Pandemi Covid-19 Covid-19, Sang Penyibak Makna Kematian Ancaman kematian Covid-19 menjadi efek kejut yang mendorong manusia kembali kepada pemahaman diri yang benar. Kegelisahan komunal saat ini seolah menjadi  ajakan untuk kembali mewujudkan sifat luhur manusia. Oleh A Fauzi Yahya   Everyone owes nature a death and must expect to pay the debt. (Freud, 1915) Sebagai dokter jantung, penulis kerap tak terhindarkan mendiskusikan risiko kematian. Namun, diskusi tentang ancaman kehidupan ini biasanya bersifat personal, terbatasi bilik klinik. Diskusi kematian terkait penyakit jantung heboh saat menyertakan figur publik sebagai korban. Tidak demikian wabah Covid-19. Virus korona jenis baru ini mengantarkan manusia sejagat berhadapan dengan sang penyambar nyawa tak kasatmata. Hingga saat ini belum ada obat dan vaksin yang terkonfirmasi untuk mengatasi atau mencegah perkembangan virus tersebut.     Lonjakan kasus kematian terus tertayang dan terkinikan di berbagai stasiun televisi dan media sosial. Anthony Fauci, pakar penyakit infeksi terkemuka dunia, menyatakan bahwa pandemi di Amerika bisa menginfeksi jutaan orang dan membunuh hingga 200.00 nyawa. Bayangan kematian merasuki pikiran masyarakat yang bahkan sebenarnya tak sedang terinfeksi. Manusia diminta sembunyi di rumah dan kamar, menutup mulut, dan dilarang bersentuhan. Dunia seolah berhenti bergerak. Saat wabah menyergap kota atau lingkungan kita, kepanikan, kegelisahan, dan rasa cemas segera menggayuti jiwa. Adakah sebentar lagi giliran kita? Mampukah kita bertahan hidup? Pertanyaan ini tersimpan dalam pikiran, tak terujarkan. Virus korona jenis baru ini mengantarkan manusia sejagat berhadapan dengan sang penyambar nyawa tak kasatmata. Saat ancaman kematian memadati pikiran, bagaimana manusia seharusnya bersikap? Apakah kita dapat mengantisipasi positif situasi mencekam ini? Mungkinkah virus  ganas ini justru menjadi media transformatif konstruktif nilai otentik kemanusiaan? ”Immortal” Tidak ada yang lebih absurd daripada terlahir untuk mati. Tidak seperti perjalanan biji menjadi buah yang matang, atau coretan tulisan berkembang jadi novel yang diterbitkan, perjalanan hidup manusia justru berakhir dalam liang lahad atau kremasi. Kematian membayangi aktivitas manusia, baik ada wabah maupun tidak. Manusia pada umumnya mengatasi bersitan kematian dalam pikiran dengan menyibukkan diri atau melupakannya. Kepasrahan terhadap kematian adalah hal lumrah bagi kebanyakan orang. Namun, sejumlah ilmuwan dan miliuner bekerja sama memilih melawan kematian. Mereka mengidamkan keabadian. James Strole, direktur organisasi Coalition of Radical Life Extension, mengumpulkan sejumlah ilmuwan yang antusias mengembangkan imortalitas. Peter Thiel, tokoh terkemuka Silicon Valley dan pendiri PayPal yang berharta pribadi 2,2 miliar dollar AS, amat serius menepis kefanaan. Bersama Jeff Bezos, pendiri Amazon, Thiel mendirikan proyek Unity Biotechnology yang bertujuan memerangi penuaan. Sergey Brin dan Larry Page, pendiri Google, mengucurkan jutaan dollar AS ke perusahaan Calico untuk mengembangkan proyek mengatasi kematian. Pengusaha Aram Sabeti meyakini manusia dapat hidup abadi. ”Keabadian tidak melanggar hukum alam, kita dapat  mencapainya,” ujarnya kepada media The New Yorker.     