Belajar dari Rumah Belajar dari Rumah Belajar dari rumah bukanlah liburan. Semua pihak perlu mendukung satu sama lain dan memahami satu sama lain sehingga tidak satu pun dirugikan dengan kondisi ini. Oleh Doni Koesoema A   Belajar dari rumah, berkah atau musibah? Banyak pihak tergagap-gagap terhadap dampak pandemi Covid-19 bagi dunia pendidikan. Tanpa komunikasi, koordinasi, dan fasilitasi, konsep belajar dari rumah hanya akan menjadi musibah. Sinergi adalah kata kuncinya. Sudah hampir enam minggu, guru, siswa, dan orangtua yang terdampak Covid-19 bekerja dan belajar dari rumah. Dinas Pendidikan Kota Tangerang bahkan sudah membuat surat edaran untuk membelajarkan peserta didik di rumah sampai setelah Lebaran. Mengajar dan belajar dari rumah akan mengisi hari-hari para guru dan peserta didik sampai akhir tahun ajaran nanti. Edaran Mendikbud Mendikbud sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease dan memberikan panduan bagaimana belajar dari rumah. Intinya, belajar dari rumah dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh/daring. Pembelajaran mesti bermakna, tanpa beban penuntasan capaian kurikulum, fokus pada kecakapan hidup aktual (belajar tentang Covid-19), kegiatan belajar bervariasi sesuai minat dan kondisi, serta mempertimbangkan fasilitas yang tersedia, bukti aktivitas pemelajaran dari rumah diberi umpan balik oleh guru tanpa harus memberi penilaian berupa skor. Banyak pihak merasa SE ini masih terlalu umum dan perlu panduan lebih praktis bagaimana kegiatan belajar dari rumah dilaksanakan. Namun, ada yang mengatakan, SE ini sudah mencukupi sebagai panduan bagi pengelola satuan pendidikan. Di era merdeka belajar, tak perlu banyak panduan. Beri kepercayaan dan kebebasan kepada pelaku pendidikan untuk menentukan apa yang terbaik bagi peserta didik. Beri kepercayaan dan kebebasan kepada pelaku pendidikan untuk menentukan apa yang terbaik bagi peserta didik. Kendali mutu Pemberian kepercayaan kepada guru dan satuan pendidikan di era merdeka belajar tanpa ada mekanisme kontrol akan melahirkan praktik pendidikan yang liar dan tak terkendali. Di Bali, misalnya, siswa mengeluh karena diminta guru mengerjakan tugas mandiri secara daring (online) dengan terlebih dahulu melihat video melalui kanal Youtube dengan durasi 20 menit. Ini baru satu tugas dari satu guru. Orangtua dan siswa merasa keberatan karena di masa krisis ekonomi seperti sekarang, pembelian kuota internet akan sangat memberatkan. Lebih dari itu, masih ada sekolah yang meminta siswa untuk menyerahkan hasil pekerjaan ke sekolah. Alasan guru, ”Saya saja tetap datang ke sekolah tidak masalah, yang penting dijaga jarak fisik.” Masyarakat banyak belum paham dampak virus Covid-19 dan masih menganggap sepele. Guru, siap atau tidak siap, harus mau belajar bagaimana mempergunakan teknologi pembelajaran daring untuk pengajaran. Situasi ini menjadi berkah karena memaksa guru berlatih menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Akibatnya, guru menjadi familiar dengan berbagai aplikasi gratis, seperti Google Classroom, Google Hangout, Google Meet, Zoom, dan Skype, sebagai alternatif solusi pembelajaran jarak jauh. Meski pemakaian aplikasi gratis, sebenarnya guru tetap membayar melalui kuota pemanfaatan jaringan internet. Dalam jangka pendek pun sudah memberatkan, apalagi dalam jangka panjang. Pembelajaran daring berkonsekuensi pada kondisi keuangan individu atau keluarga. Pengawas sekolah merasa bertanggung jawab lebih untuk mengamankan kegiatan belajar. Sayangnya, tanpa koordinasi yang baik, penyelia sekolah bisa menentukan kebijakan sendiri-sendiri. Di Jakarta Barat, ada pengawas yang meminta setiap guru membuat video pembelajaran daring, seperti aplikasi pembelajaran berbayar, lalu diunggah di medsos. Ini dipakai sebagai bukti guru tetap bekerja meski di rumah. Kegiatan seperti ini, meskipun baik, tetap akan memberatkan guru secara finansial karena menghabiskan kuota internet. Beberapa sekolah, negeri dan swasta, yang sudah memiliki infrastruktur pembelajaran daring memanfaatkan yang sudah dimiliki untuk menyiasati belajar dari rumah. Bahkan, yayasan yang mengelola satuan pendidikan memaksa para guru setiap kali membuat program belajar mengunggahnya dalam laman pembelajaran sebagai bukti bekerja dari rumah.   Asumsinya seolah-olah proses belajar berjalan normal seperti biasa. Ini tentu sangat memberatkan. Tak semua guru memiliki kepiawaian memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Tuntutan-tuntutan seperti ini akan melelahkan mental dan psikologi guru. Di Tangerang Selatan, pengelola satuan pendidikan swasta ada yang mengeluh karena kondisi siswa yang belajar dari rumah menimbulkan persepsi dalam diri orangtua bahwa anak-anak libur. Akibatnya, orangtua merasa tak perlu bayar uang sekolah (sumbangan pembiayaan pendidikan) karena guru tak mengajar dan anaknya tak belajar di sekolah. Kalau seperti ini, sekolah kami bisa tutup, keluh mereka. Kondisi pendidikan di Indonesia sangat beragam. Latar belakang orangtua peserta didik juga bervariasi, baik dari sisi status sosial