JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekonomi Indonesia pada 2016 akan bergantung pada upaya pemerintah menjalankan program-program prioritas seperti yang sudah direncanakan. Evaluasi 12 paket kebijakan ekonomi diharapkan bisa melahirkan kebijakan baru yang lebih komprehensif. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai, 12 kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah itu masih bersifat sektoral. Demikian diungkapkan oleh Direktur Core Indonesia Hendri Saparini dalam acara Core Mid-Year Review 2016 bertajuk "Managing Economic Growth amidst New Global Dynamics", di Jakarta, Rabu (20/7). Hadir sebagai pembicara pada kesempatan tersebut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, Deputi Direktur Grup Riset Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) MHA Ridhwan, serta Direktur Riset Core Indonesia Mohammad Faisal. Core Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2016 akan berada di kisaran 4,9 persen hingga 5 persen. Hal ini didasarkan pada perkembangan ekonomi global dan domestik selama semester I-2016. "Ada beberapa hal yang kami kaji untuk didiskusikan, apakah target pertumbuhan 5,2 persen yang ada dalam APBN-P 2016 bisa tercapai atau tidak dan apa saja langkah yang harus dilakukan," ujar Hendri. Untuk menjaga kinerja ekonomi, Hendri mengatakan, Core Indonesia merekomendasikan pemerintah fokus mendorong ekonomi domestik. Selain itu, diperlukan pula bauran kebijakan untuk hal-hal yang menjadi prioritas pemerintah. "Jadi, ada bauran kebijakan fiskal, moneter, kebijakan menyangkut BUMN, swasta, dan UMKM yang dilibatkan. Semua itu akan menggerakkan sektor riil," tutur Hendri. Kontraproduktif Hariyadi Sukamdani mengatakan, Apindo memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2016 sekitar 5,3 persen. "Namun, kami berharap di semester II-2016 pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat jangan lagi aneh-aneh membuat aturan yang kontraproduktif," lanjutnya. Hariyadi mencontohkan, isu menyangkut rencana pengenaan cukai kemasan plastik atau isu cukai minuman berkarbonasi yang dimunculkan lagi bisa membuat masyarakat tidak yakin terhadap kemauan pemerintah. Ridhwan menuturkan, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2016 di kisaran 5-5,4 persen, inflasi 3-5 persen, dan defisit transaksi berjalan maksimal 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). "Kami berharap kredit tumbuh 10-12 persen, dibandingkan tahun 2015 yang 10,45 persen," ucapnya. Ridhwan mengatakan, bauran kebijakan moneter, fiskal, dan struktural diperlukan untuk menciptakan ruang kebijakan untuk meningkatkan permintaan domestik. Merujuk perkiraan badan-badan dunia, termasuk IMF, Mohammad Faisal menuturkan, secara global, tekanan terhadap pertumbuhan di negara maju dan berkembang masih akan terjadi. "Terutama sekali yang paling berpengaruh adalah Tiongkok yang mengalami koreksi pertumbuhan paling dalam," ujarnya. PDB Tiongkok tahun 2016 diperkirakan hanya akan tumbuh 6,5 persen, melambat dibandingkan 2015 yang 6,9 persen. "Di tahun depan juga akan terkoreksi lagi, turun lebih lambat menjadi 6,2 persen," ucap Faisal. (CAS)