M. Nurhadi Pratomo & Anitana W. Puspa redaksi@bisnis.com Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. buka-bukaan mengenai kondisi keuangan perusahaan terkini dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR yang berlangsung Selasa (14/7). Dalam rapat itu, terungkap bahwa emiten pelat merah dengan kode GIAA tersebut tengah membutuhkan pembiayaan senilai Rp9,5 triliun agar tetap mampu beroperasi di tengah terpaan badai pandemi Covid-19. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan sejumlah poin penting mengenai profi tabilitas dan kekuatan keuangan perseroan. Menurutnya, dampak dari penyebaran pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan pendapatan perseroan yang turun hingga 90%. Di sisi lain, perseroan hanya mampu menurunkan biaya operasional sebesar 60%. Pria yang menjadi Bos Garuda sejak Januari 2020 itu juga membeberkan kondisi fi nansial perseroan per 1 Juli 2020. Cash fl ow yang ada di perusahaan hanya sekitar US$14,5 juta, sementara pinjaman ke bank dan lembaga keuangan senilai US$1,3 miliar dan utang usaha serta pajak US$905 juta. Lebih detail, saldo utang usaha dan pinjaman GIAA itu mencapai US$2,218 miliar per 1 Juli 2020. Nilai itu terdiri atas US$905 juta dari operasional, pinjaman jangka pendek US$668 juta, dan pinjaman jangka panjang US$645 juta. Namun, GIAA tidak hanya diam di tengah terpaan badai pandemi Covid-19. Ada beberapa inisiatif yang sudah dilakukan perusahaan dalam beberapa bulan terakhir. Salah satu manuver perseroan adalah melakukan negosiasi dengan lessor atau pihak yang menyewakan pesawat. Tujuannya, untuk menurunkan harga sewa. Rasionalisasi dari sisi personalia juga sudah ditempuh. Perseroan telah melaporkan sudah ada sekitar 400 karyawan yang bersedia secara sukarela untuk mengikuti program pensiun dini. GIAA juga telah melakukan pemotongan secara signifi kan gaji seluruh jajaran direksi dan komisaris sejak April 2020. Pemangkasan dilakukan secara proporsional dengan porsi lebih besar untuk jabatan atau pangkat yang lebih tinggi. Sayangnya, Irfan menyebut beberapa inisiatif yang telah dilakukan manajemen dan akan terus ditempuh belum cukup menutup jarak atas penurunan pendapatan yang signifi kan dibandingkan biaya perusahaan. “Kami membutuhkan pembiayaan sebesar Rp9,5 triliun yang akan digunakan untuk membiayai operasional agar kami tetap bisa beroperasi di kemudian hari,” jelasnya. Sebagai salah satu jalan keluar, GIAA meminta dana talangan kepada pemerintah senilai Rp8,5 triliun. Kucuran itu akan digunakan untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas perusahaan pada 2020—2023. Adapun, pemerintah telah memasukkan Garuda Indonesia sebagai salah satu penerima dukungan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Lewat program itu, pemerintah akan menyuntik perseroan dengan bantuan dana talangan untuk modal kerja sebesar Rp8,5 triliun. Garuda mengklaim telah berdiskusi dengan pemegang saham untuk dana talangan tersebut. Struktur yang diusulkan, yakni mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi dengan tenor 3 tahun. Maskapai milik negara itu berharap dana talangan cair pada 2020. Pemerintah atau PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) diharapkan menjadi standby buyer. Sebagai gambaran, MCB merupakan jenis obligasi yang dapat dikonversikan menjadi saham dari suatu perusahaan penerbit. Rasio konversi akan ditentukan saat penerbitan dilakukan. Irfan mengungkapkan beberapa alasan diusulkannya MCB bertenor 3 tahun. Salah satunya terkait konsensus para analis yang memprediksi pemulihan baru akan terjadi pada 2023. Dengan durasi 3 tahun, manajemen akan mendapat kesempatan memperbaiki fundamental pendapatan dan biaya perusahaan. Pasalnya, Garuda telah beberapa kali dibantu oleh pemerintah. “Ini juga tantangan, pemegang saham bekerja keras dan kami