Pandemi Covid-19 ”Cancut Taliwondo” untuk Data Penerima Bantuan BPJSK siap membantu pemerintah, khususnya pemerintah daerah, jika membutuhkan data dimaksud. Saat ini semua pihak harus proaktif dan dengan semangat gotong royong menghadapi pandemik virus korona ini. Oleh Fachmi IdrisDirektur Utama BPJS Kesehatan   Judul berita utama halaman satu surat kabar Kompas jelas sekali: ”Pendataan Penerima Belum Optimal”. Koran edisi Jumat, 3 April 2020, itu menerangkan tentang upaya pemerintah yang masih bekerja keras mengonsolidasi data. ”Pemerintah masih berkutat pada persoalan melengkapi data penerima manfaat jaring pengaman sosial. Sementara itu, masyarakat berharap bantuan dapat segera direalisasikan,” tulis Kompas. Koran terbesar itu menerangkan bahwa upaya pemerintah itu melalui surat, rapat koordinasi terbatas, koordinasi langsung dengan pemilik data di kementerian/lembaga, pemerintah daerah, platform digital, dan asosiasi usaha. ”Tidak ada data detail atau tidak by name, by address sehingga masih harus mengumpulkan dan mencari sumber lain agar segera disiapkan basis datanya,” kata Susiwijono, Sekretaris Menko Perekonomian. Salah satu kendala penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah masalah data penduduk. Hal ini dibutuhkan untuk membantu kebutuhan dasar penduduk, khususnya penduduk miskin dan rentan miskin. Selanjutnya diatur dalam Pasal 4 Ayat (3) bahwa ”Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk”. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan kebutuhan dasar penduduk antara lain kebutuhan pangan, kebutuhan pelayanan kesehatan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya. ”Pemerintah masih berkutat pada persoalan melengkapi data penerima manfaat jaring pengaman sosial. Sementara itu, masyarakat berharap bantuan dapat segera direalisasikan,” tulis Kompas. Miskin dan rentan miskin Salah satu dampak penerapan PSBB adalah bisa saja terjadi penutupan tempat-tempat usaha, kecuali yang vital, seperti pasar, minimart, supermarket, puskesmas, klinik, rumah sakit, dan hal-hal vital lainnya. Sementara kegiatan lain kemungkinan besar harus tutup, kecuali yang sifatnya delivery order, seperti untuk restoran, kafe, atau rumah makan. Dengan demikian, banyak sekali kegiatan yang terhenti. Mobilitas orang benar-benar sangat dibatasi, bahkan kegiatan ibadah pun diatur dengan sangat ketat. Semua itu dilakukan semata-mata untuk memutus mata rantai perpindahan virus korona. Bagi penduduk yang memiliki cukup tabungan, hal itu tak masalah. Demikian pula bagi pegawai yang tetap memiliki gaji. Sementara bagi penduduk yang penghasilannya dari usaha harian, seperti buruh bangunan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, pedagang kecil, tukang parkir, tukang ojek, sopir angkutan umum, dan sebagainya, tentu mereka akan jatuh menjadi kelompok ”miskin dadakan”. Bahkan, bagi pegawai harian, antara lain: karyawan kafe, restoran, mal, juga sebagian pabrik, akan mengalami nasib yang sama. Untuk itu, negara harus hadir untuk menjamin kebutuhan dasar warganya. Hal itu sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945: ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.   RUMAH JURNALIS PONTIANAK/EDHO Jurnalis di Pontianak, Kalimantan Barat mendirikan posko yang disebut Rumah Jurnalis Pontianak sejak beberapa hari lalu. Posko itu untuk menghimpun bantuan dari berbagai pihak kemudian disalurkan kepada masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia ada sekitar 25 juta penduduk miskin, yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Data mereka sudah ada di Kementerian Sosial karena mereka bagian dari penerima dana bantuan sosial dari pemerintah. Kementerian Sosial juga memiliki data penduduk rentan miskin (near poor) karena mereka terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Mereka didaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI), yang jumlahnya sekitar 96,8 juta orang. Namun, jika PSBB diterapkan, jumlah penduduk near poor dan