Walaupun  diakui sudah ada BUMDes yang berhasil seperti BUMDes Pujon Kidul, Kabupaten Malang, dan beberapa yang lain, tetapi masih sulit dibayangkan keandalan jangka panjang desain institusional badan usaha ini. Oleh SUDARSONO HARDJOSOEKARTO Pekerja memeriksa tanaman Selada yang di tanam di kawasan Desa Wisata Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Malang Jawa Timur (26/9/2019.). Desa Wisata Pujon Kidul merupakan percontohan desa yang berhasil dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa.Tahun 2014 adalah awal masa suram koperasi Indonesia. Alasannya, pertama, akibat jatuhnya putusan Mahkamah Konstitusi, yang membatalkan UU No 17/2012 tentang Perkoperasian. Kedua, karena terbitnya UU 6/2014 tentang Desa. Berbeda dengan UMKM dan Badan Usaha Milik Desa — keduanya sudah diatur dengan UU baru — perkoperasian saat ini masih  mencari jati diri regulasi. Regulasi dan disrupsi Undang-undang Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian telah dibatalkan MK tahun 2014, dan kini kembali ke UU 25/1992 tentang Perkoperasian. Pertama, dari sudut pandang apapun, UU 25/1992 sudah tak layak sebagai landasan pengembangan koperasi. Terlebih lagi di era otonomi daerah, UU 25/1992 itu sudah tak nyambung (fit in) dengan konstruksi pembagian kewenangan antarsusunan pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perkoperasian. Kedua, berlakunya UU 25/1992 itu hanya sementara, menunggu terbentuknya UU baru. Sesuai keputusan Baleg DPR, penyusunan RUU Perkoperasian itu sifatnya kumulatif terbuka. Artinya, RUU yang diserahkan paling awal oleh satu di antara tiga lembaga negara pembentuk UU (pemerintah, DPR atau DPD) itulah yang akan menjadi RUU untuk dibahas bersama. Kabarnya, RUU Perkoperasi -an yang paling awal diserahkan ke Baleg DPR   adalah RUU versi DPD pada September 2015. Sayang sekali, RUU versi DPD itu tak menjadi RUU utama untuk dibahas bersama, sesuai prinsip kumulatif terbuka. Ini mungkin karena belum tuntasnya sengketa kewenangan konstitusional DPR dan DPD, khususnya yang terkait dengan pembentukan UU bidang perekonomian. Terlambatnya pembahasan RUU Perkoperasian boleh jadi juga karena sebab lain termasuk kendala dari pemerintah. Tetapi, apapun alasannya, tak selesainya UU Perkoperasian hingga berakhirnya masa tugas presiden,  DPR dan DPD periode 2014-2019 menandakan lemahnya komitmen kita dalam membangun koperasi. Masih pada tahun yang sama dengan jatuhnya putusan MK, perkoperasian mengalami guncangan hebat —justru akibat keputusan bersama pemerintah, DPR dan DPD — yaitu dengan terbitnya UU 6/2014 tentang Desa. Pasal 87 Ayat (1)  UU 6/2014 mengatur: ‘Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa’. Inilah disrupsi paling nyata yang dihadapi koperasi di desa saat ini. Desa-desa berlomba, dan memang didorong membentuk BUM Desa (BUMDes). Pemerintah pusat dan pemda melakukan pembinaan BUMDes, dalam bentuk regulasi, pendampingan, dan pengembangan kapasitas. Tak dimungkiri, dewasa ini tata kelola sosio ekonomi produktif di desa menghadapi dilema: memilih ‘salah satu di antara koperasi atau BUMDes’ atau ‘keduanya sekaligus’. Kenyataannya, suatu BUMDes dibangun pada desa yang sama dengan wilayah kerja koperasi desa —termasuk koperasi unit desa, koperasi wanita, atau sejenisnya— bahkan dengan segmen bisnis yang sama, misalnya simpan pinjam. Beberapa kerangka teori dapat digunakan sebagai landasan solusi dilema antara koperasi atau BUMDes. Pertama, pandangan ekonom non neoklasik George A Akerlof (1970), yang menyarankan kriteria badan usaha yang dapat berfungsi sebagai institusi pembangun kepercayaan (building trust) di