlakukan kebijakan karantina kawasan atau lockdown. Di negara-negara tersebut, perkantoran, sekolah, dan pertokoan tutup. Masyarakat tidak bisa keluar dari daerahnya. Begitu juga sebaliknya, masyarakat dari luar daerah tidak bisa masuk tanpa ada alasan khusus. Masyarakat hanya diperbolehkan berada di sekitar tempat tinggalnya dan tidak berkeliaran bebas di segala penjuru kota. Segala macam kebutuhan dasar, seperti bahan makanan, dan keperluan penting penunjang lainnya dipenuhi pemerintah. Tak hanya itu, aparat pemerintah juga siaga di sejumlah titik kota agar masyarakat tertib mengikuti aturan kebijakan karantina kawasan. Kegiatan masyarakat sangat dibatasi hanya untuk keperluan mendesak, terutama yang terkait dengan fasilitas kesehatan. Dengan mengunci kota beserta kegiatan masyarakatnya, diharapkan penularan Covid-19 dapat tereduksi perlahan-lahan. Setidaknya hingga masa inkubasi virus itu berakhir dalam tempo 14 hari. Sampai dengan 21 Maret 2020, setidaknya ada delapan negara yang memberlakukan kebijakan karantina kawasan untuk meredam penyebaran virus korona. Negara tersebut adalah Spanyol, Italia, Belanda, Irlandia, Denmark, Perancis, Belgia, dan Malaysia. Delapan negara tersebut memberlakukan kebijakan penguncian aktivitas warga negaranya secara menyuluruh. Semua aktivitas diliburkan, kecuali yang terkait dengan fasilitas kesehatan.   REUTERS/MANUEL SILVESTRI Lapangan Santo Markus di Venesia, Italia, yang biasanya dipadati pengunjung terlihat hampir kosong, Senin (9/3/2020). Temuan jumlah kasus posistif korona di delapan negara tersebut bervariasi. Mulai dari yang terkecil Malaysia sekitar 900 kasus hingga terbanyak di Italia sebanyak 41.000 kasus. Tingkat kematian akibat virus juga bervariasi. Malaysia relatif sangat kecil, yakni 0,22 persen, dan yang tertinggi adalah Italia dengan besaran hingga 8,34 persen. Seminggu kemudian, jumlah negara yang memutuskan memberlakukan lockdown naik berlipat dua. Hingga 27 Maret 2020 tercatat setidaknya ada 19 negara melakukan karantina kawasannya. Namun, banyak juga negara yang belum mengambil kebijakan lockdown, termasuk Indonesia. Upaya pencegahan Covid-19 di Indonesia masih bersifat anjuran dan imbauan. Baca juga: Patroli Polisi di Titik Keramaian untuk Antisipasi Covid-19 Tantangan karantina kawasan di Indonesia Jika menelisik lebih jauh, kebijakan lockdown di delapan negara tersebut tampaknya relatif mudah diterapkan dan tidak menimbulkan gejolak di lapangan. Secara umum, masyarakat menghormati dan menjalankan kebijakan lockdown dengan segala konsekuensinya. Salah satu tantangan menerapkan kebijakan lockdown di Indonesia adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di delapan negara tersebut. Indonesia tercatat memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, bahkan masuk dalam jajaran lima besar negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia.   KOMPAS/RIZA FATHONI Suasana lengang pada jam berangkat kerja di perkantoran kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, pada hari pertama penghentian sementara kegiatan perkantoran, Senin (23/3/2020). Adapun  jumlah penduduk di delapan negara tersebut jauh lebih sedikit sehingga relatif mudah diatur. Penduduk di delapan negara tersebut rata-rata kurang dari 70 juta jiwa. Bahkan, jumlah penduduk di Denmark dan Irlandia kurang dari 6 juta jiwa. Timpang sangat jauh dengan Indonesia yang jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa dan tersebar di sekitar 17.000 kepulauan. Karakteristik masyarakatnya pun berbeda. Kedelapan negara tersebut mayoritas penduduknya (lebih dari 70 persen) tinggal di daerah perkotaan. Sisanya, di daerah perdesaan. Kondisi ini menyebabkan kontrol pemerintah dan imbauan kepada masyarakat relatif mudah diimplementasikan. Demikian juga pemerintah dapat dengan mudah menjamin pasokan dan ketersediaan kebutuhan hidup masyarakat karena aksesibilitas transportasi tersedia relatif baik di wilayah perkotaan. Kondisi itu berbeda dengan karakteristik masyarakat di Indonesia. Proporsi penduduk perkotaan dan perdesaaan tidak terpaut jauh. Sekitar 55 persen berada di kota dan sisanya, 45 persen di daerah perdesaan. Hal itu membuat kontrol pemerintah relatif sulit karena penduduk tersebar sangat luas. Belum lagi terpisahkan oleh banyak pulau dan lautan semakin menjadi hal mustahil untuk dikontrol secara simultan. Persoalan lain, kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum