Transformasi Guru Sertifikasi Guru (Memang) Bukan Jaminan Kinerja Penting dilakukan evaluasi berkala terhadap kinerja guru bersertifikat atau pelaporan pemanfaatan tunjangan profesi. Seyogianya masa berlaku sertifikat pendidik tak sampai pensiun. Oleh St Kartono Pemikiran Iwan Syahril perihal ”Transformasi Guru dan Pemimpin Sekolah” (Kompas, 29/5/2020) memuncakkan kegelisahan penulis sebagai guru. Simpulan studi Bank Dunia (2017) dikutipnya bahwa program sertifikasi guru tak berdampak pada hasil belajar murid. Bahkan, simpulan itu dikuatkan dengan kutipan studi TIMSS– Trends in International Mathematics and Science Study (2015) bahwa tak ada perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru yang bersertifikasi dan guru tak bersertifikasi. Iwan memanfaatkan simpulan dua studi itu sebagai konteks untuk menggulirkan gagasan transformasi guru. Namun, penulis menemukan ironi ketika hal itu menjadi bahan olok-olok untuk guru. Sertifikasi guru berkait erat dengan penerimaan tunjangan profesi. Simpulan studi Bank Dunia dan TIMSS jamak dipakai sebagai premis untuk menghentikan tunjangan profesi guru. Karena mutu pendidikan tak kunjung membaik, tunjangan diusulkan dihentikan. Guru bersertifikat digolongkan sebagai penghambur uang negara. Nah, pendidikan di negeri ini tak akan beringsut membaik hanya dengan menggelontorkan Rp 500 triliun sejak 2006 untuk tunjangan profesi guru. Jauh panggang dari api jika ingin mengaitkan tunjangan profesi dengan jaminan kinerja guru. Perlu ditelisik sertifikasi macam apa yang telah dijalani guru sehingga layak disebut guru bersertifikat? Penulis bersertifikat 2007 lolos lewat penilaian portofolio berbagai karya dan pengembangan diri yang mencerminkan kompetensi guru. Semua karya guru baik yang bersifat akademik maupun sosial akan dihargai dan diperhitungkan dalam penilaian portofolio. Artinya, berkas-berkas karya dan pengembangan diri itu menjadi bukti kreativitas guru yang bertahun-tahun jadi habits-nya, bukan hasil sesaat ketika akan dinilai. Hanya kisaran 25 persen guru yang lolos dengan model demikian, selebihnya terperanjat menyadari pentingnya mengembangkan diri dan tertib administrasi. Guru mengenakan alat pelindung diri saat mereka menyelesaikan pekerjaannya di lingkungan sekolah seperti di SD Negeri Karangayu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (15/6/2020). Selama pandemi ini aktivitas belajar mengajar dilakukan secara daring dengan memanfaatkan berbagai bentuk aplikasi dari teknologi komunikasi, dan audio-visual. Namun, guru yang tak lolos sertifikasi portofolio tak perlu memacu diri kreatif, toh tiga bulan kemudian ada pelatihan yang memungkinkan mereka lolos dan tinggal menunggu tunjangan profesi bersamaan dengan yang lolos penilaian portofolio. Berbagai seminar pengembangan diri guru yang semula sangat diminati secara perlahan tak jadi hal penting. Kesan yang terbaca oleh guru mengenai sertifikasi hanyalah mengejar jumlah kuota, bukan yang layak memenuhi standar. Asal saat pelatihan dan penilaian lulus, terpenuhilah syarat dapat tunjangan profesi. Tujuan sertifikasi guru jadi bias sebagai pemerataan kesejahteraan guru, bukan lagi guru yang profesional. Ketika pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru, tidak cukup mengimbau dengan kalimat-kalimat keramat. Bagi guru, imbauan agar sebagian tunjangan dipakai untuk melengkapi teknologi atau membeli buku mutakhir tak mempan. Tak ada tagihan yang bisa mengubah perilaku guru. Tunjangan yang telah masuk ke rekeningnya tak berefek baik pada kinerjanya sebagai guru. Di sisi lain, berlangsung dalam banyak tahun, pencairan tunjangan profesi pun tak bisa diperkirakan waktunya. Bahkan, sebagian guru belakangan ini disibukkan gonta-ganti bank yang menjadi penyalur. Ketidakpastian waktu pencairan tak akan mendukung guru membuat perencanaan jangka panjang, misalnya menempuh studi lanjut dengan memanfaatkan dana itu. Muncul anggapan di kalangan guru, tunjangan profesi hanyalah hadiah atau sekadar bonus, diberikan disyukuri, jika tak segera cair akan dianggap tabungan atau uang kaget. Faktor penagih Mengaitkan transformasi guru dengan sertifikasi hingga tunjangan profesinya hanya akan menambah deretan litani yang berulang-ulang tanpa hasil. Iwan dapat menjadikan guru yang bersertifikat sebagai satu aset sebagaimana ditulisnya di ujung tulisannya bahwa guru sebagai profesi mulia dan terhormat harus memiliki status sosial ekonomi yang sama dengan profesional lainnya. Jadikan guru dengan status ekonomi yang mendekati baik (meski belum merata) sebagai lokomotif kemajuan pembelajaran di kelas-kelas. Guru bersertifikat tak cukup diimbau. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan tak cukup menceramahi atau menjadikan pembahasan dalam berbagai forum. Guru butuh fasilitas atau perangkat penagih yang membantunya bertindak dan menghidupi kebiasaan sebagai guru profesional. Konsekuensi apa yang akan dihadapi guru jika tak menghasilkan kemajuan pembelajaran? Apa yang harus ditanggung guru jika tak lagi memenuhi standar guru profesional? Penting dilakukan evaluasi berkala terhadap kinerja guru bersertifikat atau pelaporan pemanfaatan tunjangan profesi. Seyogianya masa berlaku sertifikat pendidik tak sampai pensiun. Secara periodik jika terbukti guru bersangkutan tak profesional, sertifikat pendidik dapat ditinjau kembali dan tunjangan dihentikan, sebaliknya jika baik, diteruskan. Perangkat lain yang memiliki daya ubah efektif adalah visi keguruan yang melekat dalam diri guru. Para guru yang kreatif dan inovatif memang dalam dirinya tertanam kebanggaan akan profesi guru. Nah, tanggung jawab menumbuhkan dan mengasah visi keguruan itu ada pada pemimpin sekolah, baik negeri maupun swasta. Perangkat lain yang memiliki daya ubah efektif adalah visi keguruan yang melekat dalam diri guru. Guru-guru muda yang baru lulus, yang diterima di sekolah, bukanlah ”produk” jadi yang siap pakai. Para guru muda yang memulai berkarya di suatu sekolah belum selesai pemurnian motivasinya. Saatnya sekolah membantu para guru muda terus-menerus mengalami on going formation dalam menemukan ”panggilan hidupnya”. Para guru bersertifikat juga mesti terus dibantu mengasah visi keguruannya. Pengalaman saya menjumpai para guru di banyak sekolah swasta dan negeri di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, pertama-tama adalah mendorong yayasan atau sekolah terus-menerus memfasilitasi guru agar tak pernah berhenti mengasah visi pribadi dan memutukan diri. Iwan benar transformasi guru dan pemimpin sekolah harus jadi gerakan bersama. Berikan perangkat penagih agar guru bermutu dan takut kehilangan tunjangan profesinya. (St Kartono Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta)