Praktik pembelajaran jarak jauh yang diterapkan lebih dari sebulan terakhir membuat para guru tergagap-gagap. Meskipun sebagian guru mengikuti pelatihan pembelajaran jarak jauh, tradisi ini rupanya masih menjadi ”dunia baru” bagi mereka. Wakil Ketua Umum Pengembangan Regional Sumatera Bagian Utara Ikatan Guru Indonesia (IGI) Khairuddin mengklaim, sejumlah guru yang tergabung di IGI pernah mengikuti pelatihan mengajar jarak jauh. Namun, setelah pelatihan, kebanyakan mereka tidak mengimplementasikan di kelas. ”Ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ) mulai sekitar 16 Maret, hampir semua guru  kaget. Apalagi, kondisi kemampuan mereka berbeda-beda harus menghadapi heterogennya siswa dan keluarganya. Siswa dan keluarganya tidak pernah disiapkan untuk PJJ,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/4/200). Khairuddin membenarkan adanya sejumlah guru harus mendatangi rumah siswa untuk mengajar karena keterbatasan akses jaringan internet. Kepala dinas pendidikan mengetahui praktik itu dan menyarankan terus dilanjutkan. Dia menilai, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi carut-marutnya PJJ. Desentralisasi kebijakan perlu dikedepankan. Pemerintah daerah bersama sekolah harus memikirkan cara yang ideal agar PJJ tetap jalan. ”Kebijakan PJJ berbeda setiap daerah tak masalah. Kultur masyarakat Indonesia beragam,” katanya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerja sama dengan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah melakukan survei kepada guru untuk melihat persepsi dan melakukan evaluasi pelaksanaan PJJ. Pengumpulan data survei dilaksanakan selama lima hari, yakni 17-21 April 2020. Survei berhasil menjaring 602 responden guru dari berbagai jenjang pendidikan dan status kepegawaian. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner di aplikasi Google form. Salah satu temuan penting adalah hanya 19,1 persen responden mengaku telah terbiasa menggunakan aplikasi edukasi saat pelaksanaan PJJ. Mayoritas guru memahami PJJ dengan metode daring sebatas pemakaian aplikasi pesan instan dan media sosial. Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim mengatakan, pihaknya sudah mengusulkan ke organisasi profesi guru lokal agar bekerja sama dengan komunitas, organisasi nirlaba, dan media massa lokal untuk membantu terselenggaranya PJJ. Sejauh ini, pemerintah pusat melalui Kemendikbud telah mengupayakan TVRI dan RRI sebagai media alternatif untuk mengatasi keluarga siswa dan guru yang terbatas akses internet. ”Masih ada permasalahan bagi siswa yang memang terbatas kepemilikan gawai dan media,” katanya. Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Praptono menyebut guru yang mengharuskan siswa datang ke sekolah tidak sesuai protokol kesehatan. Tindakan itu berpotensi memberikan risiko penyebaran virus. Kesehatan guru dan siswa seharusnya tetap menjadi prioritas. ”Saya mohon kepada pimpinan daerah dalam hal ini dinas pendidikan agar memperhatikan Surat Edaran Mendikbud No 4/2020. Jika surat edaran itu dipatuhi, pandemi diharapkan bisa segera selesai. Dalam surat edaran, kami memberikan rambu-rambu yang sangat jelas tentang pembelajaran dari rumah,” katanya. Menyoal siswa yang terbatas gawai ataupun jaringan internet, Kemendikbud telah bekerja sama dengan TVRI untuk menyiarkan konten pelajaran. Melalui Surat Edaran Mendikbud No 4/2020, Praptono menyebut sudah ada arahan agar guru tak perlu mengejar capaian kurikulum. ”Kami harap, sekolah dan keluarga siswa serius melaksanakan pembatasan sosial. Hanya dengan cara ini, pandemi Covid-19 bisa segera diatasi,” katanya. Apabila masih ada guru yang memberikan tugas berlebih, Praptono mengimbau kepada kepala sekolah, pengawas sekolah, dan dinas segera memberikan pemahaman kepada guru sesuai kewenangan mereka. Mereka harus mengingatkan kembali bahwa PJJ fokus pada penguatan karakter, bukan penuntasan materi kurikulum. Kemendikbud pun telah memiliki laman guruberbagi.kemdikbud.go.id untuk memudahkan guru berbagi konten pelajaran. Pengamat pendidikan, Muchlas Samani, berpendapat, keputusan menggelar PJJ diambil dalam keadaan ”terpaksa” karena kegiatan belajar-mengajar tatap muka tidak memungkinkan. Guru belum dipersiapkan optimal, begitu pula dengan siswa. ”PJJ barangkali hanya untuk situasi darurat. Kurikulum darurat bisa disusun, tetapi hal yang lebih mendesak adalah menyiapkan guru dan fasilitasnya. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, PJJ baru berjalan di universitas,” katanya. Program pelatihan guru yang kabarnya akan dilakukan besar-besaran oleh organisasi sosial penggerak semestinya diarahkan untuk kebutuhan PJJ. Dia menduga, realisasinya akan sukar karena ahli PJJ belum banyak. Di tingkat pendidikan tinggi, dia mencontohkan universitas terbuka yang sudah menerapkan PJJ. Itu pun masih dilengkapi kegiatan tatap muka sekali seminggu.