sejahtera. Masih banyak orang yang belum memiliki pekerjaan tetap atau bekerja serabutan. Banyak masyarakat bekerja secara informal yang usahanya mencari uang secara harian. Bagi mereka, tidak bekerja berarti tidak ada uang untuk hari itu. Adapun kondisi ekonomi di delapan negara tersebut jauh lebih baik. Secara umum, masyarakatnya  memiliki pekerjaan tetap atau usaha dengan penghasilan besar, jauh di atas rata-rata Indonesia. Bahkan, sejumlah negara itu memberikan uang jaminan hidup bulanan bagi mereka yang menganggur. Ilustrasi sederhananya dapat terlihat dari sejumlah data indikator perekonomian makro masing-masing negara berikut ini. Dibandingkan delapan negara yang melakukan lockdown itu, perekonomian nasional Indonesia yang tecermin dari produk domestik bruto (PDB) tergolong cukup tinggi. Pada tahun 2018, PDB Indonesia mencapai 1.146 miliar dollar AS atau menempati urutan ke-4 setelah Perancis, Italia, dan Spanyol. Hanya saja, apabila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, PDP per kapita Indonesia menjadi sangat kecil, yakni sekitar 4.200 dollar AS per tahun. Apabila dirupiahkan berkisar Rp 55 juta setahun atau sebulan sekitar Rp 4,5 juta per orang.   Nominal PDB per kapita tersebut sangat timpang dengan negara-negara di Eropa yang pendapatan per kapitanya di atas 30.000 dollar AS atau sekitar Rp 400 juta setahun. Dengan Malaysia sekalipun yang lokasinya bersebelahan secara geografis, PDB per kapita Indonesia sangat ketinggalan. Pada tahun 2018, PDB per kapita Malaysia sudah berkisar 12.000 dollar AS atau di atas 150 juta setahun. Apabila di rata-rata per bulan nominalnya sekitar Rp 13 juta per orang. Perbedaan tingkat pendapatan itu mengindikasikan jika di Indonesia masih banyak angkatan kerja yang belum terserap ke dunia kerja. Terbatasnya investor yang menanamkan modal menyebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan sehingga sebagian angkatan pekerja menganggur dan bekerja secara informal. Berbeda kondisinya dengan delapan negara yang melakukan lockdown tersebut, yang mayoritas kondisi negaranya full employment dan memiliki tingkat pendapatan relatif tinggi. Baca juga: Problem di Balik Persebaran Penduduk Pekerja informal Dalam kasus wabah korona di Indonesia saat ini, para pekerja informal itulah yang relatif sulit dikendalikan aktivitasnya jika negara tidak memberikan jaminan kompensasi harian. Banyaknya lapangan pekerjaan informal yang menjadi penyelamat pengangguran membuat lini pekerjaan ini harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Menyelamatkan warga negara dari penularan wabah Covid-19 sangat penting, tetapi menjaga keberlangsungan ekonomi pekerja informal juga tak kalah penting.   KOMPAS/ERIKA KURNIA Penjual kue di daerah Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020),melayani seorang pembeli. Baca juga: Dunia Usaha dan Pekerja Dibayangi Korona Apalagi, saat ini keberadaan pekerja informal ini sangat dibutuhkan masyarakat secara luas. Kaki lima dan warung-warung menjadi andalan untuk mencari makanan enak dan murah. Ojek daring diandalkan untuk distribusi orang, barang, dan makanan. Penjaja sayuran dibutuhkan untuk suplai sayuran ke lingkungan rumah tangga. Usaha-usaha jasa lainnya yang sangat banyak dan beragam menjadi kebutuhan harian banyak orang. Berdasarkan data BPS tahun 2018, jumlah pekerja bebas di sektor pertanian ataupun nonpertanian jumlahnya berkisar 12 juta orang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Para pekerja bebas ini umumnya adalah pekerja serabutan yang bekerja untuk mendapatakan uang untuk hari itu juga. Jadi, apabila Pemerintah Indonesia ataupun pemerintah daerah akan mengikuti jejak negara-negara yang melakukan lockdown itu, sudah seharusnya mempertimbangkan kegiatan ekonomi para pekerja informal ini. Tidak cukup hanya meliburkan sekolah, perkantoran, menutup sejumlah pertokoan, ruang-ruang publik, dan tempat hiburan akan efektif meredam penularan virus Covid-19. Pemerintah perlu membuat langkah nyata agar masyarakat benar-benar seminimal mungkin keluar dari huniannya. Sediakan stok kebutuhan yang cukup untuk masyarakat ketika mereka membatasi dirinya di rumah. Selain itu, berikan jaminan yang sesuai bagi para pekerja informal agar mereka mau menghiraukan anjuran pemerintah ketika kebijakan lockdown diberlakukan di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)