Menengok Upaya Pembukaan Sekolah Saat Pandemi Sejumlah negara membuka sekolah meski pandemi Covid-19 masih berlangsung. Indonesia tetap memerlukan kajian khusus sebelum menerapkan kebijakan pembukaan sekolah. Oleh Dedy Afrianto     Kompas/Priyombodo Petugas dari PMI Kota Tangerang menyemprotkan cairan disinfektan di ruang kelas SD Negeri 1 Tangerang, Banten, Rabu (3/6/2020). Penyemprotan itu sebagai langkah sterilisasi lingkungan sekolah dari Covid-19. Banyak sekolah belum siap membuka kembali kegiatan belajar-mengajar tatap muka secara fisik. Sejumlah negara di dunia telah membuka sekolah meski status pandemi Covid-19 belum dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kebijakan ketat diterapkan guna menjamin kesehatan pelajar dan tenaga pengajar. Beberapa negara di Benua Asia, Eropa, dan Afrika telah membuka sekolah dan memulai aktivitas belajar secara tatap muka. Keputusan ini diambil sesuai dengan kondisi penambahan jumlah kasus positif Covid-19 secara harian yang mulai melandai di sejumlah negara. Menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), hingga 9 Juni 2020, dampak dari pembukaan sekolah telah dirasakan oleh 94,6 juta pelajar. Jumlah siswa yang mulai merasakan proses belajar di sekolah terus bertambah sejak 18 Mei (30,7 juta pelajar) seiring dengan pelonggaran kebijakan karantina skala lokal ataupun nasional.   Di Benua Asia, pembukaan sekolah telah dilakukan di sejumlah negara seperti Vietnam, Jepang, dan Korea Selatan. Pembukaan sekolah dilakukan setelah negara-negara itu menerapkan kebijakan ketat pada setiap pergerakan warga. Kebijakan serupa juga diterapkan di sejumlah negara Eropa seperti Perancis, Belarusi, Austria, Korasia, dan Swiss. Sementara di Benua Afrika, kebijakan pembukaan sekolah mulai dilakukan oleh Niger dan Burundi. Pembukaan sekolah juga dilakukan Australia dan Selandia Baru. Sementara di Benua Amerika, hampir seluruh negara masih menerapkan penutupan sekolah, baik skala nasional maupun regional.  Hal ini tidak lepas dari kondisi negara-negara di benua itu yang masih mencatatkan penambahan jumlah kasus dalam skala besar.   REUTERS/LUC GNAGO Murid mengenakan masker saat mempraktikkan jaga jarak saat pembukaan kembali sekolah setelah proses karantina untuk melawan Covid-19 di Abidjan, Pantai Gading, Senin (25/5/2020). Kebijakan Bagi negara-negara yang telah membuka sekolah, terdapat sejumlah kebijakan khusus yang diterapkan guna menjamin kesehatan para peserta didik dan tenaga pengajar. Kebijakan ini diterapkan setelah melalui pertimbangan kesehatan dari lembaga negara yang berwenang. Di Perancis, misalnya, kebijakan pembukaan sekolah telah dilakukan sejak 11 Mei seiring penurunan jumlah kasus positif Covid-19 secara harian. Menurut catatan John Hopkins University, jumlah kasus positif Covid-19 secara harian di Perancis telah mengalami penurunan sejak awal Mei. Jika pada Maret dan April penambahan pasien positif harian dapat mencapai di atas 4.000 kasus, sejak Mei penambahan kasus harian turun hingga mencapai ratusan kasus. Kondisi ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembukaan sekolah. Namun, pembukaan sekolah dilakukan secara bertahap mulai dari sekolah menengah dan hanya berlaku di daerah yang termasuk zona hijau. Pembukaan sekolah secara bertahap mengindikasikan bahwa Perancis sangat berhati-hati dalam memulai proses belajar secara tatap muka di tengah pandemi. Jumlah pelajar dalam satu kelas juga dibatasi maksimal 15 orang. Sementara untuk taman kanak-kanak, setiap kelas hanya dapat diisi maksimal 10 anak. Pembatasan dilakukan untuk memberi ruang yang lebih leluasa bagi pelajar untuk menjaga jarak. Meski sekolah umum telah mulai dibuka, belajar secara tatap muka belum dilakukan pada tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa masih melakukan kegiatan pembelajaran jarak jauh karena telah mulai menggunakan sistem tersebut sejak sebelum pandemi Covid-19.   