poor tersebut akan bertambah, yaitu mereka yang selama ini memiliki penghasilan dari pekerjaan sektor non- formal, seperti pedagang, petani, pekerja harian, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga bisa berasal dari penduduk yang bekerja di kafe, mal, restoran, buruh kecil, dan sebagainya. Nah, siapa saja mereka dan di mana alamatnya? Butuh langkah cepat Seperti diberitakan Kompas, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan data yang valid, by name, by address. Rabu, 1 April 2020, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan melakukan video conference dengan sejumlah pihak yang diperkirakan memiliki data, salah satunya dengan BPJS Kesehatan (BPJSK). Menko Maritim dan Investasi menugaskan BPJSK untuk mendata peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU), khususnya yang terdaftar di kelas 3. Mereka inilah yang merupakan pekerja sektor nonformal, seperti pedagang, petani, nelayan, dan pengusaha UMKM. Peserta kelas 3 BPJSK merupakan peserta yang paling rentan menjadi near poor and poor. Sebetulnya, BPJSK juga memiliki data untuk peserta pekerja penerima upah dari segmen badan usaha swasta. Sebagian dari mereka rentan menjadi near poor and poor jika perusahaannya tutup atau melakukan pemutusan hubungan kerja sebagian. Peserta kelas 3 BPJSK merupakan peserta yang paling rentan menjadi near poor and poor. Namun, data ini tentu lebih pas jika diminta ke BP Jamsostek karena data BPJSK sebagian besar pada awalnya adalah hasil migrasi data yang berasal dari BP Jamsostek. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, prosedur penetapan PSBB adalah berdasarkan usulan dari kepala daerah yang diajukan ke Kementerian Kesehatan. Dari regulasi ini jelas bahwa pemberlakuan PSBB akan cenderung dilakukan per daerah atau per wilayah. Karena itu, data yang dibutuhkan adalah per daerah atau wilayah. Karena itu, harus ada langkah proaktif dari pemerintah daerah untuk menjaring data penduduk yang akan menerima bantuan. Perlunya akurasi data tersebut selain agar tepat sasaran, terdistribusi secara menyeluruh, juga tidak menimbulkan kegaduhan. Tentu dalam praktiknya ada saja yang terlewat karena faktor dinamika kehidupan sosial ataupun faktor error dalam pendataan. Per awal Maret 2020, data peserta PBPU BPJSK kelas 3 adalah 21.514.184 jiwa atau 7.875.645 keluarga. Untuk penerapan PSBB, bantuan dana yang akan diberikan lebih akuntabel apabila ditransfer langsung ke rekening penerima. Memang, belum semua peserta PBPU memberikan data nomor rekening banknya masing-masing. Namun, data yang dimiliki BPJSK sudah by name, by address, baik data perseorangan maupun data per keluarga. BPJSK dapat berperan besar dalam konteks data sharing walaupun masih ada sedikit ganjalan mengingat kemungkinan masih ada pekerja sektor nonformal yang belum terdaftar. Namun, apabila data BPJSK diperlukan, pada dasarnya BPJSK akan berkontribusi memberikan data yang paling reliable yang dimiliki (walau tidak sempurna 100 persen) untuk memetakan kelompok nonformal peserta yang terdaftar, khususnya peserta kelas 3.     Paling tidak menjadi proksi dari kelompok yang bisa menjadi ”miskin dadakan” dan memerlukan jaring pengaman sosial. Di luar kelompok yang memang sudah masuk kategori miskin dan tidak mampu selama ini. BPJSK siap membantu pemerintah, khususnya pemerintah daerah, jika membutuhkan data dimaksud. Saat ini semua pihak harus proaktif dan dengan semangat gotong royong menghadapi pandemik virus korona ini. Indonesia harus memenangi pertempuran melawan musuh berwujud jasad renik tak kasatmata ini. Kita harus membuktikan jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki fondasi moral dan sosial yang kuat. Singsingkan lengan baju, ringankan kaki, cancut taliwondo bergerak bersama. Strategi cancut taliwondo ini pernah diterapkan Bung Karno, atas saran Mbah KH Wahab Chasbullah, saat melaksanakan Trikora untuk membebaskan Irian Barat: serentak bersama. (Fachmi Idris Direktur Utama BPJS Kesehatan)