JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi hingga Rabu (10/6/2020) telah menerima setidaknya enam permohonan gugatan, baik uji formal maupun materiil, terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Dua perkara sudah diregistrasi dan empat perkara lainnya baru masuk dalam tahapan pengajuan permohonan. Permohonan gugatan terbaru diajukan oleh Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (Tapera), Rabu (10/6/2020), di Jakarta. Sebelumnya, sidang pemeriksaan uji materi Perppu No 1/2020 yang diajukan ke MK harus berhenti ditengah jalan karena perppu sudah disahkan menjadi undang-undang, yaitu UU No 2/2020. Dengan demikian, perkara uji materi perppu otomatis kehilangan obyek gugatan. Juru bicara Tapera, Ali Alatas, mengatakan, pihaknya mengajukan dua gugatan, yaitu uji formal dan uji materiil terhadap UU No 2/2020. Alasannya, proses penetapan perppu menjadi UU dinilai cacat hukum karena tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. UU itu juga dinilai memberikan legitimasi kekuasaan eksekutif menumpuk kekuasaan lewat pengambilalihan fungsi dan kewenangan kekuasaan legislatif dan yudikatif yang bisa mengarah pada praktik totalitarianisme. UU itu juga dianggap merampas hak konstitusionalitas warga melakukan upaya hukum secara pidana, perdata, ataupun tata usaha negara jika mengalami kerugian atas tindakan hukum eksekutif melaksanakan UU tersebut. ”UU juga membuka keran potensi penyimpangan anggaran negara dan korupsi secara sistematis yang berlindung di balik alasan penyelamatan ekonomi,” ucap Ali. Pasal dalam UU No 2/2020 yang digugat di antaranya Pasal 27 yang menyatakan, biaya yang dikeluarkan pemerintah atau lembaga Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka kebijakan di bidang perpajakan, belanja Negara (termasuk keuangan daerah), pembiayaan, dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis, bukan kerugian negara. Selain pengajuan permohonan dari Tapera, ada dua perkara yang masuk dan teregistrasi di MK, yaitu dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Indonesia (Yappika). Gugatan lain berasal dari perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan dengan nomor registrasi 38/PUU-XVIII/2020. MAKI sebelumnya juga mengajukan uji materi Perppu No 1/2020. Namun, hingga saat ini, perkara itu belum putus. MK jadi penentu Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, mengatakan, banjirnya gugatan uji formal dan materiil di MK menunjukkan, masyarakat masih kritis terhadap kebijakan pemerintah. Seluruh kehidupan masyarakat memang terdampak akibat pandemi Covid-19. Namun, daya kritis mereka tak menurun. Masyarakat tetap berjuang lewat jalur konstitusional, yaitu lewat MK. ”Saat muncul wacana bahwa Covid-19 ini menurunkan kualitas demokrasi, banjir gugatan UU No 2/2020 ini patut diacungi jempol. Sebab, masyarakat masih sangat peduli perjuangkan haknya,” ujar Feri. Kini, sikap negarawan dan putusan MK ditunggu publik. MK dinilai tengah diuji, apakah benar-benar menegakkan konstitusi atau tidak. Putusan perkara ini pun akan jadi alat ukur sikap kenegarawanan para hakim konstitusi. ”Marwah hakim MK akan diuji. Apakah mereka akan mengutamakan nilai-nilai konstitusi dan bagaimana integritas kenegarawanan melihat konstitusionalitas UU tersebut?” katanya. (DEA) nti Undang-undang No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Dua perkara sudah diregistrasi dan empat perkara lainnya baru masuk dalam tahapan pengajuan permohonan. Permohonan gugatan terbaru diajukan oleh Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (Tapera), Rabu (10/6/2020), di Jakarta. Sebelumnya, sidang pemeriksaan uji materi Perppu No 1/2020 yang diajukan ke MK harus berhenti ditengah jalan karena perppu sudah disahkan menjadi undang-undang, yaitu UU No 2/2020. Dengan demikian, perkara uji materi perppu otomatis kehilangan obyek gugatan. Juru bicara Tapera, Ali Alatas, mengatakan, pihaknya mengajukan dua gugatan, yaitu uji formal dan uji materiil terhadap UU No 2/2020. Alasannya, proses penetapan perppu menjadi UU dinilai cacat hukum karena tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. UU itu juga dinilai memberikan legitimasi kekuasaan eksekutif menumpuk kekuasaan lewat pengambilalihan fungsi dan kewenangan kekuasaan legislatif dan yudikatif yang bisa mengarah pada praktik totalitarianisme. UU itu juga dianggap merampas hak konstitusionalitas warga melakukan upaya hukum secara pidana, perdata, ataupun tata usaha negara jika mengalami kerugian atas tindakan hukum eksekutif melaksanakan UU tersebut. ”UU juga membuka keran potensi penyimpangan anggaran negara dan korupsi secara sistematis yang berlindung di balik alasan penyelamatan ekonomi,” ucap Ali. Pasal dalam UU No 2/2020 yang digugat di antaranya Pasal 27 yang menyatakan, biaya yang dikeluarkan pemerintah atau lembaga Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka kebijakan di bidang perpajakan, belanja Negara (termasuk keuangan daerah), pembiayaan, dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis, bukan kerugian negara. Selain pengajuan permohonan dari Tapera, ada dua perkara yang masuk dan teregistrasi di MK, yaitu dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Indonesia (Yappika). Gugatan lain berasal dari perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan dengan nomor registrasi 38/PUU-XVIII/2020. MAKI sebelumnya juga mengajukan uji materi Perppu No 1/2020. Namun, hingga saat ini, perkara itu belum putus. MK jadi penentu Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, mengatakan, banjirnya gugatan uji formal dan materiil di MK menunjukkan, masyarakat masih kritis terhadap kebijakan pemerintah. Seluruh kehidupan masyarakat memang terdampak akibat pandemi Covid-19. Namun, daya kritis mereka tak menurun. Masyarakat tetap berjuang lewat jalur konstitusional, yaitu lewat MK. ”Saat muncul wacana bahwa Covid-19 ini menurunkan kualitas demokrasi, banjir gugatan UU No 2/2020 ini patut diacungi jempol. Sebab, masyarakat masih sangat peduli perjuangkan haknya,” ujar Feri. Kini, sikap negarawan dan putusan MK ditunggu publik. MK dinilai tengah diuji, apakah benar-benar menegakkan konstitusi atau tidak. Putusan perkara ini pun akan jadi alat ukur sikap kenegarawanan para hakim konstitusi. ”Marwah hakim MK akan diuji. Apakah mereka akan mengutamakan nilai-nilai konstitusi dan bagaimana integritas kenegarawanan melihat konstitusionalitas UU tersebut?” katanya. (DEA)