Ekonomi Pariwisata Sesudah Wabah Virus Korona Pariwisata adalah sektor ekonomi yang sangat sensitif terhadap isu keselamatan manusia. Wabah Covid-19 berdampak sangat besar bagi sektor ekonomi dan pariwisata. Oleh BUDIAWAN SIDIK A     KOMPAS/REGINA RUKMORINI Seorang wisatawan anak-anak berjalan-jalan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, awal Januari lalu. Pada 31 Desember 2019, sekelompok pneumonia etiologi yang tidak diketahui dilaporkan di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menulis, pneumonia etiologi yang tidak diketahui ini adalah virus korona, keluarga besar virus pernapasan yang dapat menyebabkan penyakit mulai dari flu biasa hingga sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) dan sindrom pernapasan akut parah (SARS). Tanggal 10 Januari 2020, WHO telah mengeluarkan peringatan untuk melakukan perjalanan dan perdagangan antarnegara sehubungan dengan merebaknya pneumonia yang disebabkan oleh apa yang disebut coronavirus baru di China. WHO mengeluarkan peringatan sehari sesudah pihak berwenang China melaporkan di media bahwa penyebab pneumonia virus ini pada awalnya diidentifikasi sebagai jenis baru coronavirus, yang berbeda dari virus korona manusia lainnya yang ditemukan sejauh ini. Dalam hitungan minggu dan bulan, virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 dengan cepat menyebar ke sejumlah negara. Menyikapi kondisi demikian, Pemerintah Indonesia juga mengambil langkah. Pemerintah berupaya mendukung berbagai sektor ekonomi, salah satunya pariwisata. Upaya stimulus di masa pandemik virus mewabah di puluhan negara menjadi langkah yang sepatutnya diupayakan manakala bertujuan mencegah sektor pariwisata terpuruk lebih dalam. Beberapa waktu berselang, pemerintah meluncurkan paket stimulus perekonomian menindaklanjuti dampak wabah virus korona. Salah satu insentif yang dimunculkan dalam stimulus pertama adalah ditujukan mendorong kunjungan wisatawan mancanegara dengan alokasi tambahan Rp 298,5 miliar. Rinciannya, insentif untuk maskapai dan travel agent sebesar Rp 98,5 miliar, anggaran promosi wisata Rp 103 miliar, kegiatan pariwisata Rp 25 miliar, dan influencer Rp 72 miliar. Namun, ketika tujuannya mempromosikan aktivitas mobilitas penduduk dan keramaian, upaya itu menjadi sangat tidak efektif. Menggelontorkan anggaran untuk mempromosikan pariwisata di tengah persebaran wabah tak lebih dari strategi menggarami lautan yang justru akan memperbesar kerugian negara. Akhirnya, pemerintah memastikan menunda pemberian insentif bagi para wisatawan asing. Hal ini menyusul dua pasien positif Covid-19 di Indonesia (Kompas, 3/3/2020). Kendati terbilang terlambat melihat situasi, keberanian pemerintah merevisi stimulus itu layak diapresiasi.   Baca juga: Stimulus Pariwisata Bisa Tidak Relevan Harus menunda Sejak pertengahan Januari 2020 hingga saat ini, WHO melaporkan perkembangan kasus positif Covid-19 terus bertambah. Setiap hari, WHO mencatat bahwa virus korona jenis baru ini menjalar ke sejumlah negara sehingga menjadi pandemi yang mengancam umat manusia. Per 18 Maret 2020, jumlah kasus Covid-19 sudah menjangkiti  207.860 orang di 166 negara di dunia. Dengan mewabahnya Covid-19 sebagai kejadian luar biasa di seluruh dunia, bukan tidak mungkin harapan Indonesia untuk menambang devisa wisata tentu tertunda. Pada sisi lain, paling tidak selama tiga tahun terakhir Pemerintah Indonesia telah berupaya menyiapkan segala macam infrastruktur pendukung kelima destinasi wisata super prioritas. Berbagai proyek pembangunan untuk meningkatkan aksesibilitas pariwisata superprioritas terus dilakukan secara estafet di Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang hingga tahun 2021. Tahun 2020, hampir semua proyek diperkirakan mulai rampung kegiatan fisiknya sehingga pemerintah pun optimis jika semua destinasi superprioritas itu mulai dapat dipasarkan tahun ini. Pemerintah pun sebelumnya optimistis, kunjungan turis asing pada tahun 2020 mampu mencapai 18 juta orang. Devisa yang mampu diserap dari wisatawan internasional itu diperkirakan mencapai 19 miliar dollar AS.   