Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, penerbangan tak hanya sarana transportasi. Penerbangan juga pilar atau infrastruktur pengembangan kebangsaan Oleh EDITOR   Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, penerbangan tak hanya sarana transportasi. Penerbangan juga pilar atau infrastruktur pengembangan kebangsaan. Dengan rentang geografis 5.300 kilometer, atau setara dengan Amerika Kontinental, penerbangan merupakan keniscayaan bagi Indonesia. Bagi Indonesia yang merupakan benua maritim, level keniscayaan penerbangannya lebih besar dibandingkan bagi AS. Kini, seperti sebagian besar industri jasa, penerbangan ikut terpuruk akibat pandemi Covid-19. Meminjam istilah dunia penerbangan, industri ini dihantam turbulensi atau guncangan awan yang mahahebat. Sepanjang ingatan kita, belum pernah industri penerbangan terguncang sedahsyat kini. Dampak serangan 11 September 2001 di AS atau wabah SARS 2003 jauh lebih ringan dibandingkan akibat wabah Covid-19 ini. Baca juga : Ujung Krisis Penerbangan Yang membuat kita lebih risau adalah kerusakan yang ada sekarang ini belum tentu sudah mencapai puncak, mengingat solusi ampuh menaklukkan Covid-19, khususnya tersedianya vaksin, belum tampak di horizon hingga hari ini. Dalam diskusi daring bertema ”Meneropong Dirgantara Dunia Pasca-Covid-19, ke Mana Arah Dirgantara Indonesia?” yang diselenggarakan Kedutaan Besar RI dan beberapa organisasi profesi dirgantara, Minggu (12/7/2020), terungkap sejumlah hal penting. Antara lain, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menyebutkan pemulihan industri penerbangan sipil butuh waktu 3-5 tahun. Mantan KSAU Chappy Hakim menyebut sejumlah alasan, bahwa meski ada pelonggaran, persyaratan yang diterapkan masih merepotkan. Setidaknya diperlukan waktu 3-4 jam untuk persiapan keberangkatan. Di situ ada pemeriksaan dokumen kesehatan dan izin bepergian. Untuk ke luar negeri, selain repot di dalam negeri, penumpang juga harus menghadapi pemeriksaan di bandara tujuan. Jika kondisi kurang bagus, mungkin ia harus dikarantina. Sangat merepotkan. Belum lagi ganjalan psikologis mengingat wabah korona dalam lingkup global masih belum tertaklukkan. Ini tentu menciutkan hati calon penumpang. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan. Maskapai nasional Garuda Indonesia, yang di masa normal lama terbang 16 kali per hari ke Bali, kini hanya terbang sekali, itu pun hanya mengangkut 15-20 penumpang. Utang menumpuk, untuk sewa pesawat, bahan bakar, perawatan, dan sebagainya. Jika kita berkeyakinan ada misi penting dalam industri penerbangan nasional, maskapai harus dibantu. Selain dengan injeksi dana segar, dukungan juga diberikan dalam wujud penyederhanaan proses perjalanan. Kita tidak dapat menafikan pertimbangan kesehatan karena akan berantakan juga jika sekadar ekonomi dan industri tertolong, tetapi infeksi Covid-19 meningkat. Kita mendorong pengelola industri penerbangan menemukan celah bisnis untuk tetap sintas. Di sisi pemerintah, komitmen bantuan penting agar maskapai dapat melanjutkan operasi. Semoga kita tetap tegar menyusuri ujian berat ini.