antara pelaku pasar. Menurut Akerlof, pasar di pedesaan, khususnya pasar kredit, ditandai gejala informasi asimetris dan fenomena the market for lemons. Kedua, teori sosiolog ekonomi Jens Beckert (2019), yang menekankan badan usaha yang dapat berfungsi sebagai institusi pembangun keyakinan (building confidence) pada arena pasar. Menurutnya, arena pasar, seperti wisata desa, ditandai dengan problem kualitas dan ketidakpastian, serta mekanisme pembentukan harga yang didasarkan pada pemaknaan para aktor di arena pasar itu (the market from meaning model). Ketiga, alternatif lain pemikiran sosiolog ekonomi Mark Granovetter (2005), yang mengedepankan badan usaha yang berpotensi jadi arena organisasional (organizational field) bagian dari jaringan sosial yang kontributif bagi produktivitas sosioekonomi masyarakat. Struktur sosial berupa jaringan sosial itu dipercaya berperan penting dalam menentukan kinerja ekonomi, karena jaminan pada kualitas informasi, penyediaan sistem reward and punishment, serta sebagai sumber  kepercayaan (trust) bagi para aktor di arena pasar. Berkaca pada pengalaman banyak negara seperti Jepang, Korsel, Jerman, India dan Bangladesh,  untuk segmen bisnis kredit, trading dan distribusi, baik bahan baku maupun hasil produksi pertanian, bahkan kegiatan produktif lain pedesaan,  yang diunggulkan saat ini masih koperasi pertanian serba usaha. Nokyo di Jepang, Nongyup di Korsel, dan Chung Kuo Lungye Inghang di China adalah badan usaha koperasi pertanian serba usaha, yang dipercaya banyak keunggulan. Pertama, koperasi model ini dapat dibangun terintegrasi, baik perkuatan rantai nilai (value chain) secara horizontal, maupun integrasi vertikal: lokal, nasional dan global.  Kedua, koperasi model ini juga dapat dikembangkan jadi organisasi hibrida: di satu sisi mampu menjaga kinerja bisnisnya dengan ukuran Sisa Hasil Usaha, dan di lain sisi berperan memfasilitasi kegiatan produktif para anggotanya. Ketiga, dalam koperasi pertanian serba usaha itu dapat dikembangkan fungsi institusional pembentuk kepercayaan yang dapat memecahkan problem informasi asimetris dan the market for lemons. Keempat, secara sosiologis, arena organisasional koperasi pertanian serba usaha itu juga  merupakan jaringan sosial yang kontributif bagi produktivitas sosioekonomi anggotanya dan masyarakat secara luas. Kelima, terlebih lagi dengan banyaknya desa yang bergerak di bidang wisata desa, koperasi pertanian serba usaha dapat secara efektif menyediakan fungsi institusional pembentuk keyakinan bagi para aktor di arena pasar. Koperasi dan BUMDes Walaupun  diakui sudah ada BUMDes yang berhasil seperti BUMDes Pujon Kidul, Kabupaten Malang, dan beberapa yang lain, tetapi masih sulit dibayangkan keandalan jangka panjang desain institusional badan usaha ini. Perkuatan rantai nila horizontal terkendala karena BUMDes harus berkompetisi antar BUMDes antar desa, dan bersaing dengan badan usaha lain di desa yang sama, sementara integrasi vertikal mustahil dikembangkan. Dilema koperasi dan BUMDes juga ada  pada naskah RUU Cipta Kerja 2020. Tujuan UU ini: “untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya …… melalui kemudahan dan perlindungan UMK-M dan perkoperasian, …. dan seterusnya….”.   Pertama, frasa UMKM sudah jelas dirumuskan pada Pasal 1, yaitu   usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud di UU tentang UMKM. Tetapi, definisi perkoperasian sama sekali tak dicantumkan di RUU itu. Kedua, aneh tapi nyata, RUU itu tak juga mengatur kemudahan dan perlindungan bagi BUMDes. Ini kesengajaan atau sekadar kealpaan? (Sudarsono Hardjosoekarto Guru Besar FISIP UI)