ekonomi maupun kemampuan mendampingi peserta didik selama anak-anak belajar dari rumah. Orangtua yang biasa bekerja dan sekarang harus bekerja dari rumah akan merasakan beban ganda, yaitu mengerjakan pekerjaan sendiri dan mendampingi anaknya belajar dari rumah. Ini semakin menyulitkan orangtua yang mengandalkan penghasilan dari pekerjaan harian. Belum lagi kondisi infrastruktur di beberapa daerah belum memungkinkan dilaksanakannya pembelajaran daring karena tak ada jaringan internet, jalur telekomunikasi, dan listrik. Membangun komunikasi Hal terpenting agar hak belajar anak tetap terpenuhi dalam situasi krisis ini adalah membangun komunikasi yang baik antara sekolah, orangtua, dan pemda. Komunikasi efektif memungkinkan setiap pelaku pendidikan memahami peran dan tugas mereka lebih baik. Semua peranan yang biasa dilakukan dalam kondisi normal tentu tak dapat dilakukan sepenuhnya. Oleh karena itu, masing-masing perlu memahami ini situasi luar biasa, tidak normal, sehingga cakupan tugas dan peranan perlu didefinisikan kembali. Komunikasi di sekolah juga diperlukan antara guru dan guru, kepala sekolah dan guru, dan khusus untuk sekolah swasta, antara yayasan serta kepala sekolah dan guru. Jadwal pembelajaran daring tidak bisa berlaku seperti layaknya situasi normal. Perlu ada fleksibilitas dalam hal waktu, materi, dan sistem evaluasi sehingga bekerja dan mengajar dari rumah tak malah jadi beban. Perlu ada fleksibilitas dalam hal waktu, materi, dan sistem evaluasi sehingga bekerja dan mengajar dari rumah tak malah jadi beban. Komunikasi sekolah dengan orangtua juga diperlukan agar tidak ada satu anak pun tertinggal karena tidak memiliki fasilitas pembelajaran daring. Sekolah perlu lebih dekat berkomunikasi dengan orangtua. Wali kelas menjadi ujung tombak proses komunikasi ini sehingga belajar dari rumah tetap terdampingi dengan baik. Kepala dinas pendidikan setempat, melalui aparat birokrasinya, juga perlu berkomunikasi dengan satuan pendidikan bagaimana menyiasati proses belajar di masa darurat akibat Covid-19 ini agar pengalaman belajar tetap diperoleh peserta didik tanpa memberikan beban tambahan yang malah mempersulit sekolah ataupun siswa. Kemendikbud perlu memiliki gugus tugas yang menjembatani komunikasi publik dengan guru dan orangtua jika ada masalah pembelajaran sehingga dapat memberikan solusi dan panduan agar hak-hak belajar peserta didik tetap terpenuhi. Meski SE sudah cukup jelas, di banyak tempat, SE ini tidak operasional, terlebih di daerah yang masih kesulitan akses listrik dan jaringan internet. Apabila komunikasi terjalin baik, koordinasi pembelajaran dari rumah akan semakin mudah. Pemerintah dan pengelola sekolah swasta perlu memastikan bukti tagihan bahwa guru telah melaksanakan tugas mengajar dari rumah tidak memberatkan dengan memberikan kepada mereka beban-beban administrasi dan laporan-laporan yang tidak perlu. Untuk sekolah swasta, yayasan perlu memikirkan insentif finansial tambahan ketika meminta para guru mengajar dari rumah mempergunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Bagi sekolah yang memiliki persoalan keterbatasan akses komunikasi, agar siswa tetap dapat belajar dari rumah, sekolah perlu membuat mekanisme koordinasi pembelajaran di tingkat lokal agar proses belajar tetap berjalan dengan baik dengan memperhatikan protokol pencegahan Covid-19 yang berlaku dalam dunia pendidikan. Fasilitasi dan sinergi Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab menyediakan fasilitas pembelajaran bagi peserta didik sesuai dengan kondisi masing-masing. Kemendikbud harus berusaha mengembangkan platform Rumah Belajar daring sehingga menjadi sumber rujukan pembelajaran yang menarik, interaktif, dan gratis bagi semua anak Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab menyediakan fasilitas pembelajaran bagi peserta didik sesuai dengan kondisi masing-masing. Pemerintah pusat juga bisa menyediakan sarana belajar melalui kanal-kanal pemerintah yang bisa dimanfaatkan, seperti Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI), untuk memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Komunikasi, koordinasi, dan fasilitasi akan semakin efektif jika menjadi sebuah sinergi di antara berbagai pelaku pendidikan. Sinergi dibutuhkan antara satuan pendidikan, yayasan, orangtua, masyarakat, dan pemerintah agar terjadi kesalingmengertian untuk mendukung kegiatan belajar dari rumah. Belajar dari rumah bukanlah liburan. Semua pihak perlu mendukung satu sama lain dan memahami satu sama lain sehingga tidak satu pun dirugikan dengan kondisi ini. Kita perlu menerima dan mengakui bahwa Covid-19 adalah persoalan kita semua. Kondisi ini mendisrupsi proses belajar dan praktik pendidikan kita. Sikap terbuka dalam berkomunikasi, kepiawaian satuan pendidikan dan pemerintah dalam melakukan koordinasi, serta prioritas pemerintah untuk fasilitasi pendidikan di daerah-daerah yang membutuhkan akan mengubah musibah jadi berkah bagi kinerja pendidikan kita. Semoga. (Doni Koesoema A, Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019-2023)