Teror Korona dalam Arus Konservatisme Warga Diskursus Covid-19 tak lagi terbatas pada arena medik. Dampak keganasan virus korona merambah ruang perdebatan sosial dan politik. Upaya mengatasinya makin pelik di tengah orientasi masyarakat yang kian konservatif. Oleh Bestian Nainggolan 3 April 2020 · 6 menit baca   Sejak pasien pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, hingga kini deretan angka pasien positif Covid-19 meningkat drastis. Jumlah penderita sudah dalam hitungan ribuan. Angka kematian pun mencapai lebih dari 100 atau dalam kisaran 9 persen dari total penderita. Begitu pula sebaran kasus semakin masif. Dalam kurun sebulan, misalnya, kasus Covid-19 sudah teridentifikasi di 31 provinsi. Nyaris merambah seluruh wilayah di negeri ini. Di balik keganasan Covid-19, ruang-ruang perdebatan sosial dan politik turut bergolak. Paling menonjol, terkait dengan eksistensi negara. Dalam persoalan penanganan pandemi, misalnya, dua arus perdebatan tampak nyata. Di satu pihak, pandangan bahwa negara bersama aparatusnya tampak kurang siap dan lamban dalam menghadapi krisis. Argumentasinya, sejauh ini tidak tampak putusan dan tindakan yang dinilai mampu secara efektif mengubah drastis pola kehidupan masyarakat dalam melawan keganasan virus. Umumnya, mereka yang berseberangan dengan sepak terjang pemerintah menilai, dalam menghadapi laju penularan virus yang meningkat eksponensial, harus dilakukan upaya radikal. Narasi penutupan akses wilayah atau lockdown, misalnya, tuntutan strategi yang paling banyak diutarakan. Pada akhirnya semua ini berujung pada pertimbangan ketepatan waktu, bukan semata soal kecepatan. Bagi mereka, jika pemerintah tidak bertindak lebih agresif lagi, skenario kegagalan semakin di ambang mata. Begitu pula jika becermin pada kondisi penanganan kasus di negara-negara lain, seperti China, Korea Selatan, Italia, Iran, India, ataupun negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, maka Indonesia lebih layak ditempatkan pada kelompok negara yang problematik. Baca juga: UN yang Terhapus karena Covid-19 Namun, pada pihak lain, terdapat pula pandangan sebaliknya, yang menganggap negara dan aparatusnya sudah dalam jalur kebijakan yang tepat. Persoalan pandemi tidak lagi hanya semata-mata persoalan keganasan penularan virus. Lebih dari itu, setiap aspek kehidupan negara dan masyarakat, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun politik, bertautan. Tiap-tiap aspek berelasi dan berpengaruh secara timbal balik. Menyadari tautan yang saling berefek itulah, tampaknya kalkulasi manfaat dan kerugian dari seluruh aspek menjadi penting. Pada akhirnya semua ini berujung pada pertimbangan ketepatan waktu, bukan semata soal kecepatan. Bisa jadi inilah mengapa tindakan-tindakan radikal yang serba cepat tidak menjadi pilihan. Baca juga: Ketika Semua Harus Dilakukan di Rumah Sebaliknya, langkah yang cenderung gradual menjadi pilihan. Dalam tindakan preventif, misalnya, upaya jaga jarak sosial antarindividu atau pembatasan sosial (social distancing) lebih banyak digemakan. Salah satu caranya, menurut Presiden Joko Widodo, dengan memulai mengurangi aktivitas berkelompok di luar rumah. ”Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah,” ujar Jokowi dalam konferensi pers, Minggu (15/3/2020). Bagi warga, diskursus pandemi Covid-19 disikapi pula dengan antusias. Hasil survei Kompas pada pekan pertama Maret 2020, misalnya, mayoritas mengikuti secara intens pemberitaan virus korona. Lebih dari separuh responden di antaranya mengikuti pemberitaan di berbagai media, baik surat kabar, televisi, maupun media daring. Adapun seperempat lainnya melalui media sosial. Antusiasme mengikuti pemberitaan didasari rasa kekhawatiran mereka. Tidak kurang dari dua pertiga bagian responden yang merasa khawatir, bahkan sangat khawatir terhadap ancaman virus korona. Baca juga: Jiwa Raga Sehat, Covid-19 Lenyap Yang menarik, di tengah rasa khawatir yang melanda, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah masih besar. Dari sisi antisipasi dan penanganan, misalnya, terdapat bagian yang cukup besar dari responden yang menganggap upaya pemerintah kurang memadai. Akan tetapi, terlihat masih lebih banyak responden yang justru menganggap jika upaya yang dilakukan pemerintah sudah memadai dalam mengantisipasi ataupun menangani kasus-kasus yang bermunculan. Begitu pula dari