Bill Maris dalam wawancara pada 2015 mengatakan, ”Jika Anda menanyakan apakah mungkin manusia hidup 500 tahun, maka jawabannya ’ya’”. Maris bukan membual. Perusahaan Google Ventures yang ia pimpin sedang berinvestasi besar pada proyek yang bertujuan memanjangkan umur manusia. Terlepas apakah keabadian akan menjadi realitas, tetapi para filsuf menyangsikan manusia menghendaki immortal. Makna kematian Para filsuf berargumen, hidup abadi adalah hal yang paling tidak diinginkan manusia. Tanpa kematian, hidup akan kehilangan nilai dan makna. Kita merencanakan masa depan dengan mengetahui keterbatasan kehidupan. Setiap keputusan manusia mengantisipasi keterbatasan waktu. Tanpa ada keterbatasan waktu, maka tidak ada prioritas dalam bersikap. Urgensi aktivitas terjadi karena cepat atau lambat manusia akan kehilangan waktu. Kehidupan dan kreativitas manusia menjadi bermakna besar karena adanya potensi bahaya terus-menerus yang mengancam kematian. Kehidupan panjang tak serta-merta menjadi sumber kebahagiaan. Hidup adalah fakta eksistensi yang netral. Dalam perjalanan hidup terdapat berbagai kemungkinan pengalaman, pilihan, serta potensi menghadapi nasib baik dan buruk. Tak ada jaminan hidup panjang membawa lebih banyak kenikmatan dibanding derita atau lebih banyak sehat dibanding sakit. Para filsuf berargumen, hidup abadi adalah hal yang paling tidak diinginkan manusia. Jika manusia diminta memilih tiga pilihan panjang usia berikut: pertama, mati saat berumur 25 tahun dalam kebahagiaan sepanjang hidup; kedua, mati saat usia 50 tahun dengan kompleksitas kebahagiaan dan kesusahan; ketiga, hidup hingga satu abad, tetapi penuh dengan derita, mana yang mau dipilih? Manusia tentu berharap umur panjang yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Hidup autentik Manusia, berbeda dengan hewan, terbebani pengetahuan bahwa ia akan mati. Para filsuf mengisyaratkan, sikap yang tepat terhadap kematian justru menjadi kunci kebahagiaan. Menyiapkan kematian adalah pembelajaran bagaimana cara hidup yang baik. Epicurus, filsuf Yunani (341-270 SM), mengajarkan manusia untuk menepis pikiran buruk tentang kematian. Takut mati adalah hambatan utama meraih ketenangan. Ketakutan terhadap kematian, menurut Epicurus, adalah irasional. Kematian, suatu yang paling menyeramkan dari segala hal buruk, tidak akan berarti apa-apa karena kematian belum hadir saat kita hidup dan saat kematian hadir kita sudah tiada. Rumi, penyair sufi (1207-1273), menulis pesan kematian dalam kitab Mastnawi, ”Jika kau takut dari kematian, kau takut pada dirimu sendiri. Itulah wajah burukmu, bukan kematian”. Mati, menurut Epicurus, tidak sakit atau menyedihkan. Kita toh tidak pernah sedih dengan sesuatu sebelum kita terlahir, maka semestinya kita tak perlu khawatir dengan ketiadaan diri kita. Pandangan Epicurus tidak sepenuhnya selaras dengan perspektif teologi. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf Barat asal Jerman, menyajikan pandangan radikal tentang kematian. Heidegger tidak memaknai mati sebagai proses kehancuran tubuh (perish), tetapi lebih pada proses meninggal dunia atau dengan istilah being toward death. Kecemasan (angst) dalam berhadapan dengan ancaman kematian ini merupakan proses penting menyibak makna hidup.     Tanpa ancaman kehidupan, manusia kerap terasing dari dirinya sendiri. Saat pikiran kematian memaksa masuk dalam radar pada umumnya, manusia akan segera menepis dengan mengalihkan kepada kesibukan yang menghibur diri. Pada situasi aman, manusia terhanyut dalam identitas keseharian yang banal dan lupa akan diri sendiri. Manusia melarutkan diri sesuai cara sikap dan berpikir kebanyakan orang. Kita menikmati dan bersenang-senang seperti orang lain; kita gusar seperti orang lain gusar. Kita ikut panik menghadapi keadaan karena masyarakat panik. Kecemasan kematian menyingkap kesejatian dan mentransformasi kehidupan yang penuh simbol menjadi hidup otentik. Kebanggaan ras, kemurnian agama, keistimewaan kelompok, ketinggian jabatan dan gelar akan teruntuhkan saat kecemasan kematian menyembul keluar. Ancaman kematian Covid-19 menjadi efek kejut yang mendorong manusia kembali kepada pemahaman diri yang benar. Kegelisahan komunal saat ini seolah menjadi ajakan untuk kembali mewujudkan kebersamaan dan kerendahan hati yang merupakan sifat luhur manusia. (A Fauzi Yahya, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Peminat Filsafat)