Peringatan Hari PRT Internasional kembali mengingatkan akan nasib para pekerja rumah tangga yang hingga kini masih di posisi marjinal. Pengakuan hukum bisa menjadi upaya yang bisa dilakukan untuk melindungi mereka. Dibutuhkan, tetapi tak pernah diakui keberadaannya. Begitulah nasib pekerja rumah tangga. Meskipun pekerjaannya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan rumah tangga, perannya sebagai pekerja perawatan hanya dipandang sebelah mata. Hingga kini statusnya sebagai pekerja belum mendapat pengakuan negara. Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu pekerjaan tertua dan terbesar jumlahnya di dunia maupun di Indonesia. Di dunia jumlahnya mencapai 87 juta jiwa dan di Indonesia jumlah PRT lebih dari 4 juta orang. Bahkan, mayoritas PRT di Indonesia adalah perempuan, yang merupakan tulang punggung keluarga. Sekitar 30 persen di antaranya adalah anak perempuan. Kendati pekerjaan mereka memenuhi sejumlah unsur pekerja, yakni mendapat upah, ada perintah, ada pekerjaan, dan pemberi kuasa, secara formal statusnya tak pernah diakui. Akibatnya PRT tidak pernah menikmati hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. Para calon asisten rumah tangga infal (pengganti) menunggu penempatan di penampungan sementara jasa penyalur tenaga kerja Bu Gito, Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2015) Ketika majikan tidak suka, PRT tidak berdaya ketika diberhentikan sepihak. Bahkan saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia nasib PRT kian terpuruk. Seperti yang dialami Leni Suryani (38). Sejak awal Maret 2020 lalu, Leni yang tengah mengandung empat bulan, diberhentikan tiba-tiba oleh majikannya yang berasal dari China (ekspatriat) karena khawatir akan Covid-19. Demikian pula dialami Susi (33) yang tinggal di Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. Ia yang bekerja setengah hari (pukul 05.30 – 12.00) di rumah majikannya, sejak Maret majikannya meminta dia tidak datang dulu. Sang majikan khawatir dia membawa virus korona baru karena tiap hari masuk keluar rumah majikan. Susi yang memiliki dua anak berumur 6 tahun dan 4 tahun tidak bisa berbuat apa-apa. Selama ini dalam sebulan dia mendapat upah Rp 2 juta, yang biasanya digunakan untuk membayar kontrakan Rp 750.000 per bulan, dan kebutuhan hidup sehari. Suaminya, hanya supir angkutan kota tapi tidak kerja lagi. Kami akhirnya berusaha cari pinjaman sana sini. “Sangat menyiksa, untuk makan saja sudah sulit, apalagi untuk membayar kontrakan dan listrik. Kami akhirnya berusaha cari pinjaman sana sini. Hanya bisa berdoa dan berharap semoga Covid-19 segera berakhir dan bisa kerja lagi,” papar Susi yang kini mencari kerja sampingan di jasa cuci baju. Perjuangan Susi, Leni, dan jutaan rekannya untuk mendapat pengakuan negara masih melewati jalan panjang dan berliku. Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah 16 tahun di tangan DPR, dan tak kunjung disahkan. Masuknya RUU PRT dalam program legislasi DPR periode 2019-2024 membawa angin segar. “PRT bekerja sebagai care work, tetapi orang tidak care dengannya,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, Senin (15/6/2020). Ia menyebutkan negara belum hadir bagi PRT. Sejak tahun 2004 RUU PRT sudah diajukan ke DPR. Empat periode pemerintahan dan DPR berganti, baru sekarang RUU PRT mulai dibahas di DPR. “Itu pun masih menghadapi berbagai penolakan,” ujarnya. Lita Anggraini, Koordinator Jala PRT, menyerahkan draf dan naskah akademik RUU PPRT kepada Pimpinan Baleg DPR, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Senin (2/12/2019) di Ruang Rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen Senayan. Karena itu selain UU PPRT, pemerintah diharapkan segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi PRT. Sebab, kenyataannya hingga saat memperingati Hari PRT Internasional 2020 yang jatuh pada tanggal 16 Juni 2020, PRT masih terlupakan. Mereka masih bekerja dengan upah di bawah standar kelayakan, tidak mendapat jaminan perlindungan ketenagakerjaan dan kesehatan, hak libur/cuti, serta