sisi komunikasi publik. Di tengah kritik publik yang gencar, faktanya apresiasi relatif lebih banyak diungkapkan. Dalam hasil jajak pendapat ini, mayoritas (58,5 persen) menilai sudah baik. Dengan apresiasi itu, tak heran jika mayoritas responden merasa yakin pemerintah mampu mengatasi kasus virus korona. Baca juga: Upaya Melawan Hoaks Covid-19   Hanya saja, dialektika Covid-19 belum usai. Menjadi persoalan selanjutnya, bagaimana kini warga menyikapinya dalam keseharian mereka. Perlu dicermati lebih jauh, apakah kondisi-kondisi psikososial mereka memang benar-benar sejalan dengan narasi negara terkait dengan pencegahan ataupun penanganan kasus Covid-19. Jika ditelusuri, faktanya tidak semua berjalan paralel. Dalam berbagai kasus nuansa resistensi bahkan tidak lagi samar dinyatakan. ”Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah”, misalnya, memang dirujuk. Namun, tak sedikit pula yang mengabaikannya. Bahkan, sejalan dengan waktu, aktivitas keluar dari kediaman mulai ramai dilakukan. Anjuran tidak meninggalkan kediaman (kota) belakangan justru diikuti acara pulang kampung sebagian warga kota. Demikian pula resistensi terhadap perubahan tata laksana peribadatan masih kerap terjadi, dengan bersikukuh dalam model ritual kerumunan massa. Sejalan dengan makin meningkatnya jumlah korban dan sebaran wilayah kasus, persoalan-persoalan Covid-19 menjadi semakin problematik. Ancaman Covid-19 ini terlebih berlangsung di tengah arus orientasi sosiopolitik masyarakat yang tengah berubah, menjadi semakin konservatif. Perubahan orientasi warga yang beranjak menjadi semakin konservatif ini dapat disimpulkan dari tiga hasil survei Kompas yang dilakukan secara periodik pada 2018-2019. Memang, konservatisme dalam kajian tersebut lebih banyak merujuk pada suatu pola penyikapan individu yang diekspresikan terhadap berbagai persoalan-persoalan sosial ataupun politik yang dihadapinya.   Kompas/Heru Sri Kumoro Kampanye #dirumah saja di sebuah mal di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Imbauan pemerintah agar bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, dan pembatasan sosial sebagai upaya pencegahan meluasnya penularan Covid-19. Meski demikian, kajian tersebut dinilai relevan dalam memotret kondisi masyarakat saat dihadapkan pada ancaman pandemik kali ini. Kecenderungan warga bersikap ”konservatif”, misalnya, ditandai kecenderungan setiap responden untuk bertahan dengan kondisi yang ada dan enggan mengambil risiko untuk berubah. Apabila setiap warga dalam menyatakan sikapnya menjadi terlalu berlebihan dalam mempersepsi ancaman (overperceiving), terlalu curiga pada hal-hal baru atau yang tidak familier (oversuspicious), terlalu percaya pada otoritas atau institusi yang mapan (overtrusting), hingga dinilai terlalu melindungi apa pun yang telah mereka miliki (overprotective), maka ia makin konservatif. Dalam posisi berseberangan, terjadi pada mereka yang tergolong ”moderat”. Dalam survei ini, kelompok moderat cenderung permisif dalam setiap persoalan. Dikatakan moderat karena mereka tidak menutup rapat setiap potensi perubahan. Dari kedua jenis orientasi individu tersebut, hasil survei menunjukkan adanya peningkatan proporsi responden yang tergolong konservatif dari sisi politik dan sosial. Pada survei Maret 2018, misalnya, masih terdapat 19,4 persen responden tergolong konservatif. Setahun kemudian (Maret 2019) menjadi 22,8 persen. Begitu pula pada survei selanjutnya, Oktober 2019, kembali meningkat. Saat itu menjadi 24,7 persen responden bersifat konservatif. Jika di satu sisi terjadi peningkatan kelompok responden konservatif, di sisi lain justru terjadi penurunan responden yang bersifat moderat. Gambarannya, apabila survei pada Maret 2018 masih 41,1 persen tergolong moderat, baik secara politik maupun sosial, maka pada survei terakhir menyusut, tinggal 34,8 persen. Sementara itu, mereka yang terkategorikan ”campuran” relatif tetap. Kelompok ini merupakan gabungan dari setiap responden yang di satu pihak secara politik bersikap moderat, tetapi secara sosial cenderung konservatif dan sebaliknya cenderung bersikap moderat dalam persoalan sosial, tetapi beralih menjadi konservatif pada politik. Dalam arus perubahan orientasi semacam itu, kebijakan-kebijakan yang berupaya mengubah tatanan kehidupan keseharian warga menjadi semakin tidak mudah terwujud. (LITBANG KOMPAS)