Simalakama Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Langkah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada masa pandemi Covid-19 ini merupakan keputusan yang penting ditinjau dengan cermat. Oleh GIANIE   Keputusan menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada masa pandemi Covid-19 ini ibarat memakan buah simalakama. Jika dilakukan rakyat terbebani, tetapi jika sebaliknya, anggaran negara akan tergerogoti. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan membuat sepanjang 2020 ini terdapat tiga acuan pemberlakuan iuran peserta JKN-KIS atau BPJS Kesehatan. Pada periode Januari-Maret 2020, bagi peserta yang merupakan pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP), berlaku iuran BPJS Kesehatan yang baru untuk setiap kelas perawatan. Iuran untuk perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Iuran untuk perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Sementara iuran untuk perawatan kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi 160.000. Kenaikan iuran yang berkisar mulai dari 65 persen hingga 115 persen ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Baru berjalan tiga bulan, keputusan iuran baru BPJS Kesehatan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Maret 2020 lewat putusan MA Nomor 7P/HUM/2020. Alasannya, antara lain, pelayanan BPJS Kesehatan belum optimal. Kenaikan iuran BPJS dalam kondisi ekonomi global yang sedang tidak menentu saat ini dinilai sebagai aturan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat. Selain itu, MA juga berpendapat defisit dana jaminan sosial yang disebabkan masih buruknya pengelolaan dan pelaksanaan program tidak boleh dibebankan kepada masyarakat. Baca juga : Kenaikan Iuran Bukan Solusi Atasi Sengkarut BPJS Kesehatan Oleh karena itu, sejak April, iuran BPJS Kesehatan kembali ke angka yang lebih rendah mengacu pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu Rp 25.500 untuk kelas III, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 80.000 untuk kelas I. Meski iuran BPJS Kesehatan sudah dikembalikan ke angka yang lebih bisa diterima, masyarakat telanjur ada yang menghentikan kepesertaannya atau tidak lagi menjadi peserta JKN karena alasan tertentu. Hal ini terlihat dari jumlah peserta program JKN per akhir April 2020 yang menurun dibandingkan kondisi per akhir Desember 2019. Angka penurunan sebesar 1,2 juta peserta atau turun 0,54 persen, dari 224.149.019 peserta per Desember 2019 menjadi 222.939.830 peserta per April 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kelompok peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya ditanggung pemerintah daerah lewat dana APBD, yaitu turun 7,15 persen atau sebanyak hampir 2,8 juta orang. Sementara kelompok peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan bekerja hanya bertambah 0,29 persen atau 102.566 peserta. Selang sebulan setelah pembatalan kenaikan iuran BPJS oleh MA, pemerintah menerbitkan perpres baru tentang kenaikan iuran BPJS yang akan berlaku pada Juli 2020. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2020 menyebutkan, kenaikan iuran terjadi pada kelompok peserta PBPU dan BP kelas II (menjadi Rp 100.000) dan kelas I (menjadi Rp 150.000). Sementara iuran bagi kelas III tetap Rp 25.500. Kenaikan iuran bagi kelas III baru akan berlaku pada 2021 menjadi Rp 35.000. Baca juga : Tahun Ini Iuran JKN-KIS Tetap Naik Perspektif pemerintah Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dimaksudkan untuk keberlanjutan program BPJS Kesehatan itu sendiri. Menurut pemerintah, negara tetap hadir dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan pada masa Covid-19. Hal itu terlihat dari dukungan tanggap Covid-15, di mana agar status kepesertaan tetap aktif pada masa pandemi, tunggakan dapat diaktifkan kembali dengan melunasi iuran paling banyak 6 bulan. Kelonggaran sisa pelunasan tunggakan juga diberikan sampai 2021. Selain itu, pemerintah tetap memberikan subsidi 100 persen bagi 132,6 orang peserta PBI yang didaftarkan pemerintah daerah. Pemerintah juga memberi subsidi bagi peserta PBPU dan BP kelas III sebesar Rp 16.500 per orang untuk periode Juli-Desember 2020 dan Rp 7.000 untuk 2021. Pemerintah juga melakukan penyesuaian APBN 2020 untuk mengakomodasi bertambahnya subsidi akibat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Subsidi iuran peserta PBPU dan BP kelas III ditambah Rp 3,01 triliun untuk 2020. Oleh karena kenaikan iuran BPJS lebih ditujukan bagi peserta kelas II dan I, dan baru diberlakukan Juli nanti, terbuka opsi bagi masyarakat untuk menurunkan kelas perawatan sehingga kepesertaan mengikuti kemampuan peserta untuk membayar. Terbuka pula kemungkinan jenis kepesertaan berubah dari peserta PBPU dan BP, terutama yang kelas III, menjadi peserta PBI yang 100 persen disubsidi pemerintah oleh karena kondisi terdampak Covid-19. Gotong royong tetap menjadi prinsip dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan agar setiap warga negara bisa menikmati layanan kesehatan yang baik. Prinsip ini sangat ditekankan untuk menekan defisit pembiayaan BPJS yang terus meningkat. Hingga 2019, defisit mencapai Rp 30 triliun dan akan membesar lagi pada 2020.   Baca juga : Gotong Royong demi BPJS 2020   Celah digugat Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada masa pandemi Covid-19 ini kembali menimbulkan polemik di masyarakat. Pemerintah dianggap tidak berpihak ke masyarakat yang mengalami kesulitan akibat perekonomian yang melambat di kala pandemi. Termasuk, pemerintah tidak menghormati dan menjalankan keputusan MA. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 ini bisa saja kembali digugat ke MA. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, situasi pandemi dan kondisi perekonomian global yang kian tidak menentu saat ini dapat menjadi dasar pertimbangan kuat meninjau kenaikan iuran. Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan, penentuan kenaikan atau besaran iuran untuk setiap jenis program jaminan sosial harus disesuaikan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Kedua, terkait pendapat MA yang menyatakan defisit dana jaminan sosial yang disebabkan masih buruknya pengelolaan dan pelaksanaan program tidak boleh dibebankan kepada masyarakat. MA berpandangan pengelolaan program JKN dengan jumlah kepesertaan yang sangat besar ini (223 juta jiwa) masih diwarnai dengan kesalahan dan kecurangan (fraud) yang menyebabkan terjadinya defisit. Kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan BPJS Kesehatan haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana tanpa harus membebankannya kepada masyarakat dengan menaikkan iuran peserta. Kurun waktu sekitar sebulan sejak pembatalan kenaikan iuran oleh MA hingga terbitnya Perpres No 64/2020 rasanya belum cukup untuk upaya perbaikan pengelolaan seperti yang diharapkan MA. Ketika pemerintah telah berupaya optimal membenahi pengelolaan program JKN dan secara transparan menyampaikannya kepada masyarakat, mungkin ketika itu keputusan menaikkan iuran bisa diterima dengan lebih baik. (LITBANG KOMPAS)