Baca juga: Pariwisata Tergerus Dampak Virus Rencana jangka pendek Melihat besaran dampak yang ditimbulkan oleh virus korona, wajar jika pemerintah tidak ragu merevisi keputusannya. Revisi yang sama tentunya harus dilakukan pada perencanaan pariwisata, khususnya dalam jangka pendek. Menurut roadmap Kementerian Perhubungan, hampir semua destinasi superprioritas selesai pengerjaan proyek fisiknya pada tahun ini. Paling lambat pada tahun depan, 2021. Kemenhub merupakan salah satu lembaga negara yang bertanggung jawab meningkatkan aksesibilitas ke seluruh destinasi superprioritas Indonesia. Pada tahun ini, Kemenhub menganggarkan sekitar Rp 2,9 triliun untuk pembangunan sejumlah fasilitas di kawasan wisata prioritas. Dari kelima destinasi, Borobudur adalah kawasan yang alokasi anggarannya terbanyak. Kemenhub juga menyediakan anggaran lebih kurang Rp 1,25 triliun untuk menyelesaikan sejumlah proyek yang sebagian sudah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya. Mayoritas anggaran tahun ini tersedot untuk meningkatkan kualitas aksesibilitas moda transportasi kereta api dan jalan raya. Khusus jalur KA akan mengoneksikan antara Bandara Adi Soemarmo-Solo-Yogyakarta-hingga Bandara Internasional Yogyakarta Internasional di Kulon Progo. Selain itu, juga berupaya menghubungkan jalur darat yang lebih baik antara Kulon Progo-Purworejo hingga kawasan Borobudur. Di atas kertas, proyek tersebut akan mempermudah aksesibilitas dan kenyamanan transportasi berwisata. Hal itu pada gilirannya berpotensi besar meningkatkan angka kunjungan wisatawan. Namun, dalam jangka pendek jika nantinya wabah virus korona berlalu, setiap negara tentu lebih mengutamakan perbaikan perekonomian mereka masing-masing. Hal tersebut bukan tidak mungkin akan memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat di setiap negara. Kecenderungan menahan konsumsi untuk kebutuhan tersier, termasuk untuk berwisata, boleh jadi akan lebih menguat dalam jangka pendek. Jika kondisi jangka pendek demikian yang akan terjadi, pemerintah seyogianya mempertimbangkan lebih serius untuk menggairahkan kegiatan pariwisata nasional. Dalam masa demikian, pemerintah justru dapat lebih fokus mengoptimalkan pengerjaan sejumlah infrastruktur pendukung sambil menunggu pandemi teratasi. Selain itu, situasi ini justru menjadi momentum baik untuk memetakan kesiapsiagaan pelaku obyek wisata dalam mitigasi bencana wabah penyakit bagi wisatawan ke depan.   Baca juga: Candi Borobudur Ditutup Selama 14 Hari Fokus pasar domestik Saat wabah virus korona berlalu di masa mendatang, sektor pariwisata setidaknya masih bisa mengandalkan harapan pada wisatawan dalam negeri. Hal ini juga memudahkan kontrol pemerintah apabila ada indikasi penyebaran virus kembali sehingga dapat melacak dan mengisolasinya relatif mudah. Jika nantinya wabah Covid-19 usai, salah satu cara mendongkrak kunjungan wisatawan lokal adalah dengan memberikan subsidi di sektor transportasi. Terjangkaunya ongkos perjalanan berpotensi besar mendorong pemulihan aktivitas perjalanan antar wilayah bagi masyarakat dalam negeri. Hal ini terindikasi dari Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2017, di mana sebagian besar struktur pengeluaran wisatawan Nusantara dialokasikan untuk biaya transportasi. Proporsi pengeluaran transportasi wisatawan domestik mencapai hampir 29 persen, menempati urutan kedua teratas sesudah pengeluaran konsumsi makanan dan minuman. Pengeluaran transportasi wisatawan domestik itu terdiri dari angkutan kereta, jalan raya, angkutan air, udara, hingga sewa kendaraan. Dari kelima moda transportasi ini, belanja tiket pesawat adalah yang terbesar dengan akumulasi mencapai 14 persen atau sekitar Rp 36 triliun.   Dukungan pariwisata ke depan sesudah wabah Covid-19 berlalu juga akan ditentukan oleh sektor akomodasi. Harapan tersebut tentunya tak akan bertepuk sebelah tangan jika pemerintah merancang kebijakan fiskal terkait pajak akomodasi. Jadi, dengan memberikan subsidi transportasi, kemungkinan besar akan mendongkrak kunjungan para turis domestik ke berbagai tempat di Indonesia. Sejauh ini, pemerintah menyiapkan paket kebijakan fiskal berupa pembebasan pungutan pajak hotel dan restoran selama enam bulan. Pemerintah juga akan menyiapkan anggaran untuk memberi diskon tarif pesawat hingga 50 persen. Kebijakan ini terutama diterapkan pada 10 destinasi wisata ”Bali Baru” dan sejumlah daerah lainnya. Namun, pemberlakuan kebijakan ini belum cukup panjang untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi pariwisata. Langkah itu baru sebatas ”jaring pengaman” yang mencegah kebangkrutan pelaku jasa perjalanan dan pariwisata. Dengan kata lain, penting bagi pemerintah mempertimbangkan berbagai skenario pemulihan sektor pariwisata sesudah wabah Covid-19 berlalu jika Indonesia tetap berkomitmen menjadikan sektor ini sebagai unggulan ekonomi nasional. (LITBANG KOMPAS)