PANDEMI COVID-19 Efek Korona dan Digitalisasi Karena bencana korona datang tiba-tiba, mitigasi publik sempat mengalami kegagapan dalam menggunakan teknologi digital (digitalization shock). Namun, pelbagai pihak mulai beradaptasi dengan sistem digital. Oleh ARI WIRYA DINATA   Merebaknya Covid-19 menjadi awal kejayaan era digitalisasi (digitalization age). Hampir semua instansi, baik pemerintahan maupun swasta, melaksanakan program digitalisasi sehubungan dengan imbauan Presiden Jokowi untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Seketika tagar #dirumahaja menjadi sangat populer dan menjadi komoditas kampanye sosial massal. Begitu pula dengan imbauan para pekerja medis ”kami tetap bekerja untuk Anda, Anda tetap tinggal di rumah untuk kami”. Walaupun masih banyak warga negara yang belum mematuhi secara penuh anjuran pencegahan penyebaran Covid-19 ini, beberapa lembaga pemerintahan dan swasta mulai memikirkan usaha preventif yang dapat dilakukan demi mencegah penyebaran virus dalam jumlah masif. Karena bencana korona datang tiba-tiba, mitigasi publik sempat mengalami kegagapan dalam menggunakan teknologi digital (digitalization shock). Namun, pelbagai pihak mulai beradaptasi dengan sistem digitalisasi dalam interaksi dan menjalankan pelbagai pekerjaan. Di dunia pendidikan sistem e-learning (pembelajaran elektronik) jadi alternatif melaksanakan proses belajar-mengajar menggantikan sistem belajar dan mengajar tatap muka. Beberapa pendidikan tinggi mulai beradaptasi dengan sistem belajar daring, pelayanan bimbingan skripsi, peminjaman buku di perpustakaan, hingga ujian menggunakan sistem daring. Walau tak mudah, pemanfaatan teknologi ini membuka tabir keahlian dan mode pembelajaran yang baru, baik bagi mahasiswa maupun bagi pengajar. Di dunia peradilan, berbagai persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di seluruh Indonesia diminta ditunda. Tentu ini tak sesuai prinsip keadilan. Karena dengan tertunda proses persidangan, tertunda pula hak pencari keadilan mendapatkan keadilan. Justice delayed is justice denied, terlambat memberikan keadilan juga merupakan bentuk ketidakadilan. Merebaknya Covid-19 menjadi awal kejayaan era digitalisasi (digitalization age). Penundaan persidangan selama penanganan Covid-19 sejatinya juga bertentangan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.  Sederhana berarti pemeriksaan dan penyelesaian  perkara dilakukan secara efektif dan efisien, cepat dalam waktu singkat dan tidak berlarut-larut, biaya ringan berarti biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat. Digitalisasi di peradilan Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) serta lingkup peradilan yang berada di bawahnya sudah memiliki sarana dan prasarana yang dapat mendukung pelaksanaan prinsip itu, bahkan sudah diterapkan dalam berbagai penanganan kasus. Hanya saja, di musim wabah ini, penggunaan teknologi itu menjadi sangat urgen guna mencegah terlambatnya proses keadilan. Seperti di MK, sebagai lembaga peradilan modern, MK selama ini sudah menerapkan penerimaan permohonan berperkara melalui laman daring di laman mereka dan juga memiliki sarana konferensi video untuk melakukan persidangan jarak jauh. MA memiliki Peraturan MA (Perma) No 3/2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik dan Perma No 4/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung No 2/2015  tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Ketentuan perma ini memang diperuntukkan bagi penyelesaian perkara perdata. Adanya instrumen pendaftaran dan persidangan daring ini dapat membantu proses persidangan di tengah wabah korona, meski awalnya sistem ini dibangun guna mencegah praktik mafia peradilan yang sering berkelindan di ranah kekuasaan yudikatif.   Beberapa sektor lain, seperti swasta yang memang tak dapat mengubah sistem pelayanannya menjadi digital sepenuhnya, mengusahakan untuk menggunakan sistem pergantian (shifting) jam kerja. Dengan begitu, jumlah orang yang bekerja dalam waktu yang bersamaan dapat ditekan agar kemungkinan risiko penyebaran virus dapat ditekan. Publik memang harus bahu-membahu melawan korona. Semangat ke-Indonesia-an kita tengah diuji saat ini: semangat saling gotong royong dalam mencegah penyebaran wabah korona. Kepedulian, toleransi, dan empati menjadi jiwa bangsa yang harus diperekat di tengah musibah ini. Wabah dan isu kesehatan lingkungan adalah isu yang memiliki ketergantungan. Ibarat efek domino yang dampaknya dapat dengan mudah menular tanpa mengenal status dan jabatan. Oleh karena itu, digitalisasi adalah salah satu cara terbaik mencegah penyebaran virus korona. Publik memang harus bahu-membahu melawan korona. Tentu kita tak ingin cerita satir dalam novel karya Rachel Carson berjudul The Silent Spring  menjadi kenyataan dalam kehidupan kita akibat virus korona. Kita tak ingin adegan menyeramkan dalam film Korea berjudul Train to Bussan jadi nyata. Kita tak ingin Ramadhan tahun ini jadi Ramadhan yang sunyi, The Silent Ramadhan, akibat keegoisan kita semata yang tak mau patuh pada imbauan pemimpin kita. (Ari Wirya Dinata Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)