Satu lagi pekerja migran Indonesia dihukum mati di Arab Saudi. Yang memprihatinkan, Pemerintah Arab Saudi tidak mengirim notifikasi hukuman mati tersebut. Tuti Tursilawati, asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai pekerja rumah tangga di Thaif, tahun 2010 diputus bersalah melakukan pembunuhan berencana atas orangtua majikannya. Vonis hakim dijatuhkan tahun 2011. Pemerintah Indonesia mengklaim telah berupaya keras membebaskan Tuti dari hukuman mati. Upaya itu, antara lain, mengajukan tiga kali banding yang semuanya dipenuhi dan dua kali peninjauan kembali walaupun hanya satu yang dikabulkan. Lembaga advokasi hak-hak pekerja migran, Migrant Care, menyebut hukuman terhadap Tuti tanpa pemberitahuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi pekerja migran. Organisasi ini menuntut Pemerintah RI meminta Arab Saudi memenuhi syarat perlindungan pekerja migran seperti tercantum dalam nota kesepahaman tentang sistem satu pintu yang ditandatangani menteri ketenagakerjaan kedua negara dua pekan lalu. Kita masih ingat bagaimana Pemerintah Indonesia menyambut hangat kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia pada Maret 2017. Kunjungan itu seyogianya menjadi modal lebih meningkatkan diplomasi untuk melindungi pekerja migran kita. Jika perlu, pemerintah memiliki utusan khusus untuk menyelamatkan pekerja migran mengingat hingga Oktober tahun ini dua pekerja dihukum mati, pada 2015 juga dua pekerja, dan pada 2011 satu pekerja bernasib sama di Saudi. Menurut Kementerian Luar Negeri RI, masih terdapat 13 warga negara Indonesia terancam hukuman mati di Arab Saudi dengan satu orang di antaranya, Eti bin Toyib, sudah mendapat keputusan tetap. Sementara Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyebut 19 pekerja terancam hukuman mati. Sejumlah pekerja migran berhasil dibebaskan dari hukuman mati dan kembali ke Tanah Air. Karena itu, kita menginginkan pemerintah bekerja lebih keras lagi melindungi pekerja migran, terutama perempuan pekerja dalam rumah tangga. Perempuan pekerja rumah tangga, terutama di negara dengan norma budaya sangat konservatif seperti Arab Saudi, rentan mengalami kekerasan sebab ada relasi sangat timpang antara majikan dan pekerja serta antara perempuan dan laki-laki. Perlindungan terhadap pekerja migran seharusnya dilakukan sejak perekrutan di daerah asal, terutama dari manipulasi dan penipuan calo. Calon tenaga kerja harus mendapat pengetahuan mengenai hak dasar mereka, termasuk saat mengalami kekerasan dari majikan dan saat berhadapan dengan hukum. Dengan masih banyaknya pekerja migran Indonesia terancam hukuman mati, pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi lagi secara menyeluruh terhadap jumlah dan status seluruh pekerja migran Indonesia. Evaluasi juga dilakukan terhadap sistem perekrutan dan perusahaan pengerah tenaga kerja dan memberi sanksi tegas apabila ada yang tidak memenuhi kewajibannya. Kita juga menginginkan perjanjian antara Pemerintah RI dan negara penerima TKI dapat dijalankan sungguh-sungguh sebagai wujud kehadiran negara melindungi warga negaranya.