manajemen memastikan cost structure dan fundamental revenue lebih kuat sehingga perusahaan bisa bersaing dan menghasilkan laba yang memadai,” paparnya. Setelah 3 tahun, ada beberapa skema penyelesaian MCB yang disiapkan perseroan. Pertama, perusahaan membayar dana talangan tersebut. Asumsi yang dimasukan dalam skema pertama, yakni jumlah penumpang 50% dibandingkan dengan 2020 dan 70% pada 2022. Dengan perhitungan itu, manajemen GIAA meyakini mampu membayar MCB. Kedua, apabila perusahaan tidak memungkinkan melakukan pembayaran, penggalangan dana segar dari pasar menjadi andalan pada 2023. Konsensus para analis menyebut industri kembali menarik dalam 3 tahun mendatang sehingga terbuka peluang bagi perusahaan untuk mengeluarkan obligasi dan melunasi MCB. GIAA juga juga telah memiliki opsi terakhir apabila dua skema itu tidak berjalan mulus. Dari kesepakatan pemegang saham, perseroan mendapat informasi pilihan terakhir yakni konversi MCB menjadi penempatan dana dari pemerintah. Adapun, berdasarkan laporan kepemilikan saham GIAA per 30 Juni 2020, Negara Republik Indonesia masih menjadi pemegang saham mayoritas dengan porsi 60,54%. Sisanya, kepemilikan dipegang oleh PT Trans Airways 25,8% dan masyarakat 13,66%. TITIK NADIR Di lain pihak, Associate Director BUMN Research Group (BRG) LM-Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai skema MCB menunjukkan skenario pesimistis dari GIAA. Artinya, perseroan memiliki prediksi bahwa situasi bisnis maskapai penerbangan akan tetap berat dalam beberapa tahun ke depan sehingga struktur itu diajukan. “Garuda sebelum Covid-19 kinerjanya juga bermasalah. Jadi, pinjaman modal kerja ini perlu monitoring kuat supaya penggunaannya tepat sasaran,” jelasnya. Sebagai perusahaan berstatus publik, dia menyarankan GIAA mengungkap kepada masyarakat rencana-rencana pendanaan yang akan ditempuh. Dengan demikian, pemegang saham lainnya mendapat kesempatan untuk mengambil posisi. Berdasarkan data Bloomberg, harga saham GIAA menguat tipis 0,78% atau 2 poin ke level Rp260 pada akhir sesi Selasa (14/7). Total kapitalisasi pasar perseroan senilai Rp6,73 triliun. Pemerhati penerbangan yang juga anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengatakan teknis dana talangan dalam bentuk MCB tidak perlu dipermasalahkan asalkan pemerintah bisa mengalirkannya secara cepat. Alvin menggambarkan kondisi Garuda saat ini sudah sampai titik darah penghabisan dan nafas terakhir. “Kalau tidak ada tindakan luar biasa, tidak akan mampu bertahan 1—2 bulan ke depan,” tuturnya. Senada, Analis PT Artha Sekuritas Indonesia Nugroho R. Fitriyanto menilai GIAA tengah berada dalam keadaan yang sulit dalam masa pandemi. Sebagai gambaran, tingkat keterisian atau seat load factor (SLF) hanya 11,3% pada Mei 2020. “Kondisi ini cukup menekan fi nancial performance dari GIAA di mana terlihat pada kuartal I/2020 sendiri mencatatkan penurunan pendapatan yang cukup dalam. Kami proyeksi pada kuartal II/2020 ini akan semakin dalam seiring dengan pengetatan penerbangan yang lebih ketat,” tuturnya. Realisasi kinerja kuartal I/2020 dan perkembangan terkini memang menjadi gambaran betapa beratnya kondisi yang harus dihadapi maskapai penerbangan nasional alias fl ag carrier Indonesia. Kendati demikian, pemerintah melalui Kementerian BUMN menyatakan dukungan penuh untuk menjaga GIAA dari kebangkrutan. Menteri BUMN Erick Thohir pun pasang badan dan menyatakan akan melakukan segala upaya untuk menjaga Garuda dari kebangkrutan. Maskapai itu, menurutnya, harus tetap ada untuk menghindari monopoli industri penerbangan di Indonesia. Dengan segala tekanan yang menerpa, sirine “Mayday, Captain!” sudah bergaung dari manajemen Garuda Indonesia. Akankah turbulensi ini mampu dilewati dengan soft landing oleh maskapai pelat merah ini? Kita tunggu saja manuver Garuda selanjutnya.