Di Benua Asia, kegiatan belajar secara tatap muka juga dilakukan di Jepang. Kerja sama antara sekolah dan orangtua dilakukan untuk menjamin kesehatan anak sebelum tiba di sekolah. Saat akan berangkat ke sekolah, orangtua akan memeriksa suhu tubuh untuk memastikan anak dalam keadaan sehat. Saat tiba di sekolah, penggunaan masker diwajibkan dan setiap pelajar harus duduk terpisah 1 hingga 2 meter. Aktivitas lainnya seperti bermain dan bercakap sesama pelajar pun dibatasi. Pelajaran yang berisiko seperti menyanyi dalam kelas musik belum dapat dilakukan, terutama pada daerah yang masih memiliki kasus positif tinggi. Sementara untuk pelajaran olahraga atau pendidikan jasmani dapat dilakukan dengan syarat harus menghindari kontak fisik. Jepang menjadi salah satu negara yang sukses menekan penambahan kasus positif Covid-19 secara harian. Setelah melawati puncak penambahan kasus pada April lalu, jumlah kasus positif secara perlahan mulai berkurang. Bahkan, sepanjang awal Juni penambahan kasus mencapai puluhan kasus, jauh menurun dibandingkan dengan April lalu yang pernah menyentuh hingga ratusan kasus positif secara harian. Kebijakan pembukaan sekolah juga dilakukan di Selandia Baru seiring mulai melandainya penambahan kasus positif Covid-19 secara harian sejak April lalu. Hingga 9 Juni 2020, kasus positif di Selandia Baru mencapai 1.504 kasus, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti Australia (7.267), Singapura (38.514), dan Indonesia (33.076). Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh Selandia Baru adalah menyediakan sabun, air, dan sarana cuci tangan yang memadai bagi pelajar pada setiap sekolah. Larangan untuk ke sekolah diberlakukan bagi siswa yang sakit. Khusus bagi pelajar yang batuk atau flu akan dilakukan pemeriksaan untuk memastikan kondisi kesehatan pelajar. Sementara penutupan sekolah akan dilakukan jika terdapat indikasi adanya hubungan sekolah tersebut dengan kasus positif Covid-19. Jika dibandingkan dengan negara lain, kebijakan terkait pembukaan sekolah di Selandia Baru sedikit lebih longgar. Ini juga tidak terlepas dari rendahnya penambahan kasus harian yang rata-rata di bawah 100 kasus per hari sejak awal Maret lalu. Baca juga : Peta Jalan untuk Membuka Sekolah dengan Aman Strategi khusus Pembukaan sekolah tentu memiliki risiko ledakan kasus positif di kalangan pelajar jika tidak mempertimbangkan kondisi di setiap wilayah. Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) telah memberikan sejumlah rekomendasi bagi negara-negara yang ingin membuka sekolah, baik secara parsial maupun secara nasional. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem masuk sekolah secara bergilir. Ini dilakukan agar jumlah siswa di dalam kelas dapat dikurangi sehingga jaga jarak fisik dapat dilakukan secara optimal.   Selama di sekolah, memindahkan ruangan kelas ke ruangan terbuka seperti halaman kelas atau taman adalah hal yang juga dapat dilakukan. Selain untuk menjaga jarak, cara ini juga dapat bermanfaat untuk mencegah rasa bosan bagi anak yang selama ini selalu belajar dari dalam ruangan. Namun, perlu dipastikan taman atau halaman yang digunakan steril dari kunjungan umum untuk menjaga kesehatan pelajar. Selain proses belajar, waktu istirahat dan makan bagi para pelajar juga harus diperhatikan. Unicef menyarankan untuk memberi waktu makan secara bergilir. Ini penting dilakukan agar anak tidak lepas kendali dalam menjaga jarak fisik saat jam istirahat di sekolah. Khusus Indonesia, tentu diperlukan kajian khusus sebelum menerapkan kebijakan pembukaan sekolah. Dengan jumlah 68 juta pelajar dari berbagai jenjang pendidikan, salah ambil kebijakan akan berdampak pada risiko yang sangat fatal. Dari sisi kesehatan, kajian perlu dilakukan hingga tingkat kabupaten dan kota untuk mengetahui daya tular Covid-19 dan dampaknya bagi anak-anak. Apalagi, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 82 persen di antaranya telah mengonfirmasi temuan kasus positif Covid-19. Kajian penting dilakukan untuk memetakan daerah yang aman, khususnya bagi sektor pendidikan. Bagaimanapun pendidikan adalah sektor vital yang perlu dipertimbangkan secara matang untuk kembali dibuka. Pengalaman dari negara lain dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang tepat tanpa mengabaikan keselamatan pelajar dan tenaga pendidik. (LITBANG KOMPAS) Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?