rentan berbagai kekerasan. Kalau pun ada yang mengakses kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, itu mereka membayar sendiri, dan hanya sebagian kecil yang dibayar majikan. Ketiadaan regulasi yang mengakui PRT, membuat mereka sulit mengakses jaminan sosial tersebut. Ketika berhadapan dengan masalah, PRT tak memiliki posisi tawar yang kuat. Padahal tiap tahun terdapat sekitar 400 kasus PRT yang diantaranya tak mendapatkan bayaran upah atau upah dipotong karena sakit, dan tidak mendapat tunjangan hari raya. Kelompok yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Peduli Pekerja Rumah Tangga melakukan aksi mencuci bersama di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/2/2012). Aksi tersbut merupakan bentuk protes terhadap masih rentannya berbagai kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial yang dialami oleh PRT. Mereka menunut pemeritah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menerangkan pekerjaan kerumahtanggaan sebagian besar diampu oleh perempuan. Pekerjaan PRT berada di lingkungan kerja yang berakses terbatas, jam kerja panjang, jauh dari jangkauan dunia luar, sehingga jika terjadi sesuatu membutuhkan intervensi dari dunia luar. “Dibutuhkan payung hukum yang mengakui bahwa pekerjaan rumah tangga adalah jenis pekerjaan, sama seperti pekerjaan lainnya. Dengan diakuinya PRT sebagai pekerja dengan sendirinya hak dan kewajiban sebagai pekerja secara umum akan melekat,” tegas Aminah. Jatuh tertimpa tangga Lita Anggraini menggambarkan situasi dan kondisi para PRT di masa pandemi Covid-19 bak pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga. Sebagian di antara mereka diberhentikan sepihak (di-PHK) dan sebagian terpaksa harus tiap hari bekerja di rumah majikan dengan risiko tertular virus saat perjalanan berangkat dan pulang kerja, karena tidak dibekali alat pelindung diri yang memadai. Di saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku, PRT tetap bekerja. PRT tidak bisa bekerja dari rumah, seperti pekerja formal umumnya. Mereka masih keluar rumah, ke pasar, dan berada di transportasi umum. Untuk pulang kampung tidak bisa, karena khawatir tidak bisa kembali lagi. Sementara yang diberhentikan majikannya, mengalami krisis, karena tidak memiliki pemasukan, apalagi di saat yang sama suami PRT yang juga bekerja di sektor informal juga berhenti bekerja.  Saat di rumah, PRT alami beban ganda. Krisis papan dan pangan. Belum lagi anak-anak mereka harus sekolah dan tidak punya fasilitas internet. Para calon asisten rumah tangga infal (pengganti) menunggu penempatan di penampungan sementara jasa penyalur tenaga kerja Bu Gito, Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2015) PRT di wilayah Jabodetabek, misalnya. Mereka tidak bisa mengakses bantuan sosial, karena sekitar 85,6 persen statusnya sebagai urban atau pendatang, yang hidupnya hanya mengontrak rumah (90 persen). “Ketika mereka minta bantuan harus punya kartu tanda penduduk setempat, padahal mereka urban yang bekerja untuk warga Jabodetabek,” kata Lita. Akhirnya, mereka terjebak hutang dengan rentenir dan rentan menjadi korban perdagangan orang, dan berbagai kekerasan. Anak-anak bisa terancam putus sekolah dan menjadi PRT anak Direktur Institut Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) Misiyah, menyatakan tidak ada alasan untuk menunda pengesahan RUU PPRT. Kondisi perempuan PRT semakin genting di masa-masa krisis seperti pandemi Covid-19. Mereka tumpuan ketahanan ekonomi keluarga miskin, rentan terpapar karena jenis pekerjaannya, potensial menjadi korban KDRT dan sulit mengakses jaminan sosial. “Jika legislatif benar-benar mewakili kepentingan rakyat, ada 4,2 juta PRT yang hidupnya ada dalam ancaman, melalui momen hari PRT Internasional kami menyerukan untuk Pengesahan RUU PPRT,” tegas Misiyah. Pengesahan RUU PPRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 kini dinantikan. Sebagaimana misi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), jangan ada satu pun yang tertinggal; termasuk para PRT.